Pasar menjadi pusat jual beli berbagai barang konsumsi dan barang produksi. Keberadaan pasar menjadi strategis karena perannya dalam mengalokasikan sumber daya dan mengarahkan produksi barang serta jasa sesuai kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, pasar juga menjadi salah satu sumber penghasil sampah yang signifikan, terutama pasar tradisional dan pasar dengan volume transaksi yang tinggi. Sebagai titik kumpul berbagai barang, sampah yang dihasilkan umumnya terdiri dari sampah organik, seperti sisa-sisa sayuran, buah, daging, dan ikan, serta sampah anorganik seperti plastik, kertas, dan kemasan lainnya.
Di Surakarta, pasar-pasar tradisional juga menjadi salah satu penyumbang sampah yang signifikan. Sebagai pusat aktivitas ekonomi dan sosial, pasar-pasar ini menghasilkan volume sampah yang besar setiap hari, terutama dari sampah organik seperti sisa sayur, makanan olahan, dan lainnya. Beberapa pasar utama di Surakarta, seperti Pasar Gede, Pasar Klewer, Pasar Jebres, dan Pasar Legi, merupakan pasar dengan aktivitas padat yang menyumbang pada masalah sampah di kota.
Mengutip dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Surakarta, sampah dari pasar menyumbang 7.28 persen atau berkisar 30 ton dari total timbulan sampah di Kota Surakarta. Dari data tersebut, rata-rata timbunan sampah didominasi oleh sampah organik mulai dari sisa sayuran, sisa makanan olahan, limbah sayuran, dan daun-daunan.
Gita Pertiwi melihat potensi yang dapat dimanfaatkan dari sampah ini dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Sampah pasar dapat dikelola dengan baik dan menjadi ladang pemasukan bagi masyarakat yang bergerak dalam pengelolaan sampah, seperti pemulung, TPS3R, dan Bank Sampah.
“Kami sudah melakukan observasi dan koordinasi dengan petugas pasar, lalu mendapatkan informasi bahwa rata-rata sampah organik di Pasar Jebres setiap harinya mencapai 8 kg.” Ujar Itsna, staff Program Gita Pertiwi.
Itsna juga mengatakan bahwa peluang lain bisa dilakukan dengan melakukan pemetaan untuk sampah pangan yang ditimbulkan sehingga dengan begitu sampah pangan tersebut dapat dimanfaatkan. Bahkan sebelum menjadi sampah, pangan berlebih tersebut dapat dikelola untuk didistribusikan dengan SOP yang tepat.
Saat ini pengelolaan sampah pasar belum optimal karena hanya diangkut oleh truk sampah dan dibuang secara cuma-cuma di TPA. Itsna menjelaskan dengan melibatkan organisasi pasar dan organisasi pengelola sampah, sampah pasar berpotensi untuk dimanfaatkan kembali.
“Dengan melibatkan warga dan petugas pasar, sampah-sampah, khususnya sampah pangan, dapat dikelola agar mengurangi timbunan sampah di TPA,” jelas Itsna.
Upaya tersebut perlu dilakukan mengingat timbunan sampah di Kota Surakarta terus meningkat, dari 300 ton menjadi 419 ton per hari. Sehingga pengelolaan sampah skala pasar perlu dilakukan.
Terutama sampah pangan yang memiliki dampak lingkungan yang dapat berpengaruh pada perubahan iklim. Menurut World Resources Institute (WRI), sampah makanan menyumbang 8% emisi gas rumah kaca global. Jika kita bandingkan dengan negara lain, sampah makanan menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga setelah China dan Amerika Serikat. Emisi tersebut sebagian besar berupa gas metana, yang berpotensi 25 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida dalam berkontribusi terhadap pemanasan global.
Sehingga upaya pengelolaan sampah pangan di Kota Surakarta harus menjadi objek pembangunan yang diprioritaskan oleh pemerintah. Langkah awalnya dapat dimulai dari pengelolaan sampah di pasar-pasar tradisional sebagai salah satu aset ekonomi yang penting bagi kota dan dikelola langsung oleh pemerintah. (Gita Pertiwi)