Plastik sekali pakai terus kita jumpai kehidupan sehari-hari, mulai dari kantong belanja, kemasan makanan, hingga botol minuman, yang akhirnya berujung menjadi mikroplastik. Lapor Iklim menyelenggarakan sebuah webinar bertajuk “Jejak Perjalanan Plastik dari Pabrik ke Tubuh Kita” untuk menelusuri lebih jauh bagaimana siklus plastik yang tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga memperburuk krisis iklim dan mengancam kesehatan manusia pada Kamis, (21/8/2025).
Webinar yang dipandu oleh Yoesep Budiarto, Gina Puspita dan Fajar Setiawan ini diisi oleh pakar lingkungan, mulai dari Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Tory Kuswardono hingga Jurnalis senior Harian Kompas Ahmad Arif.
Plastik Bukan Hanya Soal Sampah, Tapi Racun
Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati membuka pemaparannya dengan sebuah foto karya seni buatan seniman asal Kanada yang dipajang saat negosiasi plastik global INC-5.2 di Jenewa Swiss berlangsung. Patung tersebut menggambarkan peliknya permasalahan polusi plastik yang sudah mencemari bumi dan bahkan sudah masuk ke dalam organ tubuh manusia.
“Plastik berasal dari minyak dan gas, yang dalam setiap siklusnya melepaskan zat beracun yang bisa terhirup atau masuk ke dalam tubuh,” ujarnya.
Sejak 2010 laju produksi plastik meningkat drastis, bahkan diperkirakan akan bertambah parah pada tahun 2050, kondisi ini menjadi masalah yang besar terutama bagi negara yang rawan bencana seperti Indonesia. Lebih jauh Yuyun juga membahas fenomena novel entity, dimana saat ini ada ribuan bahan kimia baru yang awalnya tidak ada di bumi, namun hari ini diproduksi secara masif untuk bahan pembuatan plastik
“Setiap tahun ada sekitar 16 ribu bahan kimia baru, tapi hanya satu persen yang dikendalikan lewat konvensi internasional. Artinya, 99 persen sisanya lolos tanpa pengawasan,” tegasnya.

Terdapat ribuan bahan kimia dalam plastik yang berbahaya bagi tubuh seperti BPA, phthalates hingga PFAS. Bahan kimia ini ada dimana-mana dan dapat menyerang sistem hormon, gangguan reproduksi, hingga sebabkan penyakit kronis seperti kanker jika terakumulasi dalam tubuh dalam waktu yang lama. .
“Indonesia kini tercatat sebagai konsumen mikroplastik per kapita tertinggi di dunia , sebesar 15 gram per bulan. Jika tren ini berlanjut, pada 2045 tingkat kesuburan pria bisa turun mendekati nol persen,” kata Yuyun.
Yuyun juga membahas mengenai ekonomi sirkular yang tidak bebas racun, contohnya kantong kresek hitam yang sering kita jumpai ternyata merupakan plastik yang sudah didaur ulang berkali-kali sehingga banyak mengandung kimia berbahaya, begitupun insinerator yang jelas merupakan solusi palsu karena justru abu hasil pembakaran sampah mengandung lebih banyak racun.
“Harus ada kontrol global yang mengikat secara hukum untuk mengendalikan dan mengurangi produksi plastik. Seluruh siklus hidup plastik harus bebas dari bahan kimia beracun. Transparansi, dan kapasitas kesehatan publik juga harus ditingkatkan,” jelasnya.
Plastik, Perubahan Iklim, dan Ekonomi Sirkular
Selain berbahaya bagi kesehatan, plastik juga berkontribusi besar pada krisis iklim. Hal ini dipaparkan oleh Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Torry Kuswardono. Menurutnya, plastik bukan hanya berbicara mengenai persoalan lingkungan tapi juga bagian penting yang berkontribusi besar pada krisis iklim yang terjadi saat ini. Terutama ketika plastik diproduksi.
Di penghujung abad ke 19, plastik sebenarnya berasal dari bahan dasar tumbuhan. Namun sejak awal abad ke 20, minyak bumi mulai dilirik dan dijadikan bahan baku utama pembuatan plastik, karena dinilai lebih awet dan tahan lama. Pada masanya penemuan ini dipandang sebagai hal yang revolusioner.
“Sayangnya sejak awal plastik diproduksi, hanya sedikit sekali yang bisa didaur ulang, sebagian besar justru berakhir mencemari lingkungan atau dibakar di insinerator. Industri petrokimia menjadikan plastik sebagai strategi baru, terutama ketika permintaan bahan bakar fosil untuk kendaraan mulai menurun,” ungkapnya.
Torry juga menyinggung sistem ekonomi sirkular yang menurutnya masih jauh dari sempurna. Menurutnya, apabila masih ada bahan dalam bentuk apapun yang berakhir di TPA atau di lingkungan, berarti sistem tersebut belum benar-benar sirkular, terlebih saat laju produksi plastik sudah benar-benar masif melebihi kecepatan daur ulang.
Inovasi bioplastik juga dinilai Torry bukan jawaban. Sebab, butuh sumber daya yang sangat banyak untuk mengimbangi kebutuhan manusia akan plastik sehingga bioplastik dinilai sebagai solusi yang tidak realistis untuk menggantikan plastik konvensional. Bagi Torry, perlu ada perubahan sistemik yang menyeluruh untuk menyelesaikan masalah krisis plastik dan krisis iklim.
“Keduanya bukan isu terpisah. Plastik adalah bagian dari persoalan iklim. Kalau kita ingin benar-benar keluar dari krisis, harus ada perubahan besar dalam sistem produksi, konsumsi, hingga kebijakan energi,” tegas Torry.
Dinamika Politik dan Posisi Indonesia
Jika Yuyun dan Torry menyoroti aspek kesehatan dan iklim, Jurnalis Senior Harian Kompas, Ahmad Arif memaparkan tentang dinamika negosiasi plastik global INC 5.2 di Jenewa, Swiss yang kembali berjalan buntu dan berakhir tanpa kesepakatan yang jelas. Draft perjanjian yang disusun ketua sidang ditolak oleh sejumlah delegasi dan bahkan sebagian diantaranya mendorong kembali pada draft lama yang telah disusun di perjanjian sebelumnya di INC-5 Busan Korea Selatan.
“Di Swiss, draft yang disusun ketua sidang ditolak. Ada yang mengusulkan kembali ke draft lama di Busan. Artinya, perundingan ini bukannya maju, malah mundur,” ujarnya yang turut hadir pada proses negosiasi di Jenewa.
Ahmad Arif juga membahas posisi Indonesia dalam perjanjian plastik global yang dinilai pasif. Menurutnya. rilis berita yang menggambarkan bahwa Indonesia mendukung pengurangan plastik, dalam realitanya delegasi tidak menunjukan sikap yang tegas.
“Indonesia tampak ambigu. Secara formal terlihat mendukung, tetapi dalam negosiasi sebenarnya tidak menampilkan posisi kuat untuk membatasi plastik,” ungkap Arif.
Sebaliknya, Filipina tampil lebih vokal menyuarakan pembatasan. Di sisi lain, negara-negara produsen minyak seperti Arab Saudi, Iran, dan Amerika Serikat kompak menolak pengurangan produksi plastik, meskipun mereka kerap berkonflik di isu lain. Bahkan, Delegasi Amerika Serikat dilaporkan mengirim memo kepada beberapa negara kecil agar tidak mendukung pasal pembatasan, yang oleh banyak pihak dipandang sebagai bentuk perundungan.
“Alih-alih membebaskan pajak industri, produsen plastik justru harus dikenai kewajiban lebih besar. Indonesia seharusnya mengadopsi pembatasan produksi plastik, mendorong sistem guna ulang dan kandungan kimia berbahaya,” jelasnya.

Co-Coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) Nindhita Proboretno juga menyinggung minimnya keterlibatan media pada awal proses negosiasi antar negara untuk menyelesaikan permasalahan plastik (INC-1). Namun seiring berjalannya waktu, sudah banyak media yang menaruh perhatian terhadap isu ini, terbukti dari banyaknya media yang mulai meliput informasi resmi yang dikeluarkan AZWI terutama saat INC berjalan.
“Dulu, di awal INC, hampir tidak ada media yang memberitakan. Tapi sekarang liputannya makin banyak, sehingga isu plastik bisa sampai ke telinga pemerintah,” jelasnya.
Tak hanya media, perhatian publik dan media juga mulai terlihat terutama saat INC-5 di Busan, Korea Selatan pada 2024 lalu dan INC-5.2 di Jenewa Swiss baru-baru ini. Terlebih saat AZWI mengecam akses observer dan masyarakat sipil yang semakin dibatasi di dalam forum negosiasi.
Ke depan, AZWI berharap dapat lebih banyak membangun kolaborasi dengan organisasi termasuk Lapor Iklim, terutama menjelang adanya wacana mengenai INC 5.3, dimana saat ini posisi Indonesia dinilai masih kurang ambisius terhadap upaya pengurangan plastik karena masih sering terbentur dengan kepentingan industri. (Pidi)