Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit. Peribahasa yang kerap kali digunakan untuk memotivasi orang menabung, agaknya menjadi sebuah perumpamaan sistem pengumpulan sampah yang saat ini masih dominan diterapkan di Indonesia. Yap, sistem kumpul-angkut-buang yang selama ini masih kita anut menimbulkan tumpukan sampah dan tinggal menunggu bom waktu. Seperti yang terjadi pada TPA Cipeucang 3 bulan yang lalu. TPA yang berada di Tangerang Selatan ini meruntuhkan turap penyangga, dan longsoran pun terjadi, menumpahkan sampah ke sungai Cisadane. Kondisi tersebut akibat sistem pengelolaan sampah kumpul-angkut-buang yang masih dipertahankan dan ketergantungannya terhadap TPA. Tidak heran jika TPA menjadi penuh.
Sampah dikumpulkan, diangkut, dan kemudian dibuang ke TPA merupakan solusi penanganan sampah end-of-pipe, dimana pada sistem ini penanganan dilakukan saat sudah di hilir. Sistem ini memunculkan resistensi masyarakat terhadap TPA dengan menolak pembangunan TPA di daerahnya dan menutup akses jalan menuju TPA. Kejadian bencana longsor pada TPA Leuwigajah tahun 2005 silam, menjadi bukti bahwa penanganan di hilir bukan mengatasi permasalahan sampah, tetapi malah hanya memindahkannya saja.
Krisis sampah yang sedang kita hadapi saat ini, membutuhkan solusi baru diluar sistem end-of-pipe untuk menanganinya. Kebutuhan akan teknologi canggih semakin menguat dan diharapkan dapat segera mengatasi sampah, serta memudahkan manusia dalam pengelolaanya. Namun, beberapa teknologi tersebut justru memunculkan masalah baru dalam solusi yang ditawarkannya, seperti Chemical Recycling, Insinerator, dan beberapa teknologi lainnya yang menggunakan prinsip pembakaran sampah dan daur ulang.
Pembakaran
Penemuan-penemuan teknologi yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan sampah, justru membahayakan lingkungan. Diantaranya ada Insinerator, sebuah teknologi yang memanfaatkan proses pembakaran dalam pengolahannya. Proses pembakaran yang dilakukan mengubah material sampah menjadi energi. Namun, teknologi tersebut masih menghasilkan abu sisa dan polusi berbahaya bagi manusia yang tinggal disekitarnya. Penemuan-penemuan terkait teknologi pembakaran diungkapkan oleh GAIA (Global Alliance for Incinerator Alternatives) di situs resminya, tentang insinerator yang berjalan di Eropa. Mesin tersebut ternyata menghasilkan dioxin yang dikenal sebagai polutan paling berbahaya. Jumlah insinerator yang banyak dan tidak sebanding dengan sampah yang akan diolah, menimbulkan pemikiran baru kepada masyarakat untuk menyampah lebih banyak. Sampah-sampah tersebut dikumpulkan untuk dibakar pada alat tersebut dan diubah menjadi energi. Cara tersebut lebih diunggulkan daripada cara daur ulang yang hasilnya masih berupa fantasi, walaupun masih menghasilkan banyak dampak negatif bagi lingkungan.
Di Indonesia, ada beberapa teknologi pembakaran yang mulai dioperasikan, diantaranya ada Refused Derived Fuel (RDF)di TPA Jeruklegi Cilacap, ITF (Intermediate Treatment Facility) di beberapa TPA di Jakarta, PLTSa TPA Jatibarang Semarang, PLTSa Benowo di Surabaya, dan “Tungku Ajaib” di Kabupaten Bandung. Teknologi tersebut juga memanfaatkan proses pembakaran dengan suhu yang tinggi sehingga akan menghasilkan fly ash dan bottom ash. Energi yang besar pun dibutuhkan apabila sampah tercampur antara organik dan anorganik. Tak sedikit biaya yang pemerintah keluarkan untuk mengoperasikan teknologi tersebut. Padahal listrik yang dihasilkan belum sebanding. Pada kenyataannya, seperti yang tulis pada laporan All-Talk and No Recycling yang dikeluarkan oleh GAIA, emisi GHG (Green House Gasses) yang dihasilkan cukup besar, disaat industri mengklaim bahwa jumlah ini lebih sedikit dibanding emisi gas yang dihasilkan oleh minyak bumi konvensional.
Daur Ulang
Selain pembakaran sampah, ada juga teknologi daur ulang seperti Chemical Recycling dan Mechanical Recycling. Teknologi ini mendaur ulang plastik menjadi plastik kembali. Pada tahun 1989, perusahaan-perusahaan plastik memulai kampanyenya secara diam-diam mengenai pemasangan simbol daur ulang pada produk perusahaan-perusahaan terkait dan membuat para aktivis lingkungan ikut menyetujui dengan dalih untuk mempermudah memisahkannya dan juga memudahkan proses daur ulang. Simbol daur ulang tersebut biasa kita temukan di bagian bawah botol/gelas air minum dalam kemasan (AMDK). Fakta bahwa sesungguhnya plastik tidak bisa dan tidak akan bisa didaur ulang ditutupi oleh industri. Hal tersebut ditemukan oleh media NPR dan PBS Frontline setelah menggali informasi internal dari industri terkait. Industri plastik menggelontorkan uang untuk menyebarkan informasi bahwa plastik dapat didaur ulang walau sebenarnya itu hanya fantasi belaka. Sebuah pendekatan “Build first, sell now, protect health later” menjadi dasar para perusahaan industri daur ulang untuk menjual berbagai macam produk mereka. Daur ulang yang melibatkan proses pembakaran didalamnya, dipopulerkan kepada publik dengan istilah-istilah yang menyamarkan ancaman bahayanya.
Masih berbicara tentang daur ulang, pada sebuah laporan yang diterbitkan oleh GAIA, dinyatakan bahwa dalam Chemical Recycling, kita mengenal adanya teknologi pirolisis dan gasifikasi yang dapat mengubah sampah plastik menjadi plastik kembali dan siap untuk digunakan. Namun pada kenyataannya, teknologi tersebut tidak menjadi solusi, justru menimbulkan masalah baru di sektor ekonomi dan lingkungan. Masalah tersebut adalah :
a. Daur ulang kimia menghasilkan bahan kimia yang beracun dan berbahaya bagi lingkungan,
b. Daur ulang kimia menghasilkan jejak karbon dalam jumlah yang cukup besar,
c. Daur ulang kimia belum terbukti berhasil dalam jumlah yang besar,
d. Daur ulang kimia masih belum bisa bersaing di pasaran,
e. Daur ulang kimia tidak cocok dengan konsep ekonomi sirkular.
Dengan adanya penemuan-penemuan tersebut, bisa menjadi pertimbangan bagi seluruh pihak, khususnya pemerintah dalam menentukan kebijakan apa yang akan dilakukan untuk mengatasi permasalahan sampah. Tidak hanya plastik, tetapi juga material sampah lainnya. Berbagai macam aspek harus diperhatikan supaya tidak menimbulkan permasalahan baru yang berdampak pada kerusakan lingkungan.
Lalu, apakah dengan munculnya permasalahan tersebut membuat kita putus asa dan menyerah untuk menangani sampah dan tetap menumpuknya di TPA? Coba bayangkan, jika kita tidak segera mencari solusi yang baik dan masih melakukan konsumsi seperti biasa, pada tahun 2040 sekitar 30 juta metric ton per sampah berakhir di lautan per tahunnya.
Pengelolaan Sampah yang Sebenarnya
Solusi yang tepat untuk menggantikan teknologi-teknologi di atas, hendaknya dapat menggantikan sistem end-of-pipe, yang tidak ada upaya untuk mengurangi produksi sampah dari sumber. Penanganan seharusnya tidak hanya terjadi di hilir, tetapi juga di hulu. Di Indonesia sudah terdapat kebijakan nasional yang mendukung perbaikan pengelolaan sampah yang tercantum pada UU No. 18 tahun 2008 dan PermenLHK No. 75 tahun 2019, dimana semua stakeholder (Masyarakat, Pemerintah dan Produsen)berperan dan bersinergi di ranahnya masing-masing.
Sesuai dengan amanat UU No. 18 tahun 2008, ada sebuah solusi yang saat ini sedang gencar dilakukan di beberapa kota di Indonesia, yaitu Zero Waste Cities. Dalam praktiknya, Zero Waste Cities mengutamakan pengelolaan sampah dari sumber dan dilakukan secara desentralisasi dalam skala kewilayahan. Program ini bertujuan untuk mengurangi beban sampah menuju TPA. Di Bandung, kita mengenal program Kang Pisman yang menganut sistem Zero Waste Cities. Bersama pendampingan oleh YPBB, program ini sudah berjalan sejak tahun 2017 menangani sampah dari sumber dan telah berhasil mengurangi sampah sebanyak 23,13%. Sama halnya dengan kota Bandung, Program Cimahi Barengras di Kota Cimahi juga telah menunjukkan keberhasilannya dalam melaksanakan Zero Waste Cities. Data yang masuk pada data YPBB hingga bulan September 2020 ini, sekitar 38% sampah sudah tertangani sejak dari sumber dan mengurangi beban menuju TPA. Dukungan dari berbagai pihak tentunya sangat dibutuhkan dalam pencapaian cita-cita bersama menciptakan lingkungan yang bersih dan bebas dari permasalahan sampah.
Artikel ini dipublikasikan ulang dari http://ypbbblog.blogspot.com/2020/10/false-solution-tawarkan-solusi-dengan.html?m=1
Sumber :
Data YPBB
Patel, D., Moon, D., Tangri, N., Wilson, M. (2020). All Talk and No Recycling: An Investigation of the U.S. “Chemical Recycling” Industry. Global Alliance for Incinerator Alternatives. www.doi.org/10.46556/WMSM7198
UU No. 18 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah
Permenlhk No. 75 tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen