“Klenteng.. klenteng… klenteng..” terdengar sapaan akrab dari alam ketika tim Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengunjungi kantor Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali di Kota Denpasar, pekan lalu. Suara tersebut berasal dari kaleng yang beradu pada batang kayu di tengah sawah yang mengikuti arah angin.
Bunyi dari kaleng sesekali beradu dengan suara gonggongan Blacky, si anjing hitam penjaga. Blacky tahu ketika ada tamu yang datang. Layaknya memberi sinyal melalui gonggongan, seseorang muncul dari dalam kantor yang tak lain adalah Direktur PPLH Bali, Ibu Catur Yudha Hariani.
“Ayo masuk, mau duduk di dalam apa di luar?” ujar Bu Catur. Kami pun sepakat untuk duduk di luar sambil menikmati suasana alam dan pepohonan yang rindang di saung yang terbuat dari bambu. Tak lama berselang, terdapat dua gelas minuman daun mint yang disuguhkan sendiri oleh Bu Catur.
“Di sini ada kolam lele, mau lihat?” ajaknya. Kami mengangguk. Setelah seteguk-dua teguk minuman yang terasa dingin di tenggorokan itu kami minum, kami diajak berkeliling kebun belakang kantor. Ada dua buah kolam besar berisi lele. Tak hanya kolam, ada pula kebun sayur hidroponik, lubang-lubang resapan biopori dan drum-drum yang berisi kompos. Benar-benar menakjubkan.
Setelah puas bermain-main di kebun, kami diajak masuk ke dalam ruang kantor. Meja segi empat diatur memanjang dan kursi telah disediakan di dalam jika tak ingin terlalu berangin-angin di luar. Tak hanya itu, deretan buku-buku tentang lingkungan juga berderet di rak yang boleh dibaca siapa saja.
Dengan konsep kantor layaknya sekolah alam, PPLH Bali membuka ruang seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin berkunjung, belajar dan berdiskusi seputar tema lingkungan hidup. Hal ini membuktikan bahwa perjuangan PPLH Bali dalam lingkungan ternyata bukan hanya sekedar isapan jempol belaka. Mereka menunjukkan bahwa lingkungan harus diperjuangkan bukan hanya kampanye dan aksi di lapangan kepada publik luas, namun juga perlu diinternalisasi dalam perilaku pegiat dan organisasi lingkungan. PPLH Bali menggunakan pendekatan pendidikan lingkungan sebagai strategi untuk membuat perubahan.
“Berbicara soal pendidikan lingkungan itu kan soal merubah perilaku masyarakat. Dan itu tidak mudah, nah karena tidak mudah, makanya strateginya itu harus dimulai pendidikan sejak dini,” kata Bu Catur sambil menjelaskan.
Sejak berdiri tahun 1997, PPLH Bali sebenarnya merupakan bagian atau pengembangan dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) yang di Seloliman, Trawas, Jawa Timur yang lebih dulu lahir pada tahun 1990.
Dalam bidang lingkungan hidup, lembaga ini memiliki kegiatan-kegiatan seperti manajemen pengelolaan sampah, konservasi air dan sanitasi, pertanian organik perkotaan, energi terbarukan dan pengembangan sekolah sehat dan ramah lingkungan.
Sementara dalam pendidikan dan pelatihan, ada seminar, diskusi dan lokakarya yang merupakan bentuk kegiatan utama. Sedangkan bentuk kegiatan penunjangnya adalah studi, penelitian, survei, pengembangan dan pendampingan masyarakat, penerbitan dan publikasi.
“Dari 1997, kami sudah masuk ke isu sampah, terutama dalam pendampingan masyarakat, buat percontohan pengelolaan sampah di desa dan lain-lain. Yang mana pada akhirnya membawa kami bersinergi dengan AZWI,” papar Bu Catur.
Lebih lanjut, ibu satu anak tersebut mengaku dengan adanya kerjasama bersama AZWI, membantu PPLH Bali untuk semakin menguatkan pergerakan di bidang lingkungan hidup.
Sebab, berbagai anggota AZWI lain seperti Ecoton, Nol Sampah, Nexus3 Foundation, Greenpeace Indonesia, Walhi Nasional, ICEL, YPBB dan GIDKP memiliki fokus program dan fungsi berbeda-beda yang mampu menyokong satu-sama lain melalui ikatan kesamaan visi gerakan.
“Terus terang kan PPLH selama ini pendekatannya lebih kepada edukasi, kami tidak cukup kuat dengan analisis kebijakan dan hukum, tidak cukup kuat untuk class action, tidak aktif melakukan penelitian, jadi buat kami adanya kolaborasi seperti di AZWI akan semakin menguatkan,” jelas Bu Catur.
“Kami menyadari bahwa menyelesaikan masalah itu kan banyak sisi, jadi melalui edukasi akan bisa menjelaskan dari hasil penelitiannya, ini lho, secara hukum begini lho. Nah jadi saling melengkapi dan bersinergi,” tambahnya.
Selain terlibat dalam jejaring di AZWI, perempuan asal Mojokerto itu menerangkan bahwa PPLH juga bersinergi dengan berbagai komunitas di Bali. Baginya, Bali adalah pulau yang sangat mementingkan kearifan lokal di dalam perilaku keseharian warganya. Sehingga PPLH Bali menyebarkan kegiatan edukasi lingkungan kepada masyarakat dan komunitas lain di Bali melalui pendekatan sosial budaya lokal.
Agar kegiatan tepat sasaran, PPLH Bali terus mempelajari dan memperhatikan pendekatan sosial budaya dalam pengelolaan lingkungan hidup di Bali. Misalnya pendekatan ke masyarakat masuk melalui Banjar. Peranan tetua-tetua Banjar perlu dipahami untuk memastikan agar seluruh masyarakat terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang diinisiasi oleh PPLH.
Kiprah PPLH Bali dalam dua dekade terakhir bersama warga dan komunitas lain sedikit banyak telah membawa perubahan pada kondisi lingkungan hidup Pulau Dewata, baik di level perubahan perilaku warga hingga perubahan kebijakan. Salah satu milestone penting kiprah PPLH Bali adalah keterlibatan mereka dalam mengawal pelaksanaan Peraturan Gubernur Bali No. 97 tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Plastik Sekali Pakai di Bali melalui kampanye baik di sekolah dan masyarakat umum serta pemantauan.
Liputan: Siti Dzakiyyah