Kemasan sachet ada di mana-mana. Mulai dari warung, sekolah, supermarket, sungai, pantai, gunung hingga di alam bebas. Kemasan sachet Digunakan dalam berbagai produk dari deterjen hingga kopi instan.
Di Indonesia, sampah plastik sachet merupakan 16% dari sampah plastik yang berjumlah 768.000 ton per tahun. Jumlah sampah kemasan sachet diprediksi akan terus menumpuk karena produksinya yang terus meningkat. Greenpeace melaporkan sebanyak 855 miliar sachet terjual di pasar global tahun 2020. Asia Tenggara memegang pangsa pasar sekitar 50%. Diprediksi jumlah kemasan sachet yang terjual akan mencapai 1,3 Triliun pada tahun 2027. Tak menutup kemungkinan, angka ini akan terus meningkat seiring dengan pola konsumsi masyarakat.
Awalnya, kemasan jenis ini diciptakan untuk membuat hidup lebih praktis dan ekonomis. Namun, seiring berjalannya waktu, kehadirannya seakan menjadi ancaman bagi lingkungan.
Sampah sachet tidak dapat didaur ulang secara aman dan berkelanjutan serta ditemukan mencemari lingkungan darat maupun laut. Ini terjadi karena sampah sachet tidak hanya terdiri dari satu lapisan plastik saja, tapi 3 hingga 4 lapisan. Mulai dari lapisan paling dalam berwarna bening, aluminium foil, lapisan gambar hingga lapisan laminasi. Akibatnya, pengusaha malas untuk mengupas lapisan kemasan sachet satu per satu. Selain itu, belum ada teknologi yang dapat mendaur ulang sampah sachet yang bersifat multilayer ini.
Sampah kemasan sachet di Indonesia berujung di TPA, berpotensi dibakar lalu menimbulkan pencemaran udara. Jika tidak terangkut ke TPA, kemasan sachet secara fisik bisa menjadi mikroplastik yang ukurannya kurang dari 5 mm dan dapat mencemari lingkungan.
Mikroplastik mempunyai 2 tipe, yaitu primer dan sekunder. Plastik multilayer akan menghasilkan mikroplastik sekunder akibat adanya proses degradasi bahan tersebut. Dampak dari penggunaan plastik kemasan sachet yang semakin masif akan membahayakan kehidupan mikroorganisme, biota laut, makhluk hidup lainnya sehingga berpengaruh terhadap kondisi iklim dunia.
Aliansi Zero Waste Indonesia secara regular mengadakan Brand Audit, yaitu kegiatan mengelompokkan berbagai merek kemasan plastik sachet makanan-minuman hingga produk kebutuhan rumah tangga yang mencemari lingkungan. Sampah kemasan plastik didapatkan kemudian didata dan dihitung, lalu dilaporkan ke produsen/pabrik agar mereka ikut bertanggung jawab dan mengelola lagi sampah produknya. Sejauh ini, sampah plastik sachet didominasi oleh produk dari Unilever, Wings, Indofood, Mayora dan Marimas.
Kemasan sachet mengandung beberapa bahan kimia yang terbukti berbahaya bagi kesehatan manusia, seperti zat plasticizer (BPA dan phthalates). Kemasan sachet plastik juga mengandung dioksin, senyawa perflourinasi, retardants dan lainnya.
Senyawa kimia pada kemasan sachet plastik pada makanan memiliki risiko kontaminasi yang dapat menggangu keseimbangan hormon manusia. Risiko ini dikenal sebagai migrasi, sebuah proses terjadinya perpindahan suatu zat dari bahan pembentuk kemasan pangan kedalam produk makanan. Migrasi yang terjadi dari suatu kemasan ke dalam produk yang dikemas dapat memberikan dampak terhadap kualitas produk yang dikemas, yaitu mempengaruhi aroma, bau serta rasa dari produk serta memberikan dampak terhadap kesehatan manusia. Apabila komponen atau senyawa yang termigrasi terakumulasi dalam tubuh manusia, maka dapat menyebabkan penyakit, seperti kanker, PCOS pada wanita dll.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa bahan kimia pada sachet masuk ke dalam tubuh lewat makanan yang dikonsumsi, air dan udara. Contohnya saja, barang konsumsi harian yang paling banyak mengandung mikroplastik adalah air minum kemasan, dengan estimasi rata-rata kandungan sebanyak 94,37 partikel mikroplastik/gram/liter/m3.
Ada sejumlah solusi yang ditawarkan. Sayangnya, beberapa hanyalah solusi semu belaka. Mari mengedukasi diri tentang mana yang solusi nyata dan mana yang adalah solusi palsu.
Salah satu solusi yang dianggap dapat mengurangi dampak buruh sachet adalah teknik refuse-derived fuel (RDF). Ini adalah teknologi pengolahan sampah yang memroses sampah ke dalam ukuran yang lebih kecil (pelet), dan hasilnya diklaim dapat digunakan sebagai bahan bakar dalam klin semen atau pembakaran di boiler berbahan bakar batu bara. Pada tahun 2020, pemerintah berecana membangun 34 unit RDF.
Sayangnya, ini adalah solusi palsu karena tim kami menemukan bahwa teknologi ini malah mencermari saluran air dan kualitas udara, berisiko negative kepada lingkungan dan kesehatan, serta dapat memperburuk perubahan iklim.
Pemerintah harus transparan dalam menyampaikan informasi tentang emisi dari fasilitas pengguna RDF.
Unilever Indonesia secara konsisten berada di antara tiga teratas perusahaan pencemar dalam audit merek baru-baru ini di beberapa kota besar. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah memperkenalkan teknologi CreaSolv® Process pada tahun 2017. Sebuah proyek unggulan Unilever Indonesia yang menjadi contoh inovasi teknologi yang dapat memecahkan seluruh masalah sampah plastik global dengan mendaur ulang plastik bernilai rendah.
Namun, dua tahun setelah peluncurannya, proyek tersebut secara diam-diam ditutup operasinya. Laporan dari investor lokal mengungkapkan dampak berlapis-lapis dari proyek CreaSolv®, mulai dari kesulitan logistik pengumpulan sachet hingga tantangan ekonomi seputar produk akhir.
Untuk menyelesaikan masalah sampah sampai ke akar-akarnya, dapat dilakukan dengan mengurangi bahkan menghentikan produksi plastik sekali pakai ke dalam sistem kehidupan kita lewat Alternative Delivery System (ADS).
ADS berfokus pada prinsip isi ulang (refill) dan pakai ulang (reuse) untuk mengurangi timbulan sampah kemasan sekali pakai dan membentuk gaya hidup ramah lingkungan. Dahulu, beberapa model ADS telah diterapkan oleh masyarakat kita (contohnya sistem pengisian ulang galon air minum, tabung gas LPG, minuman teh dingin dan lainnya).
Salah satu model ADS adalah sistem isi ulang. Pelaku bisnis dapat menjual berbagai produk dalam jumlah dan ukuran besar, tanpa kemasan plastik. Nantinya pelanggan diharuskan membawa wadah sendiri untuk menampung produk yang ingin dibeli. Pelanggan akan membayar sesuai jumlah massa produk setelah ditimbang. Apabila pelanggan tidak membawa wadah, pelaku bisnis dapat menyediakan wadah untuk dibeli ataupun dipinjam dengan sistem deposit (jaminan wadah kembali tanpa kerusakan). Baru-baru ini, banyak bermunculan toko-toko curah dan stasiun isi ulang di beberapa kota besar di Indonesia untuk menangani sampah kemasan sekali pakai seperti sachet.
1. Bagi produsen/pelaku bisnis: melakukan pengiriman pasokan barang menggunakan palet kayu/krat/bahan lainnya yang dapat digunakan berulang. Selain itu, pelaku bisnis yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, dapat menerapkan toko refil di mana pelanggan membawa wadah sendiri selain plastik sekali pakai.
2. Bagi masyarakat: masyarakat dapat mulai mengurangi penggunakan produk dengan kemasan sekali pakai. Misalnya, mengganti kantong plastik sekali pakai dengan tas belanja, menggunakan tumbler untuk membeli minuman, menggunakan sedotan stainless steel, dan lainnya.
3. Bagi pemerintah: pemerintah dapat memberikan dukungan dengan mengesahkan kebijakan-kebijakan untuk mengontrol penggunakan kemasan sekali pakai dan mendorong perluasan penerapan ADS. Selain itu peran pemerintah juga memastikan adanya insentif untuk mendayagunakan ADS, mulai dari insentif finansial, penghargaan, atau pengakuan publik. Dukungan pemerintah akan sangat membantu percepatan replikasi dan pengembangan sistem ADS.