Limbah tar (air lindi) sisa hasil pembakaran sampah dari operasional Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) terlihat terbawa oleh aliran sungai sekitar pemukiman masyarakat. Masyarakat Desa Jengglong, Kelurahan Plesungan, Kecamatan Wonorejo, Kabupaten Karanganyar keluhkan sungai bau dan berwarna hitam pekat. Aktivitas penggunaan Sungai oleh warga pun berhenti yang seharusnya dapat digunakan untuk minum dan memandikan ternak.
Dewasa ini produksi sampah di Indonesia semakin mengkhawatirkan seiring dengan peningkatan laju penduduk dan daya konsumsi masyarakat. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) melaporkan bahwa tahun 2023 timbulan sampah di Indonesia mencapai 19,517,172.98 ton/tahun. Segala upaya telah diusahakan oleh pemerintah untuk mengentaskan permasalahan sampah ini, namun efektivitas program-program tersebut masih belum optimal. Hingga akhirnya, pemerintah mencanangkan rencana pengolahan sampah menjadi energi dengan membangun pembangkit listrik tenaga sampah menjadi energi atau lebih dikenal PLTSa.
Kota Solo menjadi salah satu daerah yang menjadi wahana percobaan teknologi yang di gadang-gadang menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah sampah tanpa adanya pencemaran lingkungan. Kota Solo sendiri memiliki track record timbunan sampah yang memperihatinkan 5 tahun terakhir ini. Hal tersebut disebabkan oleh kenaikan timbunan sampah yang mencapai 36% dari tahun 2019 hingga tahun 2023. Data dari Badan Pusat Statistik Surakarta dan Dinas Lingkungan hidup menampilkan bahwa sampah yang awalnya 111.836 ton pada tahun 2019 menjadi 152.974 ton pada tahun 2023. Pada akhirnya, Pemkot Solo memiliki mimpi untuk mengubah sampah-sampah menjadi energi listrik melalui PLTSa.
Teknologi yang beroperasi dengan gasifikasi ini dipercaya dapat mengurai sampah hingga 500 ton perhari. Selain itu, limbah yang dihasilkan dari hasil pembakaran sampah konon dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pestisida dan produk lainnya.
Tender proyek PLTSa di Kota Solo sendiri dimenangkan oleh PT Solo Citra Metro Plasma Power dan awal operasional diresmikan oleh Walikota Solo pada Senin, 30 Oktober 2023. Dengan mimpi melahap habis gunungan sampah di TPA Putri Cempo dalam kurun waktu 5 tahun.
Bukan hanya itu, Surakarta pun nantinya akan menjadi tempat penyetoran sampah dari beberapa daerah di Solo Raya mulai dari Karanganyar, Sukoharjo, Sragen, Boyolali, Klaten, dan Wonogiri. Hal tersebut karena PLTSa yang rakus melahap sampah sampai-sampai sampah 300 ton/hari Kota Surakarta tidak mampu mencukupi kebutuhan mesin tersebut.
Akan tetapi, dampak yang berbeda dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekiataran PLTSa. Banyak laporan dari masyarakat sekitar dan pemulung yang mengeluhkan kegiatan operasional PLTSa yang meresahkan. Pasalnya masyarakat merasa bau yang ditimbulkan dari PLTSa yang bau nya tidak sedap, bak karet terbakar atau bau hangus. Bau yang menyekat di khawatirkan mengganggu pernapasan terutama untuk anak-anak.
“Dulu bilangnya nggak akan berbagi, nggak berasap, nggak bising, tapi nyatanya baunya dari operasional PLTSa itu sangat seperti bau terbakar gitu, kan takutnya pengaruh ke pernapasan. Terutama disini banyak anak kecil ada juga bayi juga jadi kadang itu rasanya pas bau malah pusing,” terang PN salah satu pemulung TPA Putri Cempo.
Pengakuan lain juga dikeluhkan NR yang tinggal bersebrangan dengan wilayah operasional PLTSa. Dia mengaku kalau operasionalnya yang 24 jam itu sangat mengganggu dia dan tetangga karena berisik hingga tengah malam. Jam tidurnya pun terganggu setelah ada operasional PLTSa karena sulit untuk tidur. Bahkan operasional PLTSa sampai menimbulkan getaran-getaran kecil di rumahnya setiap hari.
“Tiap hari berisik itu mesinnya, dari suara itu lho sampai tengah malam tetap bunyi takutnya ganggu anak-anak buat tidur. Sampai tiap malam itu ada getaran-getaran gitu yaa seperti gempa kecil,” jelas NR tertawa miris.
Pencemaran lain juga dikeluhkan warga karena limbah tar (air lindi) hasil pembakaran yang berwarna hitam pekat terbuang di sekitar rumah penduduk. Tar sendiri merupakan limbah berbentuk cairan yang berbau dan berwarna hitam hasil dari gasifikasi operasional PLTSa.
“Sudah beberapa kali terjadi luapan tar yang masuk ke Sungai setelah operasional PLTSa. Terutama saat hujan itu deres sekali ditambah bau nyengat kalau hujan,” kata PN salah satu masyarakat yang merasakan dampak aliran tar saat di temui tim media Gita Pertiwi.
Investigasi juga dilakukan oleh Gita Pertiwi guna mengetahui kebenaran pencemaran limbah tar tersebut, dan benar saja dari mesin-mesin pengolahan sampah itu keluar cairan hitam pekat yang berbau bahkan turun ke sungai tepat di samping rumah warga. Warga juga mengatakan Sungai tersebut mengalir hingga ke sungai besar yaitu Bengawan Solo. Bahkan saat musim hujan warga mengeluh bau yang menyengat sangat terasa saat tar tersebut meluncur ke sungai.
Tidak lama dari investigasi tersebut Prodi Ilmu Lingkungan UNS mengadakan Workshop bertajuk “Prospek Pengelolaan Sampah Surakarta Dengan Operasional PSEL Putri Cempo Menuju Kota Cerdas Berkelanjutan” dan mengundang perwakilan PLTSa Putri Cempo serta DLH Surakarta dalam pematerinya. Kesempatan emas tersebut tidak dilewatkan oleh tim media Gita Pertiwi. Saat dikonfirmasikan kepada pihak AG yang merupakan waste processing PT Solo Citra Metro Plasma Power mengakui memang pengelolaan limbah tar belum selesai pembangunan dan berdalih kalau tar tersebut masih belum dikelola secara maksimal untuk dijadikan pestisida cair atau POC. Sehingga terlihat banyak tar yang tumpah-tumpah karena belum ada atap untuk menutupi kolam.
“Iyaa memang di atas kolam penampungan itu belum ada atap jadi saat hujan banyak terbawa air keluar PLTSa jadi ternyata penuh kolamnya banyak tar yang meluber,” jelas AG saat menjawab pertanyaan di seminar tersebut. Disisi lain investigasi yang dilakukan ketika kondisi sedang cerah.
Pihak PLTSa juga berjanji dalam 1 bulan ke depan penutup akan segera terpasang agar cairan tar tersebut tidak meluber dan mencemari lingkungan warga. Tim Gita Pertiwi juga berkomitmen untuk mengawal segala bentuk dampak adanya operasional PLTSa agar tidak menimbulkan beban lingkungan bagi masyarakat sekitar. (Gita Pertiwi)