Jakarta, 18 Agustus 2020– Beberapa minggu terakhir, pemberitaan media menyoroti pembangunan beberapa unit pengolahan sampah berbasis termal seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) dan Refuse-Derived Fuel (RDF). Di tengah situasi pandemi, pemerintah memaksakan pembangunan proyek-proyek teknologi termal ini yang justru akan menyebabkan masalah jangka panjang bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat. Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengingatkan pemerintah menjalankan mandat Undang-Undang Pengelolaan Sampah No. 18/2008 dengan mendorong pengelolaan sampah dari sumber dan minimasi sampah.
Pada Juni 2020, Satuan Tugas Citarum Harum Sektor 6 berencana membangun tungku bakar insinerator untuk mengatasi sampah di kawasan Sungai Citarum. Insinerator tersebut diklaim dapat mengubah sampah menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM). Selain melalui pemusnahan di tungku bakar, pengelolaan sampah Program Citarum Harum akan dikembangkan menjadi RDF yang dipergunakan sebagai bahan bakar campuran (co-firing) di PLTU batubara dan pabrik semen. Di samping Program Citarum Harum, di Provinsi Jawa Barat juga akan dilakukan pembangunan TPPAS Regional Legok Nangka yang merupakan salah satu proyek PSEL.
Menurut Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Meiki Paendong, “Pengelolaan sampah menggunakan teknologi termal di program Citarum Harum bukan solusi penyelesaian masalah sampah secara prinsip. Cara tersebut akan menciptakan masalah baru yaitu polusi udara, beresiko pada kesehatan warga dan berpotensi menjadi proyek yang rentan terjadi praktik korupsi.”
Meiki menambahkan bahwa ”Proyek PSEL seperti insinerator dan RDF akan meruntuhkan praktik pengelolaan sampah yang sudah ada dan sedang dibangun saat ini lewat penerapan prinsip-prinsip Zero Waste di komunitas warga. Hadirnya proyek PLTSa/PSEL dengan label ramah lingkungan dan menghasilkan listrik akan membuat warga semakin terpacu menghasilkan sampah, karena berpikir sampah akan dimusnahkan oleh teknologi termal. Apapun jenisnya, teknologi termal merupakan solusi palsu yang boros energi, mencemari lingkungan dan berdampak pada kesehatan”.
Di Jakarta, pembangunan Intermediate Treatment Facility ( ITF) Sunter terhenti karena PT Jakarta Solusi Lestari yang merupakan joint venture antara PT Jakarta Propertindo dan Fortum dari Finlandia mengakui ada beberapa hal yang belum disepakati oleh beberapa pemangku kepentingan, seperti PLN sebagai pembeli listrik dan pihak pemerintah. Proyek yang mendapatkan dana sebesar USD 250 juta bersumber dari pinjaman International Finance Corporation ( IFC) bagian dari Bank Dunia, merupakan kebijakan keliru dan solusi semu karena berpotensi menciptakan masalah baru pada lingkungan, kesehatan dan finansial .
Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Indonesian Center for Environment Law (ICEL) menyatakan bahwa, “Perhatian Pemprov DKI Jakarta lebih baik diarahkan pada upaya pengurangan sampah di hulu sehingga laju timbunan sampah dapat ditekan semaksimal mungkin. Solusi keliru, seperti pembangunan insinerator di lokasi ITF Sunter yang akan menimbulkan beban lingkungan dan ekonomi, sebaiknya dihentikan”.
Di Cilacap, PT Solusi Bangun Indonesia (PT. SBI) meresmikan pembangunan Pengolahan Sampah RDF di TPA Jeruklegi dengan biaya investasi sebesar Rp. 90 miliar. Fasilitas RDF mengolah sampah sebanyak 120 ton/hari atau 3.600 ton/bulan dan akan memproduksi sekitar 40-50 ton RDF. RDF ini diproyeksikan sebagai pengganti batu bara untuk proses pembuatan semen.
RDF memiliki nilai kalor rendah sekitar 3.000 kcal/kg dan setara dengan low grade coal. Sehingga untuk memenuhi syarat pembakaran dibutuhkan material aditif seperti plastik dalam campuran bahan pelet RDF. Pembakaran sampah plastik melepas senyawa kimia berbahaya seperti dioksin, furan, dan merkuri yang dapat membahayakan kesehatan manusia. United Kingdom Without Incineration Network (UKWIN) menyebut pembakaran sampah akan memperburuk perubahan iklim karena proses produksi energi listrik melalui pembakaran sampah menghasilkan CO2 yang akan lepas ke atmosfer.
Dwi Sawung, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi WALHI mengatakan “Perubahan proyek PLTSa/PSEL insinerator ke RDF tidak menyelesaikan masalah yang muncul dari pelaksanaan proyek PLTSa/PSEL Insinerator. RDF membebankan penyelesaian sampah ke penerima produk RDF dan membagi beban polutan udara kepada industri atau konsumen. RDF tidak menyelesaikan persoalan di hulu pengelolaan sampah, yaitu pengurangan sampah di sumber sesuai amanat undang-undang”.
Di Surabaya, PLTSa di TPA Benowo akan menjadi PLTSa terbesar di Indonesia. Saat ini pembangunan fisik PLTSa Benowo sudah mencapai 100 persen dan sedang akan segera diresmikan. PLTSa ini dirancang untuk mengolah sampah 1.000 ton per hari dan menghasilkan listrik 12 MW. Rencananya, hasil listrik sebesar 2 MW akan digunakan untuk operasional PLTSa Benowo, 1 MW redundant ( cadangan), dan 9 MW dijual ke PLN dengan harga 13.3 cent $/Kwh. Harga jual listrik ini terlampaui tinggi dan berpotensi menambah beban PLN yang mengalami kendala keuangan akibat hutangnya .
Studi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipublikasi pada awal tahun 2020 menegaskan bahwa proyek PLTSa di 12 kota berpotensi merugikan kas negara hingga Rp 3,6 triliun/tahun karena harga jual listrik yang sangat tinggi dan Biaya Layanan Pengelolaan Sampah (BLPS) akan memberatkan Pemerintah Daerah. KPK merekomendasikan pemerintah untuk melakukan evaluasi dari Proyek Strategis Nasional (PSN) PLTSa 12 kota yang sudah berjalan.
Yuyun Ismawati, Senior Advisor dari Nexus3 Foundation menyatakan bahwa “Ada empat faktor penting yang harus dipertimbangkan lebih serius dalam melaksanakan rencana ambisius proyek pengolahan sampah dengan teknologi termal: Pertama, studi kelayakan dan studi AMDAL dari proyek ini harus dibuka kepada publik. Kalau tidak layak, harus dihentikan lalu kaji ulang. Kedua , diperlukan sarana prasarana laboratorium yang memadai dan dapat menganalisis parameter-parameter kimiawi B3 dan PM 2.5 agar kesehatan masyarakat dan lingkungan terjaga.”
“Ketiga, baku mutu lingkungan untuk parameter-parameter yang sudah cukup ketat, misalnya fly ash dan bottom ash sebagai limbah B3, tidak boleh dilemahkan. Sedangkan baku mutu parameter lingkungan yang lemah, misalnya emisi dioksin dari fasilitas termal, harus diubah dan diperkuat. Keempat, pemilahan sampah di sumber, informasi dan keterpaduan daur ulang sampah serta pengelolaan TPA menjadi sanitary landfill harus ditingkatkan agar sejalan dengan kebijakan ekonomi sirkular,” tambah Yuyun.
Oleh karena itu AZWI meminta kepada Pemerintah Indonesia:1. Meninjau ulang proyek PLTSa/PSEL/RDF yang akan atau yang sudah dilaksanakan di Indonesia dan menggantinya dengan alternatif lain yang mendukung kehidupan yang berkelanjutan.2. Memperbaiki tata kelola sampah sesuai dengan amanat Undang-undang No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.3. Menekan produsen untuk bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya dengan Extended Producer Responsibility (EPR).4. Tingkatkan daur ulang sampah, petakan dan integrasikan fasilitas TPST dengan fasilitas/pabrik yang dapat memanfaatkan limbah menjadi campuran produk baru.5. Menerapkan sistem insentif dan disinsentif. Tidak ada pembebasan pajak dan cukai untuk industri petrokimia dan plastik, penggunaan produk dan kemasan yang sulit didaur ulang dan mengandung bahan berbahaya beracun. Sebaliknya, pemerintah harus memberikan insentif untuk mendorong pengurangan timbulan sampah, penjualan sistem curah atau minim kemasan, dan meningkatkan pengelolaan sampah di sumber.
NarahubungKoen Setyawan, Manajer Komunikasi AZWI, koen@aliansizerowaste.id , +628125239974Vancher, Staf Komunikasi AZWI, vancher@aliansizerowaste.id , +6281288549493