Bali, Indonesia – Masyarakat Bali secara bertahap mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, lima bulan sejak dimulainya peraturan sampah di pulau ini. Akan tetapi, satu prosedur hukum lewat uji materi ke Mahkamah Agung ditujukan untuk mengacaukan peraturan peraturan ini, sehingga dapat menjadi ganjalan bagi kemajuan yang telah dibuat di Bali dan daerah lainnya di Indonesia.
“Kita bukannya tidak mendukung daur ulang atau kegiatan bersih-bersih. Ini harus tetap dilakukan, tapi kegiatan-kegiatan seperti ini adalah solusi di hilir, yang bukan merupakan solusi utama dan bukan solusi satu-satunya. Tindakan seperti ini sama saja dengan kita sibuk mengepel lantai yang basah sementara ember sudah meluap dan air keran masih tetap terbuka,” kata Gede Robi, aktivis Bali dan vokalis Navicula. “Kita perlu memikirkan solusi di daerah hulu, yaitu pengurangan, makanya Bali sudah mengambil langkah besar dengan adanya Perwali No 36/2018 dan Pergub No 97/2018 yang membatasi peredaran plastik sekali pakai. Langkah seperti ini adalah langkah ‘tutup keran’.”
Terobosan dalam pengurangan sampah plastik sekali pakai Tahun lalu, Pemerintah Provinsi Bali memperkenalkan larangan yang diberlakukan di seluruh pulau (Pergub) untuk penggunaan kantong plastik (tas kresek), sedotan plastik dan polystyrene, sedangkan pemerintah kabupaten Badung dan ibukota provinsi Bali sendiri, kota Denpasar, masing-masing mengeluarkan peraturan pelarangan penggunaan kantong plastik (Perbup dan Perwali). Instrumen hukum tersebut merupakan bagian dari gelombang larangan serupa yang menyebar di beberapa kota di Indonesia dan seluruh dunia dari Rwanda hingga Hawaii. Paling sedikit 32 negara telah memberlakukan pelarangan kantong plastik, dan lebih banyak negara lagi sedang dalam proses menuju ke sana, untuk merespon polusi plastik yang semakin mengancam di seluruh dunia.
Tanggapan antusias Menanggapi larangan tersebut, banyak supermarket, restoran cepat saji, toko-toko kecil dan pedagang eceran di pulau ini telah berhenti menyediakan kantong plastik sekali pakai (kresek) dan sedotan plastik untuk pelanggan mereka. Pada kenyataannya, banyak bisnis telah melakukan hal tersebut sebelum peraturan provinsi itu diberlakukan pada bulan Juni 2019.
“Pelanggan saya senang jika saya menyajikan minuman mereka dengan menggunakan sedotan bambu – mereka terkejut dengan banyaknya sampah plastik di pulau ini dan mau membantu pengurangan,” kata I Nengah Budi Hartawan, manajer restoran Segara Seaside di Sanur.
Beberapa supermarket, seperti Bintang, telah mulai mengganti pembungkus sayuran dari plastik dengan bahan pengganti yang alami. Para pembeli membawa tas mereka sendiri ketika berbelanja. Sementara itu, upaya-upaya pembatasan penggunaan plastik sekali pakai dalam kegiatan adat, budaya dan agamadi Bali sedang dilakukan. Aksi ini membantu munculnya kembali produk-produk tradisional terbuat daribahan lokal yang ramah lingkungan.
Parisada Hindu Dharma (PHDI) Provinsi Bali melarang penggunaan kantong plastik untuk membungkustirta suci dan membungkus banten di pura. Pura Besakih, Pura Sakenan dan Pura Jagadnatha sempatmenjadi viral saat larangan penggunaan plastik sekali diterapkan di pura tersebut.
Dalam kunjungannya ke Denpasar pada bulan Mei 2019, Presiden Jokowi bahkan memberikanapresiasinya atas upaya kota Denpasar dalam mengganti tas plastik dengan tas ramah lingkungan.
Pergub pelarangan sedang dalam bahaya
Meskipun demikian, keberlangsungan peraturan gubernur tersebut sedang dalam bahaya. Sekelompokpengusaha plastik dan daur ulang, yaitu Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) telah melayangkan permohonan uji materi pelarangan tersebut secara hukum di Mahkamah Agung RI. Menurut ADUPI,peraturan ini mengakibatkan berkurangnya bahan-bahan bagi usaha daur ulang mereka dan produsenplastik juga mengalami kerugian karena mereka tidak lagi dapat menjual plastik di Bali.
“Hanya 9% plastik di Indonesia saat ini faktanya didaur ulang. Bagaimana bisa ADUPI mengklaim bahwa mereka kekurangan bahan daur ulang jika masih ada 91% sampah mencemari darat dan lautan di luarsana?” kata Catur dari KPS Bali. Sedotan plastik, kantong plastik dan polystyrene bekas adalah bahan bernilai rendah untuk didaur ulang, yang mana pada prinsipnya tidak terlalu dicari dibandingkan dengan sampah plastik lain seperti botol-botol PET.
Menanggapi peninjauan secara hukum dari ADUPI ini, KPS Bali telah membuat sebuah petisi online yang mendukung peraturan provinsi. Hingga Mei 2019, petisi ini telah didukung lebih dari 125,000 tandatangan sebagai keprihatinan akan kembali maraknya polusi plastik di Bali jika tidak didukung olehpemerintah provinsi Bali.
Dalam level global, dorongan lebih lanjut terhadap pelarangan di Bali ini dideklarasikan awal bulan ini,ketika 187 negara yang menandatangani di Konvensi Basel menyetujui amandemen yang mengharuskan negara-negara pengekspor sampah plastik untuk memperoleh persetujuan dari negara-negara berkembang/pengimpor sampah plastik yang menerima limbah plastik (termasuk plastik sekali pakai) yang terkontaminasi, jenis campuran atau tidak dapat didaur ulang.
Tidak ada kata kembali
“Selama lebih dari satu dekade, upaya-upaya untuk memperkuat pengelolaan sampah belummenghasilkan perkembangan yang berarti, sedangkan di saat yang sama jumlah sampah plastik di lautan tampaknya selalu bertambah. Kami masyarakat Bali, telah melihat bagaimana pelarangan tersebut memberikan manfaat yang jelas bagi pulau ini – kami tidak akan kembali,” tambah Putu Evie Suyadnyani, ketua Trash Hero Kertalangu berbicara atas nama KPS Bali.
Untuk informasi lebih lanjut:
Surya Anaya/Dogi, KPS Bali: 0812 3833 544
Catur, PPLH Bali: 0812 3631 1819