Jakarta, 25 Juni 2019 – Tahun 2015, para peneliti menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara kedua penyumbang pencemaran lautan global. Mencermati sikap tegas Cina dan negara-negara ASEAN lain dan tidak seriusnya Indonesia menyikapi krisis global ini, para aktivis lingkungan memperingatkan Presiden Joko Widodo untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai pencemar lautan global nomor satu di akhir tahun ini.
Studi Bank Dunia mengungkapkan komposisi sampah pada badan air Indonesia terdiri dari 21% popok sekali pakai, 16% tas plastik kresek, bungkus plastik/sachet 5%, kaca dan logam 4%, botol plastik 1%, plastik lainnya 9% dan sampah organik 44%. Laporan hasil audit merek yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia pada pertengahan September 2008 di tiga lokasi di Indonesia, menemukan kemasan produk-produk dari Santos, P&G dan Wings sebagai yang terbanyak dari kegiatan bersih-bersih pantai di Tangerang; Danone, Dettol, Unilever di Bali; dan Indofood, Unilever, serta produk Wings di Yogyakarta.
Selama kurun waktu 1988-2016, Cina telah menyerap sekitar 45,1% sampah plastik dunia. Namun sejak Maret 2018 lalu, Pemerintah Cina menerapkan kebijakan ketat impor sampah plastik mereka yang dikenal sebagai Kebijakan “National Sword”. Hal ini membuat perdagangan sampah, khususnya sampah plastik, di seluruh dunia terguncang.
Walaupun sedari awal negara-negara ASEAN lain telah menjadi negara pendaur-ulang limbah plastik (sekitar 3% sisa, reja dan skrap plastik global) dan mengirimkan kembali 5% untuk diekspor ke pasar global, namun dengan pengetatan regulasi impor di Cina, beban daur-ulang dan pengelolaan sampah di negara-negara ini menjadi jauh lebih berat.
“Ada dua jenis sampah dan skrap plastik yang diproduksi oleh pabrik kertas yang kami temukan di Gresik; yang pertama adalah plastik yang dicampur dengan kertas yang tidak dapat didaurulang, digunakan untuk bahan bakar produksi tahu atau bahan bakar lainnya. Tipe kedua adalah sampah plastik dengan berbagai bentuk, dalam bentuk botol, sachet, kemasan makanan, produk perawatan tubuh, dan produk rumah tangga,” kata Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton. “Perusahaan-perusahaan yang kami pantau hampir semuanya menyalahgunakan izin impor dan mencemari lingkungan dengan memindahkan masalah ke orang biasa,” tambah Prigi.
Beberapa negara ASEAN telah merespon perubahan perdagangan limbah plastik global ini dengan pembatasan impor. Pada Juli 2018 yang lalu, pemerintah Malaysia mencabut izin impor perusahaan dan telah menargetkan pelarangan impor pada 2021. Thailand juga menargetkan pelarangan impor akibat kenaikan drastis impor sampah plastik mereka dari Amerika sebesar 2000% (91.500 ton) pada 2018. Vietnam pun sudah tidak lagi mengeluarkan izin baru untuk impor sisa, reja, dan/atau skrap plastik, kertas, serta logam.
“Pada prinsipnya, impor sampah maupun impor limbah dilarang dalam Undang-Undang. Namun, terdapat kompleksitas definisi dalam menilai apakah suatu komoditas kualifikasinya sampah atau limbah; dan kalau limbah, dikecualikan dari larangan impor atau tidak. Ini yang memberi ruang bagi modus-modus seperti di Gresik,” ujar Margaretha Quina, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dari ICEL. “Kompleksitas definisi ini harus dibenahi, karena konsekuensinya beda: ilegal atau legal, taat atau tidak taat. Untuk temuan Ecoton di Gresik, menurutnya, dapat dikualifikasikan ketidaktaatan administratif hingga kejahatan. Selemah-lemahnya, dapat dikenakan kewajiban re-importasi jika terkontaminasi limbah B3, serta dapat dicabut persetujuan impornya jika penerbitannya didasarkan penyampaian data yang tidak benar. Seberat-beratnya, importir dipidana atas delik memasukkan sampah ke NKRI dalam UU Sampah, melawan hukumnya bisa terpenuhi karena faktanya barang yang diimpor berupa sampah, bertentangan dengan izinnya.”
Indonesia mengimpor sekitar 124.000 ton limbah plastik (diakui sebagai sisa, reja, dan skrap plastik) pada tahun 2013. Jumlah ini meningkat lebih dari dua kali lipat, sekitar 283.000 ton, pada tahun 2018. Volume transaksi ini merupakan titik tertinggi impor Indonesia selama 10 tahun terakhir berdasarkan data BPS dan UN Comtrade.
Data BPS menunjukkan peningkatan impor sebesar 141% namun angka ekspor menurun 48%(sekitar 98.500 ton). Angka ini menandakan ada sekitar 184.700 ton sampah plastik yang masih ada di Indonesia, yang tidak diketahui nasibnya – apakah didaur-ulang semua menjadi pellet atau jadi produk baru – di luar beban timbulan sampah plastik domestik sekitar 9 juta ton.
“Tahun depan Cina memperpanjang daftar produk paska konsumen, Thailand juga menargetkan menutup pintu impor limbah plastik dan elektronik. Sementara itu, Malaysia memperketat kontrol impor dan Presiden Filipina secara politis dengan lantang menyatakan perang pada sampah impor. Yang menyedihkan adalah Indonesia tidak punya sikap tegas dan terkesan membela industri tanpa regulasi dan penegakan hukum yang jelas,” kata Yuyun Ismawati, Penasihat Senior dari BaliFokus/Nexus3. “Beberapa bahan aditif yang digunakan dalam semua jenis plastik dikenali sebagai bahan kimia yang karsinogenik dan dilarang di negara-negara maju. Mendaur ulang plastik yang mengandung B3 menjadi produk lain berarti meracuni circular economy.”
“Perusahaan-perusahaan pengimpor harus bertanggung jawab menangani pencemaran bawaan dari kegiatan tadah, pindah-tangan dan sumbang sampah ini. Yang dirugikan dari tidak terkontrolnya impor sampah yang lebih banyak menguntungkan korporasi ini adalah pencemaran lingkungan dan kualitas kesehatan masyarakat,” ujar Nur Hidayati dari WALHI. “Banyak program nasional dan regional terkait sampah plastik dan lautan yang telah/sedang dibuat, dikoordinasikan dan diikuti oleh Indonesia tetapi tidak jelas implementasinya dalam program pembangunan nasional. Presiden harus memastikan semua stafnya bekerja dengan benar.”.
Di beberapa daerah ditemukan para pengusaha asal Cina menjadi investor atau bermitra denganorang lokal mendirikan usaha-usaha daur-ulang plastik skala rumah tangga yang perizinannyadiragukan.
Di berbagai tempat di Jabodetabek dan Jawa Timur, para aktivis AZWI juga menemukan lahan-lahan tercemar sisa-sisa plastik berbagai berukuran baik yang dibakar maupun tidak, mencemaritanah, lahan pertanian, dan badan air. Pembersihan racun dari pencemaran plastik tidak mudah,tidak murah dan butuh keseriusan pemerintah. Plastik mikro dan serat plastik juga banyak ditemukan dalam ikan di Indonesia, dalam air minumkemasan dan dalam garam. Kewajiban negara adalah menjamin hak warga untuk hidup di lingkungan.
Unduh siaran pers lengkap .