Jakarta, 18 Juli 2019 – Presiden Republik Indonesia terpilih, Presiden Joko Widodo, menyampaikan pidato di Bogor pada 14 Juli 2019 lalu. Lingkup kerja yang menjadi fokus dalam pidato tersebut antara lain: pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, peningkatan investasi untuk membuka lapangan pekerjaan, reformasi birokrasi, serta penggunaan APBN yang fokus, efektif dan efisien.
Namun, bagi beberapa LSM melihat hal ini sangat kontradiktif dengan hasil Rapat Kabinet Terbatas yang dilaksanakan pada Selasa, 16 Juli 2019 yang lalu. Rapat tersebut membahas solusi pengelolaan sampah dan polusi plastik yaitu melalui percepatan pembangunan PLTSa di 4 (empat) wilayah di Indonesia yakni Surabaya, Solo, Bekasi, dan DKI Jakarta yang dikawal langsung oleh Pemerintah Pusat.
Menanggapi solusi permasalahan sampah pada Rapat Kabinet Terbatas tersebut, empat lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada isu lingkungan, yaitu WALHI, ICEL, Nexus3, dan Ecoton, tidak lelah untuk mengingatkan bahwa investasi untuk isu lingkungan harus direncanakan dan diimplementasikan dengan tepat guna dan sasaran, agar tidak merugikan keuangan negara.
Keempat LSM lingkungan ini menilai bahwa investasi negara yang dikucurkan untuk PLTSa bukan merupakan investasi yang efektif, efisien, dan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.
“Percepatan pembangunan PLTSa incinerator sekali lagi menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi memprioritaskan investor, project sentralistik dan modal besar. Pembangunan PLTSa tidak akan memecahkan persoalan persampahan di kota-kota tersebut malah akan menimbulkan masalah baru,” jelas Yaya Direktur WALHI Eksekutif Nasional. “Subsidi besar-besaran dikerahkan untuk pembakaran sementara inisiatif pengelolaan masyarakat dan terdesentralisasi tidak mendapatkan perhatian padahal paradigma pengelolaan sampah dalam undang-undang persampahan mengarahkan desentralisasi pengelolaan sampah dari sumbernya,” tambah Yaya.
Isu pengelolaan sampah memang sudah menjadi salah satu fokus utama Indonesia, mengingat telah diterbitkannya beberapa perundangan yang difokuskan untuk perbaikan isu persampahan di Indonesia, bahkan dalam beberapa tahun terakhir.,,
“Pemerintah harus patuh terhadap putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menyatakan pemrosesan akhir sampah dengan teknologi termal tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Pengelolaan Sampah. Permasalahan sampah memang mendesak untuk diselesaikan namun tentu tanpa melawan peraturan yang berlaku.” ujar Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan dari Indonesian Center for Environmental Law.
“Pembangunan PLTSa sebagai solusi pengelolaan sampah sangat tidak cocok untuk Indonesia. Bukan hanya tidak layak secara teknis dan finansial, tetapi juga berisiko tinggi terhadap kesehatan masyarakat. Membakar sampah, terutama sampah plastik, menciptakan petaka baru yang lebih berbahaya karena tidak kasatmata,” ujar Yuyun Ismawati, Penasihat Senior Yayasan Fokus Nexus3. “Abu terbang dan bottom ash dari PLTSa termal adalah limbah B3 yang harus diolah di TPA khusus untuk Limbah B3. Proyek serba cepat dan boros ini akan jadi sumber petaka baru kalau abu PLTSa diperlakukan sebagai sampah biasa.”
“Mengingat akan ada timbul sumber cemaran racun baru di 12 kota PLTSa, studi kelayakan dan izin lingkungan tidak akan cukup untuk menjaga kualitas hidup, kesehatan, serta meningkatkan lingkungan hidup masyarakat Indonesia,” tambah Daru Setyorini, Direktur Yayasan Ecoton. “Peningkatan penanganan sampah di kota-kota PLTSa harus ditingkatkan tetapi bukan dengan teknologi termal. Pendekatan Zero Waste terbukti dapat diterapkan di beberapa kota besar dan seharusnya mendapat dukungan pemerintah pusat.”
Para aktivis lingkungan ini melihat ketidakcocokan PLTSa termal sebagai solusi pengelolaan sampah di Indonesia dari berbagai hal. Secara teknis, sampah Indonesia memiliki kandungan air yang relatif tinggi serta nilai kalor yang rendah. Akan dibutuhkan bahan bakar pembantu untuk membakar sampah-sampah basah di 12 kota. Konsekuensinya, abu (fly ash dan bottom ash) serta emisi partikel berukuran nano serta dioksin dan furan, akan dilepas ke udara, tanah dan air.
Secara finansial, PLTSa membutuhkan biaya-biaya investasi dan operasional yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPA, namun dengan risiko teknis dan risiko lingkungan yang lebih tinggi. Hal ini juga ditegaskan oleh ahli toksikologi dan kimia lingkungan, Prof. (emeritus) Paul Connett dari Amerika Serikat.
“Karakteristik sampah di Indonesia adalah sampah basah karena sampah organik dan anorganik tercampur. Akan membutuhkan energi yang cukup besar untuk memprosesnya. Kita tidak akan memperoleh nilai ekonomi yang efisien dan energi listrik yang maksimal. Faktanya, energi listrik yang dihasilkan dari PLTSa sebetulnya tidak terlalu besar, ” tegas Paul Connett saat kampanye Zero Waste di Indonesia minggu lalu.
Beliau juga menambahkan, teknologi dengan temperatur rendah yakni anaerobic digestion yang dibantu mikroba untuk pengelolaan sampah organik lebih tepat digunakan di Indonesia.
Tiga tahun lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 18/2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di 7 kota Indonesia, yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) atas permohonan sekelompok LSM dan individu.
Ironisnya, dalam waktu kurun waktu 2 tahun, Pemerintah kembali mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Sekilas, tidak ada perbedaan signifikan dari judul kedua Perpres kecuali penggunaan kata “ramah lingkungan”. Oleh karena itu, Aliansi Zero Waste Indonesia kembali mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak gegabah mendorong pembangunan PLTSa termal.
Unduh siaran pers .