Tanpa kita sadari, semakin berkembang teknologi industri, maka semakin banyak limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) yang dihasilkan. Kita sangat mudah menemukan sejumlah aktivitas yang menghasilkan limbah B3 karena produk-produk yang kita gunakan tidak memenuhi standar aman terhadap tanaman dan lingkungan.
Biasanya, limbah tersebut berasal dari sisa bahan kimia yang tidak terpakai atau sudah kedaluwarsa. Sifat limbah bahkan ada yang mudah meledak dan terbakar, reaktif, beracun, menyebabkan infeksi serta menyebabkan karat (korosif) dan lainnya.
Founder Ecoton, Prigi Arisandi mengatakan, kini terdapat delapan markas militer di Jawa Timur yang menjadi saksi bisu penimbunan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dari berbagai industri sejak tahun 2013.
Delapan markas militer tersebut diantaranya Bhumi Marinir Karang Pilang (Surabaya), Pusat Pendidikan dan Latihan Pertahanan Udara Nasional (Surabaya), Markas Komando Armada Kawasan Timur (Koarmatim II) (Surabaya), AURI (Pasuruan), Gudang Pusat Senjata dan Optik II (Sidoarjo), Batalyon Kavaleri 8 (Pasuruan), Pasukan Marinir 2 (Sidoarjo), dan Satuan Radar 222 Ploso (Jombang).
“Kita sempet gak percaya juga saat menerima laporan (penimbunan limbah B3 di kawasan militer). Ini kan nggak bagus juga, itu aset negara, tapi malah dijadikan ladang bisnis oleh oknum-oknum tentara. Ya bisa dikatakan bahwa Jawa Timur ini kondisinya sudah darurat karena timbunan limbahnya sudah dimana-mana,” ujar Prigi dalam Webinar ‘Apa Kabar Limbah B3 di Jawa Timur’, Senin (30/11/2020).
Selain markas militer, Prigi menjelaskan bahwa penimbunan juga terjadi di kawasan yang berdekatan dengan rumah penduduk. Para pelaku industri menyalahgunakan limbah B3 untuk menjadi tanggul sungai atau menimbun jalan.
Diantara lokasi penimbunan tersebut berada di Kecamatan Wringinanom (Gresik), Desa Manduro (Mojokerto), Desa Lakardowo (Mojokerto), Kecamatan Sumobito dan Kecamatan Kesamben (Jombang), Desa Paciran (Lamongan), Desa Babadan (Nganjuk), Desa Maesan (Kediri), Kelurahan Blabak (Kediri), dan pinggir Jalan raya Cuwiri-Pagerwojo Desa Pucangan (Tulungagung).
“Data DLHK Jawa Timur tahun 2016, beban limbah B3 industri di Provinsi Jawa Timur tercatat 19,4 juta ton per tahun atau 1,6 juta ton per bulan. Ini tidak imbang, karena di Jawa Timur sendiri belum punya instalasi pengolahan limbah B3,” jelasnya.
Prigi menilai penimbunan limbah B3 tanpa mengolahnya terlebih dahulu adalah praktik terlarang yang mengancam kesehatan manusia dan lingkungan. Sebab, dampak yang ditimbulkan sudah sangat meresahkan warga.
Dari data yang diterima Ecoton, warga di sekitar penimbunan limbah terjangkit ISPA. Hal ini dikarenakan bau tak sedap yang ditimbulkan dari ribuan ton limbah alumunium yang ditumpuk, sehingga membuat warga sulit bernafas.
Tak hanya itu, proses hidrologi yang terjadi akibat penimbunan membuat pencemaran air tanah terjadi. Sehingga membuat banyak anak-anak hingga dewasa terserang penyakit gatal-gatal.
Perihal pengelolaan limbah B3, kata Prigi, sebetulnya telah diatur dalam PP 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya, ditetapkan sebagai aturan pelaksanaan UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 59 ayat (7). Dimana, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
“Seharusnya limbah B3 yang tidak bisa diolah, ditimbun dengan mekanisme yang benar, yakni memfasilitasi limbah dengan sistem sanitary landfill, dimana ruang timbun harus terlebih dahulu dipasang geomembran untuk mencegah kebocoran limbah,” kata Prigi.
“Lalu, juga dilengkapi bangunan dinding cor pembatas, kemudian diproses remediasi dan dilakukan penyelesaian menggunakan coverbelt dengan tanaman. Setelah itu, di sekitarnya juga ada sumur pantau air bawah tanah untuk memantau limbah B3 meresap ke tanah atau tidak,” tambahnya.
Prigi mengaku, bahwa proses pengolahan limbah seperti sanitary landfill memang merupakan pengolahan limbah yang sangat mahal. Namun, menurutnya, hal tersebut sudah menjadi konsekuensi untuk tiap-tiap industri. Sudah selayaknya industri bertanggung jawab terhadap limbah yang mereka hasilkan.
“Ini memang menjadi PR bagi kita bersama, mendorong pemerintah di provinsi atau daerah menegakkan peraturan bagi para pelaku industri, memberikan efek jera dan juga mewajibkan mereka untuk mendirikan instalasi pengolahan limbah B3, jadi jangan berpihak kepada perusak lingkungan,” pungkasnya. (Kia)