Siaran Pers: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Jakarta, 14 Maret 2021 – Sebagaimana diperkirakan sebelumnya, Omnibus Law UU Cipta Kerja terbukti menjadi wujud keberpihakan Pemerintahan era Presiden Joko Widodo kepada korporasi dengan mengorbankan kepentingan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Hal tersebut terlihat dari salah aturan turunan UU Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Peraturan Pemerintah (PP) tersebut mengubah sembilan PP lain terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pada PP 22/2021 sama sekali tak muncul aspek perlindungan lingkungan hidup baik secara tekstual maupun substansial, kecuali pada tempelan judul peraturan.
Salah satu peraturan pemerintah yang terdampak PP 22/2021 ini adalah PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (limbah B3). Dalam Lampiran XIV PP 22/2021, terdapat 9 jenis limbah yang sebelumnya berkategori limbah B3 diubah menjadi kategori limbah non B3, diantaranya, fly ash (N106) dan bottom ash (N107) PLTU batubara, SBE (Spent Bleaching Earth) industri minyak nabati/hewani (N108), slag peleburan besi/baja (N101), dan slag peleburan nikel (N102).
“Di tengah belum terkendalinya penanganan pandemi COVID-19, pemerintah justru melonggarkan aturan yang meningkatkan potensi pencemaran udara dari limbah B3. Padahal berdasar penelitian Universitas Harvard, Amerika Serikat, penderita COVID-19 yang tinggal di daerah dengan pencemaran udara tinggi seperti di dekat PLTU memiliki resiko kematian lebih tinggi dibandingkan penderita yang tinggal di daerah yang kurang terpolusi. Kelompok masyarakat yang berdiam di sekitar wilayah tercemar polusi udara kebanyakan masyarakat rentan secara sosial-ekonomi. Pelonggaran aturan bagi limbah kategori B3 menjadi non B3 adalah tindakan yang sangat tidak etis,” terang Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI Nasional.
Pemerintah berlindung dibalik dalih limbah B3 hanya dapat dimanfaatkan jika dikategorikan sebagai limbah non B3. Padahal faktualnya limbah B3 masih dapat dimanfaatkan dengan berbagai pengujian karakteristik yang spesifik berdasarkan sumber masing-masing limbah B3 tersebut, sebagaimana diatur pada PP 101/2014.
“Pengubahan limbah kategori B3 menjadi limbah non B3 tanpa melalui uji karakteristik setiap sumber limbah spesifik, menunjukkan pemerintah bertindak secara sembrono dan membebankan risiko kesehatan pada masyarakat. Padahal selama ini pemerintah belum berhasil melakukan pengawasan secara seksama, menegakkan hukum secara efektif, dan mengendalikan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak pada kesehatan masyarakat.” jelas Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan WALHI Nasional
Pemerintah seharusnya berkaca pada beberapa kasus kegagalan penanganan limbah B3 seperti kasus pembuangan serampangan limbah FABA dan SBE dari PLTU Panau, Sulawesi Tengah. Penimbunan limbah B3 tersebut mengakibatkan masyarakat terkena dampak pencemaran dari abu batubara yang ditimbun sembarangan. Masyarakat sekitar mengalami gangguan pernafasan hingga terdapat korban meninggal dunia. Kasus lainnya adalah pembuangan limbah pengolahan minyak sawit di Kalimantan Barat yang mengakibatkan kematian ikan secara massal dan gangguan kesehatan warga seperti gatal.
Adanya PP 22/2021 akan memicu peningkatan angka pembuangan limbah B3 yang dilakukan secara diam-diam, dibuang dan atau ditimbun sembarangan. Alih-alih melakukan pengetatan dan pencegahan berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), pemerintah justru melakukan upaya pemutihan kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan pebisnis nakal. Hal bertentangan dengan penjelasan asas kehati-hatian dalam penjelasan pasal 2 (huruf F) UU Nomor 32 Tahun 2009, “ketidakpastian dampak usaha/kegiatan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan alasan menunda langkah-langkah meminimalisasi/menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”.
PP 22/2021 akan membuat masyarakat yang selama ini menggunakan instrumen aturan pengelolaan limbah B3 untuk menahan atau melawan pencemaran lingkungan menjadi lebih sulit, karena sebagian limbah B3 tersebut berganti kategori menjadi limbah non B3. Ke depan, hal ini akan berdampak pada proses penegakan hukum, baik yang telah berjalan maupun kedepan. Lebih mendasar lagi, hal ini berdampak pada sulitnya penerapan prinsip Pertanggungjawaban mutlak dalam kasus pencemaran sebagaimana tertuang dalam pasal 88 UU 32 Tahun 2009 tentang pertanggungjawaban mutlak mengatur pada pengelolaan limbah B3.
Melalui Omnibus Law UU Cipta Kerja beserta aturan turunan seperti PP 22/2021, kepentingan profit pebisnis nakal pelaku kejahatan lingkungan nampak dikedepankan. Lobi kelompok pebisnis mengeluarkan beberapa jenis limbah B3 tertentu diakomodir sedangkan kesehatan dan keselamatan lingkungan hidup diabaikan. (Selesai)