Sampah plastik masih terus menjadi problematika yang belum terselesaikan hingga saat ini. Jumlah sampah plastik diprediksi akan terus meningkat, terutama sampah plastik jenis multilayer (kemasan sachet). Kemasan sachet plastik multilapis (multilayer) yang digunakan dalam berbagai produk dari deterjen hingga kopi instan telah menimbulkan bahaya serius dan lebih besar membahayakan bagi lingkungan karena tingkat daur ulang dan nilai limbah pasca konsumsi yang rendah dibandingkan dengan kemasan lain seperti botol PET (Polietilena Tereftalat).
Berdasarkan laporan terbaru Greenpeace berjudul “Throwing Away The Future : How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution Solutions”, sebanyak 855 miliar sachet terjual di pasar global tahun 2020. Asia Tenggara memegang pangsa pasar sekitar 50 persen. Diprediksi jumlah kemasan sachet yang terjual akan mencapai 1,3 Triliun pada tahun 2027.
Peneliti ECOTON Eka Chlara Budiarti menjelaskan bahaya dari sampah plastik sachet sudah banyak tersebar di lingkungan bahkan sudah masuk ke dalam badan air sungai yang mana merupakan sumber bahan baku air PDAM untuk berjuta-juta pelanggan. Chlara menyebutkan, secara garis besar terdapat dua bahaya sampah plastik sachet, yakni secara fisik dan kimia.
Secara fisik, sampah sachet bisa menjadi mikroplastik. Mikroplastik adalah remahan atau potongan plastik berukuran <5mm. Alhasil, mikroplastik ini tidak dapat di screening dengan PDAM, dan ikut terbawa ke saluran pipa distribusi mereka dan otomatis juga berimbas ke lingkungan yang sudah terkontaminasi.
Penelitian ECOTON pada tahun 2018 hingga 2020 mengidentifikasi mikroplastik di dalam feses 102 partisipan yang tersebar di beberapa wilayah di indonesia dan menemukan mikroplastik di dalamnya. ECOTON juga telah mengidentifikasi polimernya dan menemukan bahwa yang terbanyak adalah polimer EVOH yang salah satunya digunakan pada lapisan terdalam sachet.
“Hal ini juga membuktikan bahwa plastik sekarang sudah masuk ke dalam tubuh manusia. Darimana asalnya? dari jalur makanan, udara yang kita hirup dan paparan plastik,” ujar Chlara saat dihubungi AZWI beberapa waktu lalu
Chlara lalu melanjutkan, secara kimia plastik sachet memiliki kandungan senyawa kimia yang berbahaya. Terdapat zat pemlastis (plasticizer) yang sudah terkonfirmasi oleh peneliti sebagai senyawa pengganggu hormon contohnya BPA, phthalates, dan lain sebagainya. Tak hanya itu saja, ada beberapa kandungan lain yang ditambahkan pada plastik seperti dioksin, senyawa perflourinasi, retardants dan lain-lain.
Sachet adalah jenis sampah plastik yang sejatinya kurang disukai oleh pengusaha daur ulang sehingga biasanya ditolak karena susah untuk didaur ulang. Sampah kemasan sachet memiliki kemasan multilayer dan tiap kemasannya terdapat sekitar 3-4 lapisan yang terdiri dari lapisan paling dalam berwarna bening, aluminium foil, lapisan gambar dan lapisan laminasi. Sehingga mengakibatkan pengusaha malas untuk mengupas lapisan kemasan sachet satu per satu,” tambahnya.
Bukan hanya Chlara, Peneliti ICEL Bella Nathania juga mengungkapkan bahaya dari sampah plastik sachet. Menurutnya jika sachet terurai menjadi mikroplastik, mikroplastik ini sangat rentan dikonsumsi oleh makhluk hidup di laut seperti plankton. Jika sudah dikonsumsi oleh plankton, maka mikroplastik berpotensi masuk ke dalam rantai makanan.
“Dan mungkin saja bisa sampai ke manusia. Jika sachet juga terbawa air sungai, kemudian nyangkut di akar mangrove seperti yang ditemukan teman-teman dari ECOTON Hal ini berbahaya, karena bisa menyebabkan tumbuhan yang ada di mangrove sulit untuk bernafas,” jelas Bella saat dihubungi AZWI Rabu, (24/11/2021).
Sementara itu, Bella menjelaskan, sampah kemasan sachet juga berpotensi dibakar. Sebab, sudah benar-benar tidak bisa dikendalikan dan hasilnya akan menyebabkan pencemaran mulai dari PM 2.5 hingga dioxin.
“Produsen perlu untuk mencantumkan rencana redesain kemasan saset dalam Peta Jalan Pengurangan Sampah-nya. Mengganti saset dengan kemasan yang ramah lingkungan atau mengganti cara distribusi serta penjualan produk yang selama ini berada dalam kemasan saset, seperti bulk store. Terlebih saset dengan ukuran 50 gr atau 50 ml akan dilarang pada tahun 2030,” ujarnya.
Tak hanya itu, Bella juga menegaskan agar Perusahaan mengambil kembali sampah mereka sebagai bukti dari tanggung jawab produsen kepada sampah yang dihasilkannya. Sebab, tanpa adanya pengambilan kembali, maka anggaran untuk membersihkan sampah saset akan terus membebani pemerintah dan masyarakat. Sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No.75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
“Jangan hanya terima untungnya saja dari penjualan produk, tapi tidak mau bertanggung jawab dengan sampah yang dihasilkan dari produk tersebut. dan nantinya menjadi beban bagi pemerintah dan masyarakat, untuk membiayai pengelolaan sampah,” tegas Bella.
Baik Bella maupun Chlara juga berharap agar permasalahan sampah sachet segera diselesaikan. Meski saat ini sudah banyak kampanye tentang pengurangan penggunaan sachet, hal ini dirasa belum cukup jika produsen tidak menerapkan EPR (extended producer responsibility.
Bukan hanya peran dari produsen saja yang diharapkan Bella dan Chlara, melainkan juga peran pemerintah dalam pelayanan pengangkutan sampah. Mereka menilai pelayanan pelayanan sampah harus terdesentralisasi, agar sampah plastik terutama jenis sachet tidak mengotori lingkungan darat hingga perairan.
“Terakhir, hindarkan merencanakan penanganan sampah yang berbasiskan solusi palsu, seperti pembakaran sampah dan daur ulang kimia, karena akan menggantikan pencemaran sampah saset dengan pencemaran udara dan limbah B3,” pungkasnya. (Cindy)