Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-26 yang digelar pada 31 Oktober sampai dengan 12 November 2021 di Glasgow lalu masih menjadi isu hangat dalam pemberitaan media baik nasional maupun internasional.
KTT Perubahan Iklim ini dihadiri oleh pihak (parties) dari 197 negara dan non pihak (Non Parties Stakeholder) yang terdiri dari organisasi lingkungan hidup (ENGO), organisasi masyarakat adat (IPO), organisasi kaum muda (YOUNGO), organisasi perempuan, organisasi riset (RINGO), kelompok bisnis (BINGO), organisasi perdagangan dan pemerintah daerah.
“Perhelatan COP26 ini diikuti oleh sekitar 39 ribu peserta dari seluruh dunia. Jumlah partisipan yang masuk kategori terbesar dalam sejarah, tetapi dikategorikan sebagai COP paling eksklusif karena minimnya partisipasi dari negara-negara selatan dan kelompok terdampak seperti masyarakat adat dan lokal,” jelas Abdul Ghofar, delegasi WALHI Nasional di COP26 dalam AZWI Talk #17 Selasa, (9/11/ 2021) lalu.
Pria yang akrab dipanggil Ghofar tersebut menyebut WALHI Nasional menjadi Delegasi Peninjau (Observer Delegates) di COP26 yang tergabung dalam grup Friends of the Earth International (FOEI). Meski demikian, Delegasi Peninjau bukan bagian dari para pihak (delegasi negara) yang bisa mengambil keputusan forum. Peninjau hanya dapat memberikan kritik dan masukan serta tekanan kepada negosiator pihak baik secara formal maupun informal.
“Misal ada delegasi negara menjadi negosiator untuk isu tertentu seperti dukungan fasilitasi pendanaan kepada negara terdampak krisis iklim, maka delegasi peninjau dapat memberi rekomendasi kepada negosiator sebagai bahan pertimbangan dalam diskusi pengambilan keputusan di tingkat pleno,” tuturnya.
Lebih lanjut, Ghofar menjelaskan perhelatan KTT Iklim memang membahas berbagai isu umum seperti pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi. Namun ada pembahasan utama tentang rencana aksi mengatasi dampak dari perubahan iklim. Oleh sebab itu, dia menuturkan setidaknya ada lima agenda terkait krisis iklim yang didorong oleh WALHI, diantaranya: Penolakan perdagangan karbon dengan mekanisme pasar; Kompensasi Loss and Damage akibat krisis iklim; Percepatan penghentian PLTU Batubara; Penyelamatan pesisir dan pulau kecil; dan Pendekatan negosiasi berbasis hak.
COP26 Menuai Berbagai Kritik
Dengan terbentuknya koalisi dari para delegasi peninjau yang dinamakan COP26 Coalition, tepat pada 6 November kelompok non pemerintah tersebut melakukan aksi besar bernama Global De Action for Climate Justice yang terdiri dari 300 lokasi dan tersebar di lebih 100 negara, termasuk di Indonesia. Melalui Global De Action for Climate Justice, para koalisi observer mendorong adanya keadilan iklim untuk semua pihak.
Hal menarik dan sekaligus membingungkan, kata Ghofar, adalah terdapat sponsor utama yang berasal dari kalangan perusahaan besar. Berdasarkan data yang dilihat ternyata perusahaan tersebut menjadi penyumbang terbesar sampah plastik di dunia. Jelas hal ini menjadi kekecewaan yang besar bagi para pejuang keadilan iklim.
“Korporasi-korporasi yang menjadi perusak lingkungan itu, seharusnya tidak diundang dalam konferensi lingkungan yang akan mendatang apalagi menjadi sponsor utama,” tegas Ghofar.
Ghofar menjelaskan kehadiran korporasi ini dipicu dari sedikitnya partisipasi dari negara-negara di Afrika dan juga Amerika Latin karena administrasi yang rumit akibat pandemi. Sehingga, kuota tersebut diisi oleh korporasi besar yang menyumbang 100 partisipan, seperti perusahaan minyak terbesar di dunia.
Kekecewaan para aktivis lingkungan seperti Ghofar ternyata bukan hanya perihal korporasi yang menjadi sponsor utama COP26. Ternyata masih banyak negara yang belum sepenuhnya memenuhi dan mematuhi, sebab belum terciptanya perjanjian yang disepakati. Seharusnya, jelas Ghofar, negara-negara tidak hanya sekedar berkomitmen namun juga harus memberikan aksi nyata.
Asa Dibalik Harapan Hampa
“Ada hasil yang bagus dari COP26, yakni Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengajak 80 negara untuk mengurangi emisi dari sektor metana, metana sendiri dihasilkan dari bahan bakar fosil 32%, sektor sampah 20%, pertanian 10%. Sebelum 2030 terdapat 80 negara yang sepakat ingin mengurangi emisi dari metana,” katanya.
Meskipun setiap negara memiliki caranya masing-masing, tetapi Ghofar menilai itu semua harus tetap satu tujuan dalam mengurangi emisi. Ghofar berharap hasil dari COP26 ini adalah adanya kebijakan yang bisa membuat negara harus bisa menurunkan suhu bumi di bawah 2 derajat.“Kemudian percepatan foreign investment untuk mendukung isu lingkungan, dan dana bersama yang dipakai untuk lost and damage bagi negara-negara yang terdampak akibat krisis iklim, serta menekan korporasi untuk sama-sama berkomitmen dalam mengurangi emisi yang dihasilkan. Semua pihak harus aktif dan kritis dalam mempersoalkan isu lingkungan ini untuk menekan suhu emisi gas rumah kaca,” tutup Ghofar. (Cindy/Vancher)