Sampah saat ini menjadi salah satu sumber bencana ekologis. Jika tidak dikelola dengan baik, maka akumulasinya mampu merusak dan menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Pengelolaan sampah bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan konsumen, tetapi produsen sebagai penghasil sampah yang mendapatkan keuntungan adalah salah satu yang seharusnya mengambil andil besar atas pengelolaan sampahnya sebagai tanggung jawab atas permasalahan yang diperbuat.
Melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.75/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen atau Extended Producer Responsibility (EPR), produsen diharuskan untuk mengirimkan dokumen perencanaan pengurangan sampah dengan tujuan mencapai target pengurangan sampah oleh Produsen sebesar 30% (tiga puluh persen) dibandingkan dengan jumlah timbulan Sampah di tahun 2029.
EPR ini bukan hal yang baru, sebab peraturan ini telah diawali dengan adanya UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Produsen punya tanggung jawab atas kemasan atau barang yang diproduksinya. Sekitar 2012, peraturan turunannya pun muncul yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Sampah Rumah Tangga. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa produsen wajib untuk bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan.
“Kemudian dari 2012 ke permen 75 tahun 2019 kemarin. Permen 75 lebih jelas menyebutkan apa saja kewajiban produsen untuk tanggung jawabnya, karena saat ini tanggung jawab selalu ditujukan kepada pemerintah dan konsumen,” ujar Novita Indri perwakilan Greenpeace Indonesia di AZWI Talk #20, Rabu (22/12/2021).
Novita mengatakan, dalam permen 75 tahun 2019 tersebut terdapat tiga produsen yang harus mengirimkan peta jalan ke KLHK. Diantaranya manufaktur, jasa makanan dan minuman, dan retail. Ketiganya dapat melakukan pengurangan sampah melalui pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah.
“Serta pengurangan sampah dilakukan terhadap produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang sulit diurai oleh proses alam, tidak dapat didaur ulang, dan/atau tidak dapat diguna ulang. Produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang dimaksud adalah plastik, kaleng, aluminium, kaca, dan kertas,” katanya.
Meski demikian, fakta yang ditemukan saat ini hanya ada 32 produsen yang sudah mengirimkan dokumen peta jalannya. Masih banyak produsen yang enggan serta tidak mengirimkan dokumen peta jalannya. Padahal menurut Novita, sebagai konsumen publik berhak mengetahui apakah produsen yang memproduksi produk kebutuhannya bertanggung jawab dalam mengatasi sampah plastik atau tidak.
“Sayangnya kita sebagai publik kita tidak diberikan akses untuk mengetahui dokumen peta jalan yang sudah dikirimkan, tidak ada transparansi dari pemerintah atau produsen. Padahal sebenarnya kita berhak tahu karena produk mereka yang kita pakai terus menerus,” tambah Novita.
Lebih lanjut, Novita mengatakan bahwa saat ini banyak konsumen yang sudah melek untuk lebih bertanggung jawab kepada lingkungan. Seperti mengurangi konsumsi plastik hingga memilih hidup nol sampah (zero waste). Namun tampaknya, pergerakan dan perubahan yang hanya dilakukan oleh konsumen ini akan terlihat sia-sia jika tidak ada dorongan serta tanggung jawab dari produsen,
“Bagaimana kita bisa terlibat jika produsen tidak terbuka untuk peta jalan. Dengan dalih yang digunakan adalah dokumen tersebut termasuk rahasia yang tidak boleh dibaca oleh sembarang orang padahal di lampiran permen 75 terdapat guideline terkait dokumen yang harus dikirim dan itu adalah informasi umum, dan kita lihat publik harus tau karena tanggung jawab sebagai bersama harus seperti apa,” tegasnya.
Pada intinya, Novita menegaskan bahwa permintaan para LSM Lingkungan dan publik adalah agar produsen bertanggung jawab serta transparansi terhadap komitmen yang sudah mereka janjikan selama ini. Pasalnya, sebagai konsumen kita juga harus ikut andil dalam mengawasi karena kita mengkonsumsi produk-produk mereka.
“Saya sebagai konsumen kalau mau beli produk harus memilih mana yang memberi keuntungan buat saya tetapi tidak merugikan untuk lingkungan. Pada intinya produsen harus terbuka! nyatanya, kita tidak meminta informasi yang rahasia sekali dan tidak meminta sesuatu hal yang akan merugikan antara produsen satu dan yang lainnya,” tutupnya. (Vancher)