Ribuan sapi tampak mencari makan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Jatibarang, Semarang, Jumat (9/6/2023). Hal ini merupakan pemandangan yang biasa ditemui para pemulung, petugas maupun pemangku kepentingan yang berkunjung ke sana. Sekitar 1500 lebih sapi menggantungkan hidup mereka dengan memakan sampah organik yang dibuang di TPA Jatibarang.
Para pemilik sapi mengaku hal tersebut telah dilakukan selama kurang lebih 20 tahun, dimulai sejak Pemerintah setempat memberikan bantuan kepada masyarakat berupa beberapa ekor sapi untuk diternakkan pada awal tahun 2000 an.
“Bapak saya dulu adalah penerima bantuan pertama. Lalu dipelihara hingga beranak banyak, beberapa diberikan kepada masyarakat yang belum punya, hingga sekarang jumlahnya ribuan pada generasi ketiga,” ujar Asnawi, warga Kecamatan Mijen, Semarang saat diwawancarai oleh AZWI, Jumat (9/6/2023).
Asnawi yang akrab disapa Pak Kliwon mengaku saat ini sapi yang dimilikinya berjumlah 10 ekor. Namun, jumlah tersebut bisa dibilang sedikit jika dibandingkan dengan sapi milik warga lainnya, yang jumlahnya puluhan hingga ratusan ekor untuk satu orang pemilik sapi.
Para pemilik sapi membiarkan sapi mereka mencari makan sendiri ke TPA hingga petang dan pulang ke kandang. Kadang kala, kata Pak Kliwon, sapi-sapi tersebut tidak pulang ke kandang, melainkan menginap di tumpukan sampah hingga keesokannya. Jika hal itu berulang, maka biasanya sapi akan tetap tinggal di TPA hingga laku terjual.
“Kalau (sapi) pulang, sore dan malam saya suka kasih rumput. Tapi banyak sapi-sapi (punya) lain yang dibiarkan di TPA nggak pulang. Jadi makannya semua sampah,” jelas Pak Kliwon.
Pak Kliwon menyadari bahwa sampah organik bukan pakan yang baik untuk sapi-sapinya. Bahkan, acapkali sapi-sapi di TPA sakit dan mati mendadak karena ‘masuk angin’ alias kelebihan gas metana di dalam perut mereka. Tak sedikit pula sapi-sapi mereka terluka bahkan tewas terkena alat berat yang beroperasi di TPA. Meski demikian, di sisi-sisi lain Pak Kliwon mengaku kesulitan untuk membagi waktu jika harus mengurus pakan sapi-sapinya.
“Kalau disini kebanyakan sapi mati karena masuk angin. Sering juga karena gak sengaja makan plastik, jadi gak mau besar badannya, biasanya kalau gitu kita langsung potong atau jual,” paparnya.
Tentunya harga jual sapi yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Salah satu rekan Pak Kliwon mengaku pernah menjual harga sapinya yang sakit seharga 7-10 juta per ekor, berbeda jauh dengan harga sapi normal yakni 20-25 juta per ekor.
Di sisi lain, bukan hanya TPA Jatibarang, Semarang, saja yang dijadikan tempat makan sapi, melainkan juga di Kota Surakarta tepatnya di TPA Putri Cempo. Namun kini jumlahnya terus berkurang hingga tersisa 200-300 ekor.
Menanggapi adanya sapi di TPA, Kepala UPT TPA Jatibarang, Wahyu Heryawan menyebutkan sudah mengimbau dan mensosialisasikan kepada para pemilik sapi agar tidak lagi melepasliarkan sapi-sapi mereka di TPA. Hal ini merupakan dampak dari merebaknya penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menyerang hewan ternak, khususnya sapi. Selain itu, sapi-sapi yang dilepas bebas di TPA Jatibarang dinilai tidak sehat, karena mengonsumsi plastik dan sampah lainnya.
“Kami sudah sosialisasikan bahkan memberikan solusi untuk warga agar segera dipindahkan ke tempat yang sudah disediakan. Namun warga keberatan karena lokasinya cukup jauh, (karena) mereka biasanya hanya dilepas liar, kalau jauh kan mereka tentu harus kontrol dan cari pakan baru,” kata Wahyu saat dikunjungi AZWI di kantornya beberapa waktu lalu.
Rencana ini sejatinya sudah dipersiapkan dari tahun 2022, namun hingga kini belum ada tindak lanjut dari kebijakan tersebut. DLH setempat masih berkutat untuk mencari solusi terbaik menangani permasalahan tersebut, mengingat hari raya Idul Adha yang sudah di depan mata.
Sebagai informasi, baru-baru ini anggota Aliansi Zero Waste Indonesia yakni yayasan gita pertiwi dan nexus 3 foundation sedang melakukan riset untuk mengetahui seberapa bahayanya kah plastik yang terkandung di dalam perut sapi di TPA dan bagaimana dampaknya. Hasil riset akan dipublikasikan di website Aliansi Zero Waste Indonesia. (Kia)