Kebakaran yang terjadi di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sarimukti adalah sebuah peristiwa yang mengguncang Metro Bandung dan menghadirkan kembali ‘darurat sampah’ yang perlu segera ditangani secara serius. Kejadian ini bukan hanya insiden terisolasi, tetapi juga mencerminkan sejumlah masalah sistematis dalam pengelolaan sampah Metro Bandung yang telah berlangsung dalam waktu yang lama.
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi Bandung adalah lonjakan produksi sampah yang tidak terkendali. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan perubahan gaya hidup masyarakat telah menyebabkan peningkatan signifikan dalam volume sampah yang dihasilkan setiap tahunnya. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung 2023 mencatat bahwa produksi sampah di kota ini cenderung meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Beban Kerja TPA Sarimukti
Berdasarkan Data BPS Kota Bandung 2023, jumlah produksi sampah di Kota bandung mencapai 1.594,18 ton per hari pada 2022. Sampah makanan menjadi penyumbang terbesar. Produksi sampah makanan di Kota Bandung per harinya mencapai 709,73 ton per hari atau sebesar 44,52 persen dari total harian sampah yang diproduksi di Kota Bandung.
Urutan kedua adalah sampah plastik. Sampah jenis plastik ini mencapai 266,23 ton per hari. Atau, sebesar 16,70 persen. Kemudian, di urutan ketiga ada sampah kertas. Sampah jenis kertas ini mencapai 209,16 ton per hari. Atau, sebesar 13,98 persen dari total harian produksi sampah di Bandung.
Jumlah produksi sampah di Kota Bandung pada 2022 meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut data yang dirilis Open Data Jabar, jumlah produksi sampah pada 2021 di Kota Bandung mencapai 1.430,04 ton
Koordinator Forum Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS), Ria Ismaria mengatakan, sejatinya kondisi bandung darurat sampah telah berlangsung sejak Mei 2023 lalu. Hal ini dipicu karena TPA Sarimukti sudah melebihi kapasitasnya hingga 700%. Bahkan, jika kondisi seperti ini terus dipaksa berjalan, maka pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti akan terhenti diprediksi paling lambat Januari 2024.
“Kejadian terbakarnya TPA Sarimukti mempercepat proses (penutupan) tersebut. Alhasil, banyak terjadi penumpukan sampah yang tak terkendali lagi terutama di Kota Bandung, karena mayoritas sampah yang berada di sarimukti sekitar 70% disumbangkan dari kota,” papar Ria dalam agenda diskusi pengelolaan sampah bersama Aliansi Zero Waste Indonesia, Minggu (17/09/2023) lalu.
Baca Berita Lainnya: Kebakaran TPA Sarimukti: AZWI Desak Pemerintah Serius Tangani Sampah Perkotaan
Data Forum BJBS mengungkapkan, Sebanyak 68-73 persen sampah yang ke TPA Sarimukti berasal dari Kota Bandung, sehingga kota ini akan merasakan dampak terbesar jika layanan TPA Sarimukti dihentikan. Kota Bandung juga melebihi batas kuota sampah yang telah ditetapkan, jika dibandingkan dengan Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung.
“Proses pengendalian sampah yang masuk ke TPA mengikuti jumlah yang disepakati sudah sejak lama tidak berjalan, sampah masuk ke TPA Sarimukti terus meningkat tanpa ada pengendalian, tanpa pengurangan yang signifikan dan segera, pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti akan terhenti paling lambat Januari 2024,” jelas Ria.
Maraknya Penyelesaian Sampah dengan Teknologi Termal
Darurat sampah yang sedang dihadapi oleh Metro Bandung adalah masalah yang sangat mendesak dan memerlukan tanggapan yang bijaksana dan berkelanjutan. Sayangnya, dalam upaya mengatasi masalah ini, pemerintah daerah sering kali mencoba mengadopsi solusi semu seperti tungku bakar (waste incinerator), dan Refuse Derived Fuel (RDF) yang dalam pendekatannya tidak selalu mencerminkan praktik terbaik dalam menangani sampah perkotaan.
Berdasarkan laporan hasil observasi yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat (Walhi Jabar) pada 2021, menunjukkan mayoritas insinerator di Cekungan Bandung (Bandung Raya) tidak efektif dalam ‘memusnahkan’ sampah. Ada 23 titik insinerator di Cekungan Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi). Setelah diverifikasi, temuan ini mengerucut menjadi 14 insinerator. Dari 14 itu, sembilan sudah tidak aktif dan tidak dipakai, sementara lima lainnya masih beroperasi.
“Data ini harus diperbaharui kembali, sebab bisa jadi jumlahnya semakin banyak terlebih saat ini juga sedang marak pembuatan bahan bakar dari proses RDF, untuk co-firing di industri semen maupun batu bara,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Meiki W Paedong pada kesempatan yang sama.
Meiki menjelaskan, pengelolaan sampah melalui metode termal, seperti insinerator atau konversi menjadi bahan bakar, tidak menghilangkan sampah, tetapi hanya mengubahnya menjadi bentuk abu dan gas, tanpa secara efektif menyelesaikan permasalahan sampah. Belum lagi, kata Meiki, ada senyawa kimia hasil pembakaran tidak sempurna yang dapat timbul dan membahayakan lingkungan di sekitarnya.
“Pembakaran ini menghasilkan emisi yang akan berdampak pada lingkungan, manusia dan juga mahluk hidup. Emisi adalah biang kerok yang mempercepat laju krisis iklim. Selain itu, dengan membakar sampah akan menghasilkan timbal, logam berat, merkuri. Dan yang paling kami khawatirkan itu adalah dioxin dan furan itu,” tegasnya.
Mengenai Dioksin dan Furan
Dioksin dan Furan merupakan bahan kimia berbahaya yang dihasilkan secara tidak sengaja pada proses pembakaran tidak sempurna dari bahan yang mengandung zat berklorinasi seperti limbah plastik, proses manufaktur pestisida atau zat berklorinasi lainnya. Dalam aplikasinya, dioksin furan dapat terlepas pada saat proses pembakaran limbah rumah sakit, limbah perkotaan, limbah B3, emisi dari kendaraan bermotor, gambut, batubara dan kayu.
Paparan dioksin dan furan dapat menimbulkan dampak berbahaya terhadap lingkungan termasuk manusia dan mahkluk hidup lainnya dengan tingkat toksisitas tertinggi (TEQ level 1) dibandingkan bahan pencemar lainnya yang ada saat ini. Media udara merupakan media dimana bahan pencemar dapat terdispersi ke lingkungan dengan mudah dengan cakupan yang luas.
Melalui proses rantai makanan, manusia yang berada pada posisi tertinggi dalam piramida makanan, akan berpotensi menjadi tempat akumulasi akhir dan merusak sistem hormonal (endocrin disrupted compound) serta pemicu penyakit kanker. Permasalahan tersebut menyebabkan dioksin furan secara internasional telah diatur melalui Konvensi Stockholm dan Indonesia telah meratifikasi melalui UU No.19/2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention Tentang POPs.
Baca Berita Lainnya: Insinerator PLTSa di Jawa Barat, Bukan Solusi Tapi Polusi
Pemerintah Indonesia sendiri telah mengeluarkan beberapa regulasi terkait baku mutu lingkungan untuk parameter dioksin furan pada beberapa kegiatan sebagai yaitu Permen LHK No 15 tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi (BME) Pembangkit Listrik Tenaga Termal; Permen LHK No 19 tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi bagi kegiatan Industri Semen; Permen LHK No 70/2016 tentang Baku Mutu Emisi dari Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Sampah secara Termal; Permen LH No 56 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan Permen LHK Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun, yang telah mengatur tentang kebijakan terkait Dioksin Furan. Namun pada praktik, belum dijalankan secara maksimal.
Memaknai Zero Waste
Sementara itu, Direktur Eksekutif YPBB David Sutasurya menegaskan bahwa solusi yang paling aman yang bisa diterapkan saat ini yakni Zero Waste. Mengutip definisi zero waste dari Zero Waste International Alliance (ZWIA), yaitu konservasi semua sumber daya dengan cara produksi, konsumsi, penggunaan kembali, dan pemulihan semua produk, kemasan, dan bahan yang bertanggung jawab, tanpa membakarnya, dan tanpa pembuangan ke tanah, air atau udara yang mengancam lingkungan atau kesehatan manusia.
“Upaya pemusnahan sampah menggunakan teknologi insinerasi (pembakaran) dan waste to energy (listrik menjadi energi) tidak seharusnya dilakukan. Berdasarkan hirarki zero waste, opsi ini berada di tingkat paling bawah pada piramida terbalik, yang berarti tidak dianjurkan dan seharusnya dihindari,” katanya.
David juga menyinggung, sebenarnya tujuan pengelolaan sampah yang melatarbelakangi Undang-undang (UU) Sampah No. 18 tahun 2008 juga sesuai dengan konsep zero waste, yaitu penghematan sumber daya, menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), penghematan energi, dan meminimalkan pencemaran lingkungan.
“Kalau kita melakukan satu langkah pengelolaan sampah dengan yang disebut pengolahan, tapi hasilnya pencemaran tidak sesuai dengan semangat UU 18/2008. Berarti aliran sesat,” tegas David.
David menjelaskan, sistem zero waste sejatinya sudah banyak diterapkan di Kota Bandung dan sekitarnya. Seperti halnya yang dilakukan pemerintah daerah dengan program Kurangi Pisahkan dan Manfaatkan (Kang Pisman) yang turut didampingi oleh Tim YPBB dalam pelaksanaannya. Bahkan, berdasarkan data yang dihimpun AZWI pada tahun lalu, program zero waste cities berhasil mengurangi sampah yang masuk ke TPA sebesar 40-60%.
Praktik Zero Waste di Berbagai Kawasan
Program ini juga dinilai ampuh untuk mengatasi krisis sampah yang terjadi di beberapa kota, termasuk Kota Bandung. Dalam pelaksanaannya, AZWI sempat mengunjungi 2 kawasan ZWC dampingan YPBB, yakni Kelurahan Cihaurgeulis dan Sukaluyu dalam masa darurat sampah metro Bandung baru-baru ini.
“Alhamdulillah kami tidak merasakan dampak yang cukup signifikan sejak TPA Sarimukti ditutup, karena warga sudah terbiasa memilah sampah. Organiknya sudah dikompos di taman, dan sampah botol kertas masuk dalam program sedekah sampah untuk petugas, tambahan pemasukan untuk mereka,” ujar Ketua RW 09 Sukaluyu, Iwan Poernawan.
Iwan menjelaskan bahwa sampah yang kini diangkut hanya residu yang jumlahnya tidak banyak sehingga warga masih mampu menahan sampah tersebut hingga pengangkutan TPA Sarimukti normal kembali.
Baca Berita Lainnya: Publikasi Laporan Studi Zero Waste by AZWI 2022
Di sisi lain, beberapa kawasan komersil juga sudah mandiri dalam mengelola sampah mereka. Diantaranya, yakni Universitas Katolik Parahyangan dan Hotel Grand Tjokro Premiere Bandung.
Dalam pelaksanaannya, Hotel Grand Tjokro Premiere Bandung telah menjadi bagian aktif dalam mendukung program pengelolaan zero waste sejak tahun 2020. Selama satu tahun terakhir, dari Januari hingga Agustus 2023, hotel ini berhasil mengumpulkan lebih dari 112 ton sampah yang kemudian dikelola secara mandiri.
“Sekitar 90% atau setara dengan 98 ton dari total sampah tersebut adalah sampah organik yang sebagian besar berasal dari outlet restoran hotel, termasuk sisa makanan tamu, kami olah melalui metode budidaya Maggot yang bekerja sama dengan Komunitas Maggot Priangan Timur,” jelasnya.
Tidak berhenti di situ, ada juga sekitar 3 ton sampah organik lainnya seperti daun-daunan, sisa-sisa rumput, dan kotoran hewan yang akan diubah menjadi pupuk kompos. Inilah yang memberikan dampak positif pada lingkungan Hotel Grand Tjokro Bandung, dengan sistem pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.
Menurut Resident Manager Hotel Grand Tjokro Bandung Sahmad, Hotel Grand Tjokro juga menerapkan pemilahan sampah dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Sampah yang dapat didaur ulang, seperti kardus, botol plastik, kantong plastik, ember, logam, dan kaleng, diproses kembali atau dijual. Tak hanya itu, mereka juga sudah menerapkan pembatasan plastik sekali pakai.
“Upaya go green ini adalah komitmen dari Hotel Grand Tjokro Bandung dalam mendukung program zero waste dan sebagai langkah untuk melestarikan keberlanjutan lingkungan di lingkungan hotel,” tutup Sahmad.
Selain Hotel Grand Tjokro dan Universitas Katolik Parahyangan, Komunitas Ngadaur yang berada di Udjoecoland mencoba untuk membantu selesaikan masalah menumpuknya sampah organik di Kota Bandung. Salah satu pendekatan yang diambil oleh komunitas ini adalah dengan memanfaatkan larva lalat hitam atau Maggot Black Soldier Fly (BSF) untuk mengurai sampah organik dari sektor HOREKA (Hotel, Restoran, Kafe) menjadi sumber daya yang bernilai.
Saat ditemui AZWI beberapa hari lalu, pendiri Ngadaur, Tubagus Ari menceritakan pihaknya mulai kewalahan orderan untuk mengelola organik sejak TPA Sarimukti terbakar. Hal ini dipicu karena tak ada lagi pengangkutan sampah. Padahal menurutnya, jika sejak awal Pemerintah menyadari hal ini dan segera berbenah dari metode pengelolaan sampah kumpul angkut buang, hal seperti ini tidak akan terjadi.
“Kami sebenarnya sudah kewalahan juga, karena kapasitas kami bisa tampung perharinya 5-6 ton perhari. Sedangkan sekarang permintaannya lebih, dan sudah mulai over. data food waste terbaru di Kota Bandung itu mencapai 1.389 ton per hari. Ngadaur enggak sanggup,” ujar pria yang akrab disapa Ari ini.
Ari menjelaskan, banjirnya permintaan untuk mengelola sampah organik ini, kata Ari, menjadi bukti sudah saatnya masyarakat dan pemerintah tidak lagi bergantung pada TPA dan harus beralih dengan konsep pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
“Sampah organik yang selama ini tidak pernah dilirik. Di Ngadaur, kami jadikan sebagai pakan maggot, kami kelola jadi kompos. Setidaknya kita bisa mengurangi jejak metana, jejak karbon, membuka lapangan pekerjaan, inilah saatnya,” pungkasnya. (Kia)