Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau lebih dikenal sebagai tempat sampah, menjadi tempat penampungan akhir bagi berbagai jenis limbah. Salah satu bahaya yang sering terjadi di TPA adalah penumpukan gas metana (CH4). Gas ini merupakan hasil dari proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme di lingkungan yang kurang oksigen. Meskipun gas metana sendiri tidak beracun, tetapi dapat menjadi ancaman serius jika menumpuk dalam jumlah besar, terutama karena potensi kebakaran yang dapat diakibatkannya.
Dalam kurun waktu lima bulan saja, Aliansi Zero Waste Indonesia mencatat sekitar 38 TPA terbakar karena ledakan gas metana yang dipicu cuaca panas. Peningkatan suhu udara yang ekstrem serta kelembaban yang tinggi menjadi pemicu utama ledakan di TPA. Akibatnya, gas metana yang dihasilkan dari aktivitas pembusukan sampah di TPA menjadi lebih mudah terbakar dan menyebabkan kebakaran yang sulit untuk dikendalikan. Kejadian ini tentunya menimbulkan bencana kedaruratan sampah di tiap daerah.
Sampah Sisa Makanan Tak Terkelola dengan Baik
Salah satu jenis sampah organik yang menimbulkan gas metana adalah sampah sisa makanan yang tak terolah dan bercampur di TPA. Indonesia memang punya masalah dengan sisa makanan. Data hasil analisis kolaborasi pemerintah dengan Foreign Commonwealth Office Inggris selama 20 tahun terakhir juga menyebutkan limbah makanan yang terbuang atau food loss and waste di Indonesia mencapai 23 juta ton-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019. Angka ini setara 115 kg-184 kg sampah sisa makanan per kapita per tahun.
Urgensi pemerintah untuk menangani sampah sisa makanan serta kesadaran masyarakat juga bisa dikatakan minim. Hal ini terungkap dalam data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada tahun 2021; sampah makanan mendominasi klasemen limbah yang mencemari Indonesia, dengan jumlah mencapai 46,35 juta ton, hampir dua kali lipat dari sampah plastik yang berada di peringkat kedua dengan 26,27 ton.
Ironisnya di saat begitu banyak makanan yang dibuang, masih banyak penduduk Indonesia yang kelaparan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan sebanyak 13,8 persen balita di Indonesia mengalami kurang gizi dan 3,9 persen lainnya menderita gizi buruk. Fakta lain menyebutkan 34,74 persen rumah tangga di Indonesia masih memanfaatkan bantuan beras miskin (Raskin) dari pemerintah.
Bom Waktu Sampah Sisa Makanan
Sampah sisa makanan juga memberikan kontribusi signifikan terhadap dampak negatif terhadap lingkungan. Sebab, sampah jenis ini juga dapat menghasilkan gas metana sekaligus emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang melecut peningkatan pemanasan global (krisis iklim).
Mengacu data World Resources Institute (WRI), sampah makanan turut menyumbang 8 persen dari emisi global. Dilansir dari Iklimku, Emisi GRK yang menguar dari limbah pangan dalam kurun waktu dua dekade terakhir mencapai 1.702,9 Megaton CO2-ekuivalen. Angka gabungan dari food waste & food loss itu menyumbang sekitar 7,29 persen rata-rata emisi GRK saban tahunnya. Jika mengacu pada data, di Indonesia setiap tahun ada sekitar 250 ribu ton bahan dasar pangan yang terbuang percuma.
Sementara itu, kandungan metan juga berbahaya bagi manusia. Ia memiliki potensi 25 kali lebih beracun dari karbon dioksida. Tak hanya berbahaya bagi paru-paru manusia, gas metana jika tak memperoleh pasokan oksigen cukup dan tertimbun dalam waktu lama, dapat beralih rupa menjadi bom waktu.
Bukan sekadar metafora, bom waktu itu nyata dan terbukti melalui peristiwa tragis yang terjadi satu setengah dekade lalu di Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Peristiwa maut tersebut, merenggut 157 nyawa manusia, dan menghilangkan 2 desa dari peta. Sejak saat itu, diperingati setiap tahun sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.
Urgensi Penanganan Sampah Makanan
Permasalahan ini memperlihatkan urgensi untuk meningkatkan kesadaran dan tindakan pemerintah dalam mengatasi masalah pengelolaan sampah makanan. Meski sebelumnya sudah ada aturan untuk melarang organik ke TPA seperti yang dilakukan pemerintah daerah Jawa Barat, namun sejauh ini AZWI belum melihat adanya tindakan serius yang dilakukan oleh pemerintah untuk menegakkan aturan melarang organik–yang di dalamnya terkandung sampah makanan– masuk ke TPA.
Hal ini menimbulkan keprihatinan terkait keefektifan peraturan dan perlunya langkah-langkah lebih lanjut dalam penegakan aturan demi keberhasilan pengelolaan sampah makanan yang berkelanjutan. Diperlukan sinergi antara pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat untuk menciptakan sistem pengelolaan sampah makanan yang efisien dan dapat diandalkan.
Inisiatif untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai dampak sampah sisa makanan terhadap lingkungan perlu ditingkatkan, sambil mendorong penerapan solusi kreatif untuk menangani sampah organik lainnya secara aman. Selain itu, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum oleh pemerintah menjadi kunci untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang sudah ada, guna mencapai tujuan bersama dalam mengurangi dampak negatif sampah makanan terhadap lingkungan. (Kia)