Tidak terasa bahwa tahun 2023 akan berakhir dan kita akan memasuki tahun 2024. Pada tahun 2024, tentu ada harapan atau tujuan baru yang ingin kita capai terutama pada isu lingkungan khususnya sampah.
Penuhnya kapasitas tempat pembuangan akhir sampah di sejumlah daerah menjadi penanda bahwa pengelolaan sampah di Indonesia berada dalam titik kritis. Hal ini diperparah dengan kian banyaknya timbulan sampah tanpa pengelolaan yang optimal sehingga menyebabkan sejumlah persoalan lingkungan, kebersihan, dan kesehatan.
Data yang dihimpun oleh Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mencatat terdapat 38 TPA terbakar di sejumlah wilayah di Indonesia, mayoritas diakibatkan oleh ledakan gas metana yang menumpuk di TPA. Sejatinya kasus kebakaran TPA tidak hanya terjadi di tahun ini, namun terus berulang di setiap tahunnya.
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi Indonesia saat ini adalah lonjakan produksi sampah yang tidak terkendali. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan perubahan gaya hidup masyarakat telah menyebabkan peningkatan signifikan dalam volume sampah yang dihasilkan setiap tahunnya tanpa pengelolaan sampah yang tepat.
Dilansir dari The Conversation, saat ini permintaan plastik terus meningkat. Selama empat dekade terakhir, produksi plastik global meningkat empat kali lipat. Dengan 380 juta ton per tahun, kita memproduksi plastik 190 kali lebih banyak daripada yang kita lakukan pada 1950. Jika permintaan plastik terus tumbuh secara konsisten sebesar 4% per tahun, emisi dari produksi plastik akan mencapai 15% dari emisi global pada 2050 mendatang.
Dalam sebuah laporan, “Plastic & Climate: The Hidden Costs of a Plastic Planet,” yang dirilis oleh The Center International Environmental Law (CIEL) menyebutkan bahwa jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari siklus produksi hingga pembuangan plastik terus meningkat. Hingga mencapai 2.8 Juta Metric Ton CO2. Itu setara dengan emisi karbon yang dihasilkan oleh 500 buah Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara, di tahun 2050.
Plastik bukan hanya berbahaya bagi lingkungan namun juga manusia. Pembicaraan terkait paparan bahan kimia berbahaya di plastik saat ini belum banyak diperhatikan. Padahal, Nexus3 Foundation menjelaskan sejak siklus awal, mulai saat ekstraksi, produksi, penggunaan, pembuangan, bahkan hingga proses daur ulang, plastik memiliki puluhan ribu bahan kimia, dan baru sekitar 3000 diketahui jenis dan bahaya apa saja yang dapat ditimbulkan.
Paparan bahan kimia dari plastik mudah saja masuk ke dalam tubuh manusia, melalui kemasan makanan & minuman, produk rumah tangga sehari-hari, dan yang paling rentan adalah para pekerja industri plastik dan kemasan, serta pekerja sampah seperti pemulung, dan petugas TPS. Bahkan tak sedikit dari mereka yang meninggal karena resiko pekerjaan yang tinggi dan kurangnya kesejahteraan serta pemenuhan hak-hak dasar pekerja.
Di sisi sampah organik, sampah makanan adalah penyumbang terbesar di Indonesia. Berdasarkan riset terbaru yang dikeluarkan anggota Aliansi Zero Waste Indonesia; Yayasan Gita Pertiwi, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Komunitas Nol Sampah Surabaya berjudul “Riset Plastik Dalam Rantai Pangan” di tiga kota besar Indonesia: Surakarta, Surabaya dan Denpasar juga menunjukkan bahwa angka sampah sisa makanan lebih tinggi dibandingkan jenis sampah lainnya.
Melonjaknya angka sampah pangan disebabkan oleh pola konsumsi dan model pengelolaan sampah kumpul angkut masih mendominasi di Indonesia. Padahal pencemaran sampah makanan dapat mengakibatkan peningkatan berbagai macam penyakit infeksi saluran pencernaan dan pernafasan, serta dapat melecut Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang memperparah perubahan iklim.
Data dari UNEP, Food Waste Index (2021) juga menegaskan Indonesia adalah negara dengan penghasil sampah makanan terbesar di ASEAN, dan menduduki urutan kedua di Dunia, dengan total 23-48 Juta Ton sampah makanan setiap tahunnya.
Dalam menghadapi era baru ini, masyarakat, produsen dan pemerintah tentunya memiliki harapan dan tujuan baru untuk meningkatkan kesadaran lingkungan, mengurangi dampak negatif sampah terhadap ekosistem, dan memajukan inisiatif berkelanjutan. Namun banyak dari penyelesaian tersebut juga menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan seperti aktivitas pembakaran sampah menjadi energi (waste to energy) hingga solusi-solusi biodegradable plastik yang mengancam lebih cepat pencemaran mikroplastik.
Dengan demikian, tahun 2024 menjadi momentum penting untuk merancang dan melaksanakan kebijakan serta tindakan konkret guna mencapai perubahan positif dalam penanganan sampah, mengubah paradigma produksi sampai konsumsi, dan mendukung upaya zero waste sebagai satu-satunya solusi dalam menjaga keberlanjutan bumi ini.
Untuk mencapai resolusi tersebut, tentunya memerlukan action plan yang jelas. Bagaimana caranya? Dengan menyadarkan berbagai peran dari seluruh pihak termasuk masyarakat, produsen dan pemerintah. (Kia)