Memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bersama anggotanya yakni Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) dan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali mengadakan webinar bertajuk “Dampak Sosial Dan Lingkungan Dari Penanganan Sampah Yang Berisiko” guna membahas penanganan sampah berisiko yang tidak mengindahkan faktor lingkungan dan sosial, hingga bagaimana praktik baik dan benar dalam pengelolaan sampah jenis ini.
Webinar ini diisi oleh para pakar lingkungan, diantaranya yakni Zero Waste Campaign Officer YPBB Alida Naufalia, Program Manager PPLH Bali Gungtik Rismayanti, dan Dosen Teknik Mesin universitas Udayana Ni Made Dwidiani. Webinar ini juga didampingi Soraya Haque sebagai moderator.
Paradigma konvensional, yaitu dengan pola “kumpul-angkut-buang” adalah salah satu potret buruk dari pengelolaan sampah di Indonesia pada saat ini. Sebagaimana diketahui, saat ini terdapat banyak jenis sampah yang berisiko dan harus dihindari serta memiliki penanganan yang khusus. Namun, nyatanya saat ini pola ini terus berulang tanpa adanya pemilahan dan penanganan sedekat mungkin dari sumbernya.
Penanganan sampah yang berisiko dapat mencakup berbagai masalah, seperti pengelolaan sampah bahan berbahaya dan beracun (B3), pembuangan residu, dan praktik-praktik tidak berkelanjutan dalam pemrosesan sampah seperti teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan Refuse derived fuel (RDF), serta ancaman yang lebih besar seperti ledakan gas metana yang ditimbulkan dari proses menumpuknya sampah di TPA hingga perubahan iklim.
Zero Waste Campaign Officer YPBB Alida Naufalia menyebutkan bahwa penanganan sampah yang tidak benar, dapat memicu perubahan iklim yang memiliki dampak lebih luas dan signifikan bagi negara-negara di dunia dibandingkan dengan pandemi Covid-19. Perubahan iklim juga dapat memberikan kerugian yang besar bagi perekonomian, yaitu kehilangan mencapai lebih dari 10 persen dari total nilai ekonominya apabila kesepakatan Paris 2050 tidak terpenuhi.
“Air, ekosistem, pangan, pesisir, dan kesehatan adalah dampak utama yang bisa kita rasakan akibat perubahan iklim. Kekeringan di berbagai daerah sudah terjadi, begitu juga banjir. Baru-baru ini terjadi Tornado di wilayah Rancaekek, Sumedang yang menyebabkan banyak kerugian,” papar Alida.
Alida juga menegaskan bahwa perubahan fungsi lahan akibat pembukaan lahan baru untuk TPA atau TPS juga menyebabkan dampak buruk seperti penggusuran, penggundulan hutan dan berkurangnya biodiversitas. Hal ini terjadi tidak lain karena sistem pengelolaan sampah yang buruk di Indonesia.
Mengamini hal yang sama, Dosen Teknik Mesin Universitas Udayana Ni Made Dwidiani juga mengatakan penting untuk masyarakat ikut andil dalam mengurangi dan menangani sampah yang mereka keluarkan sehari-hari terutama jenis sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Menurutnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan yakni konservasi energi, menggunakan lampu LED, menghemat air, mengurangi pemakaian baterai, membatasi pemakaian plastik dan memilah sampah sesuai jenisnya serta menyalurkannya langsung ke bank sampah.
“Baterai konvensional itu adalah salah satu sumber pencemaran timbal yang dapat berdampak buruk untuk generasi sekarang dan mendatang. Riset yang dilakukan teman-teman jurusan lingkungan pada suatu daerah yang airnya tercemar timbal, hasilnya mengejutkan karena banyak masyarakatnya mengidap kanker, jumlah pasien kanker yang tercatat di puskesmas sangat tinggi,” jelasnya.
Dampak sosial dan dampak lingkungan dari masalah ini dapat menyebabkan terganggunya kesejahteraan masyarakat lokal, kerusakan ekosistem air, tanah, dan udara, yang pada gilirannya dapat memengaruhi keseimbangan alam dan sumber daya alam. Menangani sampah berisiko membutuhkan peran multipihak. Bukan hanya dari masyarakat, industri namun juga pemerintah. Beberapa solusi yang bisa mengurangi dampak sosial maupun lingkungan dari pengelolaan sampah yang buruk yakni dengan sistem zero waste.
Menurut Zero Waste International Alliance (ZWIA), Zero Waste merupakan sebuah program Konservasi semua sumber daya dengan cara produksi, konsumsi, penggunaan kembali, dan pemulihan semua produk, kemasan, dan bahan yang bertanggung jawab, tanpa membakarnya, dan tanpa pembuangan ke tanah, air atau udara yang mengancam lingkungan atau kesehatan manusia.
“Masyarakat belum terbiasa dalam menangani sampah khusus. Pemerintah pun perlu memberikan paparan dan memastikan penyediaan fasilitas untuk penanganan sampah B3 ini. Saat kami melakukan riset bahkan seukuran Bali saja belum ada Tempat Penyimpanan Sementara Limbah B3 (TPS LB3),” jelas Program Manager PPLH Bali Gungtik Rismayanti.
Gungtik khususnya mewanti-wanti terkait inisiatif Indonesia untuk memasifkan penggunaan Electric Vehicle (EV) untuk mencapai Indonesia Net Zero Emission 2045.
“Yakin nggak sih kita bisa mencapai Net Zero Emission? Dengan keadaan bahwa: satu, kita belum paham terkait pengelolaan sampah. Ditambah lagi kita fasilitas Limbah B3 yang belum banyak. Kalau rusak, itu mau dibawa kemana? Kami mencoba advokasi ke pemerintah, sebelum buru-buru untuk memasifkan produksi baterai untuk EV, perlu untuk memikirkan dampak yang muncul,” pungkasnya.