Mengingat besarnya dampak pembakaran sampah bagi kesehatan lingkungan, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengadakan webinar dengan tajuk “Dioksin dan Kesehatan Lingkungan: Dampak Pembakaran Sampah dan Paparan Ternak di Area TPA” dengan tujuan untuk menunjukkan risiko pembakaran sampah pada hewan-hewan ternak di sekitar TPA yang terpapar dioksin atau mikroplastik dalam tubuhnya.
Webinar ini diisi oleh para ahli riset lingkungan, diantaranya juga merupakan Project Manager yang berasal dari Cheng Siu University Taiwan, Aldeno Rachmad Ika, Toxics Program Officer Nexus3 Foundation Annisa Maharani, Project Development Officer Gita Pertiwi Itsnainingrum Sekar Wijaya, dan Analytical and Environmental Chemist Nexus3 Foundation Bonusa Huda. Webinar ini juga didampingi oleh Fidelis Eka Satriastanti yang berperan sebagai moderator.
Meminimalisir sampah sendiri sebenarnya memiliki banyak cara, namun yang paling umum dilakukan oleh masyarakat adalah membakar sampah-sampah tersebut. Nyatanya, pembakaran sampah sendiri bukanlah langkah efektif dalam meminimalisir volume sampah karena mengakibatkan beragam dampak bagi kesehatan lingkungan baik dilakukan secara pembakaran terbuka maupun menggunakan teknologi insinerator.
Aldeno Rachmad Ika memaparkan bahwa pembakaran plastik mampu menghasilkan zat kimia beracun, seperti dioksin. Dioksin merupakan senyawa yang termasuk dalam kelompok Persistent Organic Pollutants (POPs) yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Dalam National Implementation Plan 2014, Indonesia diperkirakan menghasilkan sekitar 9.881 gram TEQ dioksin dan furan per tahun, dengan sumber utama dari pembakaran terbuka.
Tak hanya bersumber dari pembakaran terbuka, nyatanya dioksin juga dapat ditemukan dari pembakaran sampah yang menggunakan teknologi incinerator. Program Officer Nexus3 Foundation, Annisa Maharani, menyebutkan pembakaran plastik menghasilkan abu atau residu yang seringkali dibuang ke lahan terbuka. Jika abu tersebut dibiarkan, mengakibatkan penyebaran abu apabila terjadi hujan atau angin yang besar.
“Dioksin berawal dari pembakaran plastik dan general melalui tungku bakar dan insinerator yang masih kurang safety karena setelah terbakar abunya pasti akan dibuang ke lahan terbuka yang kalau kena hujan jadi basah atau terbawa angin, itu membahayakan,” ujar Annisa.
Saat ini teknologi insinerator sampah skala besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dibangun di tengah-tengah Tempat Pembuangan Akhir (TPA), seperti salah satunya di TPA Putri Cempo Surakarta. Hal ini tidak menutup kemungkinan menambah catatan pencemaran pada kawasan sekitar TPA.
“Penemuan kontaminasi dioksin dan POPs pada lingkungan dan telur ayam di sekitar aktivitas pembakaran plastik, seperti pembakaran sampah terbuka, tungku bakar, atau insinerator, menjadi teguran untuk pemerintah indonesia bahwa metode waste management ini tidak se aman yang dijanjikan. Masalah plastik mungkin terlihat selesai ketika dibakar, namun dengan minim dan bahkan tidak adanya aturan yang mengatur emisi insinerator dan tungku bakar skala kecil, hal ini hanya akan membuat masalah baru yang tak kasat mata,” tegasnya.
Berdasarkan riset yang dilakukan Nexus3 Foundation, ditemukan dioksin dalam hewan ternak di sekitar TPA Putri Cempo. Jumlah dioksin yang ditemukan pada hewan-hewan ternak tersebut telah melebihi batas maksimum toleransi. Bonusa juga menekankan bahwa dioksin tersebut berpengaruh pada daging hewan ternak, yang nantinya akan dikonsumsi oleh masyarakat.
Beberapa POPs dalam darah, jeroan, dan daging sapi berpotensi berasal dari produk yang dibuang ke tempat pembuangan sampah, serta emisi POPs selama kebakaran di tempat pembuangan sampah.
“Beberapa POPs dalam darah, jeroan, dan daging sapi berasal dari produk itu memang berasal dari produk yang memang dibuang di sampah ataupun memang terdampak atau hasil dari pembakaran sampah-sampah plastik,” ungkap Bonusa.
“
Sapi di TPA berisiko terpapar Polutan Organik Persisten (POPs), seperti dioksin dan dl-PCB (dioxin like PCB) yang dapat membahayakan kesehatan hewan dan manusia melalui rantai makanan. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan langkah mitigasi seperti melarang penggembalaan di area TPA, memonitor residu POPs pada produk ternak, dan meningkatkan pengelolaan limbah untuk mencegah pencemaran lebih lanjut,” tambahnya.
Bukan hanya dioksin, Pada tahun 2023, Gita Pertiwi bersama Nexus 3, Unika, UNS, dan Chengshiu University Taiwan mengadakan riset tentang cemaran mikroplastik pada 2 sapi di Surakarta dan Semarang. Sebaran mikroplastik paling banyak pada darah diikuti jeroan. Konsentrasi mikroplastik sapi TPA Jatibarang pun lebih banyak daripada TPA Putri Cempo.
Plastik berukuran kurang dari 5 mm ini ditemukan pada hewan sapi yang diternakan atau digembalakan di lingkungan TPA. Aktivitas penggembalaan sapi di TPA Putri Cempo dan TPA Jatibarang telah berlangsung puluhan tahun dan sudah turun temurun.
“Kita mengadakan riset tentang paparan mikroplastik dan POPs, dan hasilnya didapati bahwa mikroplastik yang ada pada sapi ini ditemukan dan lebih banyak pada darah dan juga jeroan,” pungkas Itsna.
Sementara itu, di sisi lain Aldeno memberikan beberapa rekomendasi strategi yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia seperti memperkuat kerangka regulasi dan penegakannya, meningkatkan praktik pengelolaan sampah, kapasitas pemantauan dan penelitian, meningkatkan kesadaran dan pendidikan publik, mendorong kerjasama yang bermanfaat, memperbarui rencana pelaksanaan nasional, serta melakukan studi kesehatan berisiko.
“Saat ini, (sudah ada) 39 aturan. Namun masih jauh dari kata lengkap karena banyaknya hukum yang bertolak belakang dengan kebutuhan, salah satunya pembangkit listrik tenaga sampah tapi belum siap,” tutup Aldeno.
Terlepas dari banyaknya inisiatif dalam penanganan sampah di Indonesia, harusnya Indonesia fokus pada amanat Undang-Undang Pengelolaan Sampah No. 18 tahun 2008 yang mana pada Pasal 12 Bab IV disebutkan bahwa setiap orang wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan. Hal ini sesuai dengan konsep zero waste yang dikenalkan oleh Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), yakni pengolahan sampah harus sedekat mungkin dengan sumbernya. Tujuannya adalah untuk meminimalkan jumlah sampah yang dihasilkan dan mengurangi beban pengangkutan sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA). (Magang-Pinkan)