Mikroplastik kini telah merambah ke lingkungan sekolah, salah satunya melalui jajanan-jajanan seperti risoles, nasi goreng, roti kemasan, dan minuman berasa. Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengadakan sebuah webinar dengan tajuk “Mikroplastik dalam Jajanan Sekolah: Dampak Bagi Kesehatan Anak” untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama para orang tua, guru, dan pihak sekolah, mengenai pentingnya menjaga keamanan pangan yang dikonsumsi anak-anak di lingkungan sekolah. Kegiatan ini merupakan bagian dari Dialogue Series Menuju Perjanjian Plastik Global: Pengurangan Sampah Plastik Demi Kesehatan Lingkungan
Webinar yang diselenggarakan pada Kamis, (21/11/2024) lalu ini, diisi oleh pakar lingkungan, mulai dari Manajer Program Kota Berkelanjutan di Gita Pertiwi, Khoirunnisa, Kepala Laboratorium Mikroplastik Ecoton Rafika Aprilianti, Program Manager PPLH Bali Ni Made Diyah Darma Yanti, Guru SDN 7 Dauh Puri I Gusti Agung Dwiari, dan Unika Soegijapranata Y Budi Widianarko dan Fidelis Eka Satriastanti yang memandu berjalannya webinar.
Manajer Program Kota Berkelanjutan Gita Pertiwi, Khoirunnisa, memaparkan mengenai kantin sekolah ramah anak yang telah diinisiasi sejak 2018 lalu. Khoirunnisa menemukan setidaknya 5,65 kg sampah anorganik setiap harinya, dimana sampah anorganik tersebut sebagian besarnya adalah sampah plastik. Lebih lanjut, riset tersebut juga mengungkap adanya kandungan mikroplastik pada jajanan anak di sekolah akibat penggunaan plastik sekali pakai sebagai kemasannya.
“Berdasarkan dari riset yang kami lakukan tentang timbulan sampah, kami melakukan riset untuk mikroplastik pada pangan jajanan anak sekolah yang hasilnya dari ketiga sampel yang kami ujikan, itu semua mengandung mikroplastik dan yang paling banyak itu dalam bentuk fiber dan fragmen,” jelas Khoirunnisa dalam pemaparan risetnya.
Tak hanya pada jajanan sekolah, Kepala Laboratorium Mikroplastik ECOTON, Rafika Aprilianti, juga menemukan mikroplastik dalam minuman pemanis kemasan dimana minuman-minuman tersebut sering kita konsumsi setiap harinya.

“Karena bungkus atau kemasan dari minuman manis ini adalah si plastik, nah yang mana plastik itu ada 16.000 senyawa kimia yang beracun, yang mana kalau si kemasan ini terkena gesekan ataupun terkena sinar matahari langsung, itu akan terdegradasi atau kalau kata Bahasa Jawanya itu mrotol, gitu ya,” ujar Rafika yang memaparkan proses masuknya mikroplastik dalam minuman kemasan.
“Plastik itu rapuh, kalau terkena panas. Terkena gesekan itu rapuh. Jadi senyawa kimia tadi itu bisa rontok di minuman yang kita minum setiap harinya,” lanjutnya.
Makanan dan minuman yang mengandung mikroplastik tersebut kemudian dikonsumsi oleh manusia dan akhirnya mencemari darah manusia. Rafika juga menyebutkan bahwa dalam risetnya menemukan kandungan mikroplastik dalam darah manusia, dimana mikroplastik tersebut merupakan jenis yang sama dengan yang digunakan pada kemasan makanan dan minuman.
Ni Made Diyah dan I Gusti Agung juga memaparkan mengenai mikroplastik di lingkungan sekolah. Beberapa solusi dan penanggulangan yang Diyah gunakan untuk meminimalisir plastik di Bali salah satunya adalah dengan cara mengajak anak-anak membuat tumbler, membuat tempat makan, mengadakan sistem reuse dan refill di kantin sekolah, hingga meminimalisir penggunaan plastik sekali pakai pada kegiatan di sekolah.
Diyah juga menyebutkan beberapa cara penting untuk mencegah mikroplastik pada makanan atau minuman, antara lain:
- Memastikan proses produksi bersih dan steril untuk menghindari kontaminasi mikroplastik yang dapat berasal dari pecahan kain/lap yang digunakan saat proses pembuatan makanan
- Menghindari pengemasan dan penyimpanan makanan dalam kondisi panas dan terpapar sinar matahari secara langsung
- Bijak memilih dan menggunakan kemasan pembungkus, penyajian, dan peralatan makanan dengan meminimalisir penggunaan plastik terutama yang bersifat sekali pakai
Tidak hanya pada jajanan sekolah, air minum kemasan baik yang berbentuk botol maupun galon, ditemukan juga 325 partikel mikroplastik per liternya. Tidak hanya pada manusia, mikroplastik bahkan ditemukan pada hewan-hewan yang terpapar langsung dengan sampah plastik. Seperti sapi yang tinggal di sekitar dan hewan-hewan laut yang sudah tercemar oleh sampah plastik.
“Risiko keamanan pangan hanya dapat diminimalkan dengan cara mereduksi semaksimal mungkin. Jadi gerakan-gerakan tadi untuk single use plastic dan sejenisnya itu memang bagian dari itu. Sehingga paparan antara plastik dan pangan itu berkurang,” pungkas Budi Widianarko dalam menutup presentasinya.
Khoirunnisa juga memberikan beberapa solusi guna mencegah bahaya B3 dan mikroplastik, mulai dari kebijakan sekolah tentang pangan sehat dan penggunaan wadah guna ulang, forum multi-pihak, menggunakan cat bebas timbal, tidak menggunakan pestisida, bebas dari bahan kimia berbahaya, hingga sertifikat penyuluhan keamanan pangan. Namun, solusi tersebut masih memiliki tantangan, salah satunya adalah replikasi di Sekolah Negeri seperti aturan, birokrasi, dan anggaran.
Sejatinya, pencegahan mikroplastik yang paling utama adalah dengan meminimalisir penggunaan plastik sekali pakai sebagai kemasan makanan ataupun minuman mengingat dampaknya yang cukup besar bagi manusia. Solusi yang bisa digunakan adalah dengan mengganti plastik dengan alternatif lainnya yang lebih ramah lingkungan. (Magang-Pinkan)