oleh: Margaretha Quina (Indonesian Center for Environmental Law)
“PARA PEMOHON percaya bahwa putusan yang akan dijatuhkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia akan menentukan masa depan bumi Pertiwi generasi penerus bangsa Indonesia. Di ujung palu Mahkamah Agung, generasi mendatang akan melihat sejarahnya: apakah lingkungan hidup dan kesehatan mereka telah diabaikan demi kepentingan jangka pendek generasi pendahulunya; ataukah lembaga peradilan menjadi ujung tombak untuk memastikan bahwa keadilan ekologis juga merupakan hak mereka.”
– Bagian Pendahuluan, Aisya Adilla, cs. vs. Presiden RI tentang Uji Materiil Perpres No. 18 Tahun 2016.
Pada 15 Juli 2016, sebuah kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah mengajukan permohonan uji materiil terhadap Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar (“Perpres Percepatan PLTSa”). Para pemohon terdiri dari enam organisasi lingkungan hidup dan persampahan (WALHI, Balifokus, Gita Pertiwi, Perkumpulan YPBB, KRUHA, dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)) serta lima belas individu yang mewakili masyarakat dari tujuh kota yang tercantum dalam Perpres Percepatan PLTSa.
Permohonan uji materiil ini diajukan ke Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang untuk menguji bertentangan atau tidaknya perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-Undang.[3] Dalam hal ini, para pemohon Perpres Percepatan PLTSa mendalilkan bahwa bagian-bagian dalam Perpres ini bertentangan dengan beberapa Undang-undang, khususnya sebagai berikut:
Kesalahan paling mendasar dari Perpres ini adalah dengan mengunci pilihan teknologi PLTSa dengan teknologi termal, yang berdampak sistemik terhadap keterpaduannya dengan perundang-undangan di sektor lingkungan hidup dan kesehatan publik, serta kelayakan ekonomi. Justru ketika PLTSa teknologi termal merupakan metode pengelolaan sampah yang beresiko tinggi bagi lingkungan dan kesehatan publik, tidak efisien dari segi ekonomi, dipertanyakan kelayakan teknisnya serta belum disiapkan perangkat perlindungan dampaknya, prosedur dan kerangka hukum yang dapat memitigasi dampak diterabas atas nama “percepatan.”
Dari perspektif pengelolaan sampah, para pemohon berpendapat Perpres ini merupakan langkah mundur yang kontra produktif dengan tujuan jangka panjang dan mitigasi dampak yang dimandatkan pembuat undang-undang. Sebagaimana tercantum dalam alinea Pendahuluan permohonan uji materiil, para pemohon menyebutkan, “Belajar dari kegagalan pengelolaan sampah Indonesia di masa lampau, pada tahun 2008 para pembuat Undang-Undang secara eksplisit mencantumkan kehendak mereka akan adanya “paradigma baru” pengelolaan sampah yang komprehensif sejak sebelum dihasilkan suatu produk yang berpotensi menjadi sampah dan tidak hanya bertumpu pada pendekatan akhir. Paradigma baru ini menitikberatkan pada pengelolaan sampah yang “ramah lingkungan” dan berorientasi pada kesehatan publik. Jika ditaati dengan baik, kerangka ini menghindarkan penyelenggara negara melakukan manajemen pengelolaan sampah yang tidak tepat, yang justru dapat memperlambat perbaikan pengelolaan sampah serta berujung pada pemborosan anggaran.”
Lebih jauh, dalam perspektif lingkungan hidup dan kesehatan publik, para pemohon mengingatkan kembali bahwa telah terlalu sering bencana kesehatan dan ekologi bukan disebabkan oleh niat untuk mencemari atau merusak, melainkan karena pertimbangan yang kurang menyeluruh, cermat dan hati-hati dalam memecahkan permasalahan masa kini. Kasat mata, tujuan pembuatan Perpres ini mulia: diversifikasi energi dan peningkatan kualitas lingkungan. Sayangnya, tanpa studi yang cermat, Presiden selaku pembuat Perpres ini gagal memprediksi konsekuensi dari pengundangan Perpres ini, yang justru akan menghambat pencapaian kedua tujuan tersebut dalam jangka panjang dan memberikan pekerjaan rumah yang jauh lebih sulit bagi generasi mendatang. Di saat negara-negara maju telah bergerak menjauhi insinerator dan penggunaan teknologi termal dalam konversi sampah menjadi energi, Indonesia malah mempercepat pembangunan tujuh insinerator berskala besar. Padahal, terdapat alternatif lain dengan dampak yang lebih aman bagi lingkungan dan kesehatan publik, yang sayangnya tidak dipertimbangkan dalam pembuatan Perpres ini.
Dalam permohonan uji materiil tersebut, para pemohon meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan provisi yang menunda pelaksanaan Perpres Percepatan PLTSa ini. Hal ini diyakini penting mengingat proses pengerjaan proyek PLTSa di tujuh kota terus berlangsung dengan menggunakan uang publik. Pendanaan publik ini dilakukan dalam seluruh tahapan proyek yang terus melaju dengan kemudahan perizinan dan non-perizinan yang diberikan Perpres ini, menempatkan resiko hilangnya uang publik apabila Perpres ini dinyatakan dicabut.
Dalam petitum, para pemohon meminta Majelis Hakim untuk menyatakan Perpres Percepatan PLTSa ini tidak sah atau tidak berlaku secara umum, dan memerintahkan kepada Presiden RI untuk mencabut Perpres ini. Selain itu, jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan ini, para pemohon meminta Majelis untuk memerintahkan pemuatan isi putusan ini dalam Berita Negara RI sebagaimana mestinya.
Dengan pertentangan-pertentangan antara bagian-bagian maupun keseluruhan Perpres ini dengan Undang-undang yang disebutkan di atas, kepada Mahkamah Agung para pemohon meletakkan harapannya. In dubio pro natura, ketika dalam keraguan, berpihaklah pada lingkungan hidup. Perpres Percepatan PLTSa ini bukan sekedar mengenai pengelolaan sampah di tujuh kota, namun akan menandai legitimasi teknologi kotor dan kebolehan mengorbankan keadilan lingkungan, kesehatan publik, dan asas kehati-hatian untuk puluhan dan ratusan kota selanjutnya. Sampah mencerminkan logika keadilan yang paling dasar: siapa menabur benih, ia yang menuai hasilnya.