Jakarta (4 Desember 2018). Pada 1 November 2018, terbit surat permohonan Menteri Perindustrian kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memberikan rekomendasi izin impor atas limbah plastik demi keberlangsungan industri plastik nasional. Surat yang bernomor 593/M-IND/11/2018 tersebut berisi mengenai permasalahan yang dihadapi industri plastik nasional yang kesulitan dalam memperoleh bahan baku berupa skrap potongan plastik. Komunitas masyarakat yang tergabung dalam Alianzi Zero Waste Indonesia menilai bahwa permintaan untuk memenuhi kekurangan bahan baku plastik sebesar 600 ton/tahun melalui impor plastik merupakan suatu langkah yang salah.
Indonesia saat ini diperkirakan menghasilkan sampah plastik sebanyak 24.500 ton per hari setara 8,96 juta ton per tahun (perkiraan jumlah timbulan sampah plastik sebesar 14% dari total jumlah timbulan sampah). Kebijakan yang seharusnya didorong kementerian adalah untuk memilah sampah dari sumber untuk memastikan kualitas sampah plastik yang ada bisa diserap oleh industri daur ulang yang sudah ada.
Ketentuan mengenai impor limbah plastik ini dijelaskan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun. “Pada peraturan tersebut, izin terhadap impor bisa dikeluarkan untuk limbah non B3, yaitu limbah sisa dari produksi. Namun, yang kita temukan di lapangan, ternyata yang diimpor adalah sampah sisa konsumsi masyarakat dari luar negeri. Sisa bungkus makanan, sachet dan sebagainya yang tidak pernah dijual di Indonesia, dan hanya menjadikan negara kita tong sampah besar. Melihat kondisi seperti itu, jelas bahwa selama ini telah terjadi pelanggaran terhadap peraturan yang sudah ada. Peraturan memperbolehkan impor hanya atas potongan bahan baku sisa produksi, bukan sampah plastik. Ini jelas berbeda,” tegas Prigi, aktivis Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton).
Prigi prihatin bahwa sampah-sampah plastik hasil impor tersebut dan berada dekat dengan kantor Ecoton di Surabaya, tidak diambil oleh industri dan dibiarkan saja menumpuk di tempat pembuangan tidak resmi. “Industri hanya mengambil apa yang mereka butuhkan, sisanya dibiarkan begitu saja. Hal tersebut malah dimanfaatkan oleh warga lokal yang mengais-ngais dan menggunakan sampah-sampah sisa tersebut sebagai bahan bakar untuk memasak. Tentu saja ini merupakan aktivitas yang mengeluarkan racun, dan tidak sehat baik bagi lingkungan maupun kesehatan manusia,” jelas Prigi.
Sebagai jaringan yang mendorong terciptanya pengelolaan sampah yang lebih komprehensif, yaitu dengan melakukan pengurangan dan penanganan sampah sesuai amanat Undang Undang No. 18 Tahun 2008, AZWI meminta kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menolak permohonan Menteri Perindustrian mengenai izin impor limbah plastik dan segera menindak pihak-pihak yang telah menyalahgunakan izin mengimpor limbah plastik selama ini.
“Kami meminta pemerintah untuk mempertimbangkan dampak impor sampah plastik ini, dan menghentikan impor sampah plastik dalam bentuk apapun sampai adanya kejelasan dalam definisi dan pengawasan objek yang boleh diimpor, spesifikasi dan standar material daur ulang, serta peran koordinasi lintas kementerian untuk masalah polusi plastik. Selain itu, diharapkan pemerintah dapat mengadopsi segera standar Basel Convention on Transboundary Movements of Hazardous Wastes,” ujar Yuyun Ismawati Drwiega, selaku Senior Advisor dari BaliFokus dan pendiri AZWI.
Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga mengamanatkan pengurangan sampah sebesar 30% pada tahun 2025 atau sebesar 20,9 juta ton sampah. Jika 14% nya merupakan sampah plastik, maka sekitar 2,926 juta ton sampah plastik harus dikurangi dalam waktu kurang dari 7 tahun.
“Dalam Pasal 29 Undang Undang No. 18 tahun 2008 sudah sangat jelas disebutkan bahwa memasukkan sampah ke Indonesia dan mengimpor sampah adalah suatu tindakan terlarang. Hal tersebut bahkan sudah dimasukkan ke dalam ranah tindak pidana. Pemerintah Republik Indonesia harus mencontohkan bahwa penegakan peraturan berlaku kepada semua orang, termasuk pada pemerintah itu sendiri.”, ujar Yuyun.
Download versi penuh .