Pada tanggal 21 Januari lalu, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia (Kemenko Maritim) menyelenggarakan Kick Off Meeting Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut (Perpres 83/2018) yang dihadiri oleh tiga menteri sekaligus yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rapat tersebut beragendakan pembahasan implementasi Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut. Menurut Perpres 83/2018, rencana aksi yang dimaksud merupakan dokumen perencanaan yang memberikan arahan strategis bagi kementerian/lembaga dan acuan bagi masyarakat dan pelaku usaha dalam rangka percepatan penanganan sampah laut untuk periode 8 (delapan) tahun, terhitung sejak tahun 2018 sampai dengan tahun 2025 (1).
Sekilas, diterbitkannya perpres tersebut seolah menunjukkan komitmen serius pemerintah untuk menangani permasalahan sampah yang terjadi di Indonesia (terkhusus sampah laut). Sayangnya, rencana aksi yang ditetapkan dalam Perpres 83/2018 masih menghadirkan solusi-solusi yang belum benar-benar berpihak pada lingkungan hidup maupun kesehatan masyarakat serta belum mencerminkan pola ekonomi berdaur (circular economy). Solusi-solusi tersebut di antaranya seperti:
a) mendorong penggunaan plastik yang “aman untuk kesehatan dan lingkungan”, mudah terurai, dan dapat didaur ulang melalui gerakan nasional sosialisasi, kampanye peran industri, mendorong industri hulu maupun hilir untuk melakukan produksi bahan polimer plastik, penyusunan kajian insentif industri, penyusunan pedoman Good Manufacturing Process, penyusunan regulasi Standar Nasional Indonesia (SNI) serta penyusunan SNI itu sendiri;
b) mendorong daur ulang plastik melalui penyelenggaraan bimbingan teknis pemilahan sampah plastik sebagai bahan baku industri daur ulang plastik serta memberikan penghargaan untuk dunia usaha, media massa, kelompok masyarakat, dan tokoh agama/masyarakat terkait inovasi dan/atau kepeloporan dalam pengelolaan daur ulang sampah termasuk plastik, penyediaan alat atau mesin pendaur ulang sampah plastik, menyusun profil produsen dan stok plastik cacah daur ulang, penyusunan kajian penyebaran industri daur ulang plastik ke daerah destinasi wisata serta mendorong tumbuhnya industri daur ulang;
c) mendorong pemanfaatan sampah menjadi pembangkit listrik melalui pembuatan purwarupa peralatan PLTSa dengan kapasitas hingga 2.000 ton/hari;
d) mendorong pemanfaatan sampah menjadi bahan bakar minyak (BBM) melalui pembangunan unit pemanfaatan plastik menjadi bahan bakar minyak; dan
e) mendorong pemanfaatan sampah menjadi aspal plastik melalui meningkatkan penggunaan sampah plastik sebagai bahan tambahan (aditif) pembuatan jalan.
f) Solusi penanganan sampah plastik yang bersumber dari kegiatan di laut belum memadai, khususnya terkait penanganan alat tangkap yang dibuang ke laut dan penanganan sampah yang bersumber dari kapal pesiar.
Ada juga solusi yang seharusnya direncanakan dalam Perpres tetapi tidak ada, yakni terkait pembentukan kebijakan disinsentif dan mendorong setiap Pemerintah Daerah untuk membentuk kebijakan disinsentif di setiap wilayah yurisdiksinya. Kebijakan disinsentif ini dapat ditujukan bagi produsen, pemegang merek dan pelaku usaha ritel modern, pusat perbelanjaan, jasa, dan makanan yang tidak melakukan usaha pengelolaan sampah, khususnya pengurangan timbulan sampah. Kebijakan disinsentif dapat membantu Pemerintah dalam mengurangi timbulan sampah dan mencegah sampah sampai ke laut.
Keseluruh solusi yang ditawarkan oleh pemerintah dalam perpres tersebut menekankan pada pengelolaan sampah di hilir (end of pipe). Padahal, sebagaimana yang pernah disampaikan dalam beberapa siaran pers yang terdahulu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UU Pengelolaan Sampah) juga mengamanatkan pentingnya pengelolaan sampah di hulu dalam bentuk pengurangan timbulan sampah selain penanganan sampah di hilir.
Plastik Mudah Terurai, Disposability dan Pola Ekonomi Berdaur
Plastik mudah terurai pada dasarnya adalah plastik yang didesain untuk sekali pakai buang (disposable). Prinsip produk sekali pakai atau produk yang didesain untuk dibuang tidak memberikan stimulus untuk menurunkan tingkat konsumsi produk dan timbulan sampah. Plastik ini juga kerap diklaim “mudah terurai” padahal kenyataannya plastik ini akan terurai menjadi plastik juga hanya saja dalam ukuran yang lebih kecil dan sering disebut sebagai mikroplastik.
Daur Ulang Saja Tidak Cukup
Tidak semua yang dapat didaur ulang secara teknis pasti terolah dan termanfaatkan. Faktanya, hanya 10% dari sampah yang dapat didaur ulang benar-benar terolah. Oleh karena itu, sebanyak mungkin produk dan kemasan sekali pakai perlu dilarang dan diganti dengan produk dan kemasan yang didesain dapat diguna ulang (durable and reusable), bukan hanya sekedar dapat didaur ulang karena akan menimbulkan bias dari persepsi yang berbeda-beda.
Pemanfaatan Sampah Menjadi Pembangkit Listrik, BBM dan Aspal Plastik Adalah Solusi yang Kurang Tepat
Pemanfaatan sampah menjadi pembangkit listrik, BBM maupun aspal plastik merupakan solusi yang kurang tepat karena ketiga solusi tersebut hanya berorientasi pada pengelolaan sampah di hilir. Investasi di hilir sistem pada dasarnya hanya akan menghabiskan uang masyarakat. Jika pemerintah hanya berinvestasi pada teknologi pengolah sampah menjadi pembangkit listrik, BBM maupun aspal plastik, tidak ada insentif bagi masyarakat maupun pengusaha untuk mengurangi timbulan sampah. Sugesti yang kemudian terbentuk adalah, “Nggak masalah kok nyampah, sampahnya kan bisa jadi listrik, BBM atau aspal!” Pada akhirnya, kesadaran masyarakat maupun pengusaha tidak akan terbentuk, volume sampah tidak akan berkurang dan masalah tidak pernah selesai. Belum lagi, akan muncul masalah-masalah baru yang ditimbulkan oleh PLTSa, BBM berbahan dasar plastik serta aspal plastik.
Beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) pernah mengajukan permohonan uji materiil terhadap Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar (Perpres 16/2018). Alasan diajukannya permohonan dapat dibaca dalam Siaran Pers AZWI: Mengapa Kami Menggugat Perpres Percepatan PLTSa?. Oleh Majelis Hakim permohonan uji materiil tersebut dikabulkan dan Perpres 18/2016 dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hingga diperintahkan untuk dicabut. Sayangnya, di tahun 2018, Presiden Republik Indonesia (Presiden RI) mengeluarkan peraturan presiden baru yang memperbaharui peraturan presiden tersebut yakni Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Ramah Lingkungan (Perpres 35/2018). Perpres tersebut tidak realistis, mahal dan berpotensi gagal. Lebih lanjut mengenai Perpres 35/2018 dapat dibaca dalam Siaran Pers AZWI: Perpres No. 35/2018 tentang PLTSa: Pemaksaan Teknologi Mahal dan Tidak Berkelanjutan. Teknologi termal seperti PLTSa marak dipromosikan oleh pemerintah karena dianggap sebagai solusi “cepat” dalam mengatasi permasalahan sampah. Padahal, PLTSa masih menghasilkan abu sehingga tidak cocok bila dikatakan sebagai solusi “cepat”. Proses pengangkutan Flying Ash and Bottom Ash (FABA) justru memerlukan waktu dan biaya lebih karena memerlukan sarana angkut khusus mengingat FABA tergolong sebagai Bahan Berbahaya Beracun (B3) dan harus dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) B3.
Adapun untuk aspal plastik sendiri, upaya pemanfaatan sampah menjadi aspal plastik tidak dapat dikategorikan sebagai upaya pengurangan sampah plastik. Mendorong pemanfaatan plastik untuk campuran aspal tergolong pendekatan hilir (end-of-pipe) dan berpotensi mengganggu aliran daur ulang plastik yang sudah ada. Karena itu program ini tidak layak untuk dimasukkan sebagai bagian dari aksi nasional untuk reduksi sampah. Belum lagi, aspal plastik berpotensi menimbulkan peningkatan emisi Volatile Organic Compound (VOC). Lebih lanjut mengenai aspal plastik dapat dibaca dalam Siaran Pers AZWI: Tanggapan masyarakat sipil terhadap Proyek Uji-coba Jalan Aspal-Plastik.
Penanganan Sampah Plastik yang Bersumber dari Kegiatan di Laut
Salah satu solusi yang direncanakan oleh rencana aksi adalah kegiatan sosialisasi tata cara pengelolaan sampah di kapal penumpang ketika berlayar dan menyusun peraturan Menteri KKP tentang SOP kegiatan perikanan tangkap yang ramah lingkungan.
RAN ini menunjukkan adanya kesadaran Pemerintah terhadap banyaknya jumlah sampah yang dihasilkan oleh satu kapal pesiar. Kapal pesiar umumnya menghasilkan sampah yang jauh lebih besar dibandingkan kapal-kapal lain karena jumlah penumpangnya yang besar dan kapal pesiar cenderung berlabuh di pelabuhan yang sama secara terus menerus sehingga dampak kumulatif yang dapat mereka timbulkan pada skala lokal cukup signifikan (2). Dilansir dari CNN (3), pada tahun 2017 sebanyak 187 kunjungan dilakukan kapal pesiar ke pelabuhan di Indonesia dan diproyeksikan angka tersebut akan meningkat menjadi 372 kapal di tahun 2018. Melihat besarnya angka tersebut, penanganan sampah yang berasal dari kapal pesiar tidak akan berjalan efektif apabila hanya melalui sosialisasi. Perlu dibentuk wadah hukum sebagai pedoman penanganan sampah ini disesuaikan dengan karakteristik kapal pesiar secara khusus.
Sampah plastik berupa alat tangkap nelayan baik yang sengaja maupun tidak sengaja dibuang ke laut juga harus mendapatkan perhatian khusus. Alat tangkap yang terlepas di laut dapat mengakibatkan hewan laut terjerat dan mati serta mengganggu navigasi kapal. Sampai saat ini, belum ada peraturan yang khusus mengatur mengenai SOP penanganan alat tangkap yang dibuang ke laut. Hanya ada larangan untuk tidak membuang alat tangkap ke laut dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim. Larangan ini tidak disertai peraturan lanjutan sehingga tidak ada konsekuensi hukum apabila larangan dilanggar, tidak ada mekanisme untuk melaporkan alat tangkap yang hilang dan mekanisme pengembalian alat tangkap tersebut. Untuk itu, kami merekomendasikan Permen KKP yang direncanakan juga mengatur terkait SOP penanganan alat tangkap yang dibuang ke laut sebagai bagian dari kegiatan perikanan tangkap yang ramah lingkungan.
Di samping solusi-solusi tersebut, Pemerintah juga harus melakukan harmonisasi antara Perpres ini dengan Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Hal ini perlu dilakukan karena kedua peraturan ini akan dijadikan pedoman dalam menyusun dokumen rencana strategis oleh pemerintah pusat dan kebijakan percepatan penanganan sampah laut oleh pemerintah daerah. Harmonisasi dilakukan terkait mekanisme kerja, koordinasi, dan pencapaian target masing-masing Peraturan Presiden supaya dapat saling mendukung, bukan tumpang tindih.
Referensi:
(1) Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Penanganan Sampah Laut, Perpres No. 83 Tahun 2018, LN. 168, ps. 2 ayat (2)
(2) Copeland, Claudia, “Cruise Ship Pollution: Background, Laws and Regulations, and Key Issues,” laporan Congressional Research Service (6 Februari 2008), http://www.cep.unep.org/publications-and-resources/databases/document-database/other/cruise-ship-pollution-background-laws-and-regulations-and-key-issues.pdf/at_download/file, hlm. CRS-3 s.d. CRS-4.
(3) Anonimus, “Geliat dan Tantangan Wsata Kapal Pesiar di Indonesia,” https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180807162435-269-320276/geliat-dan-tantangan-wisata-kapal-pesiar-di-indonesia diakses tanggal 15 Februari 2019.