Jakarta (21 Maret 2019). Negara-negara ASEAN memang sudah menjadi negara pemroses sampah dan reja plastik, baik yang diimpor maupun dari sampah domestik, termasuk Indonesia. Negara-negara ASEAN selama ini menyerap 3% sampah dan reja plastik global, dan secara bersamaan berperan mengirimkan kembali 5% untuk diekspor ke pasar global.
Cina mengambil peran yang jauh lebih besar untuk menyerap sampah plastik dunia. Secara kumulatif selama 1988 – 2016, Cina menyerap 45,1% sampah dunia. Namun sejak Maret 2018 yang lalu, Pemerintah Cina membuat kebijakan untuk membatasi secara ketat impor sampah plastik mereka dengan berlakunya Kebijakan “National Sword”. Hal ini telah membuat perdagangan sampah, khususnya sampah plastik, di seluruh dunia terguncang.
“Sampah dan reja plastik yg dihasilkan pabrik kertas ada dua macam yang kami temukan di Gresik,” kata Prigi dari Ecoton. “Pertama adalah serpihan plastik bercampur kertas yang tidak bisa didaur ulang, biasanya digunakan untuk bakar tahu atau bahan bakar lainnya.. Jenis kedua adalah sampah plastik, yang bentuknya beragam. Jenisnya berupa jenis botol, sachet, kemasan makanan, personal care, serta produk rumah tangga. Masyarakat sebetulnya hanya mendapat keuntungan ekonomi sesaat, tidak bersifat jangka panjang,” tambah Prigi.
Walaupun sedari awal memang Indonesia dan beberapa negara ASEAN lain telah menjadi negara pemroses ulang sampah dan reja plastik, namun dengan pengetatan regulasi impor di Cina, beban di negara-negara ini menjadi jauh lebih tinggi secara tidak langsung. Beberapa negara ASEAN telah merespon perubahan perdagangan sampah plastik global ini dengan pembatasan impor.
Pada Juli 2018 yang lalu, pemerintah Malaysia mencabut izin impor 114 perusahaan dan telah menargetkan pelarangan impor pada 2021. Thailand juga menargetkan pelarangan impor sampah plastik akibat kenaikan drastis impor sampah plastik mereka dari Amerika sebesar 2.000% (91.505 ton) pada 2018. Vietnam pun sudah tidak lagi mengeluarkan izin baru untuk impor sampah dan reja plastik, kertas, serta logam.
“Impor sampah plastik yang terjadi di Gresik Jawa Timur merupakan kegiatan yang dilarang dan diancam pidana menurut Pasal 29 Ayat (1) Huruf b jo. Pasal 37 Ayat (1) UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Penyidik harus mengusut tindakan impor sampah plastik tersebut. Selain itu Menteri Perdagangan harus mencabut persetujuan impor terhadap importir produsen kertas yang melakukan pembiaran terhadap sampah plastik yang mereka impor. Lebih lanjut lagi, permohonan persetujuan impor harus ditinjau ulang oleh Mendag dengan mengkonsultasikannya dengan Ditjen PSLB3 KLHK.,” jelas Fajri, peneliti dari ICEL.
“Tahun depan Cina menambah daftar produk plastik yang diperketat. Malaysia dan Thailand juga menargetkan menutup pintu impor sampah plastik. Indonesia berpotensi menjadi tempat penadah scrap dari negara-negara lain,” kata Tio, Toxics Program Officer dari BaliFokus/Nexus3. “Perusahaan-perusahaan pengimpor harus bertanggung jawab sampai akhir proses dan menangani pencemaran bawaan dari kegiatan tadah dan sumbang sampah ini.”
“Beberapa bahan aditif yang digunakan dalam semua produk plastik sudah dikenali sebagai bahan kimia yang karcinogenik dan dilarang di negara-negara maju,” ujar Yuyun dari BaliFokus/Nexus3. “Mendaurulang plastik yang mengandung B3 bukan hanya mengakhiri siklus hidup plastik tetapi juga meracuni circular economy menjadi circular toxics.”
Kebijakan pengetatan impor Cina dimulai dengan berlakunya Operation Green Fence yang berjalan pada tahun 2013 selama 8 bulan, dan dilanjutkan dengan notifikasi ke World Trade Organization pada November 2017, hingga secara resmi berlaku dengan nama yang dikenal dengan National Sword pada Maret 2018 lalu. Dari sisi Indonesia, negara kita juga menjadi berdampak 124.433 ton impor pada 2013 dan 283.152 ton impor pada 2018, yang merupakan titik-titik tertinggi impor Indonesia selama 10 tahun terakhir berdasarkan data BPS dan UN Comtrade.
Pada tahun 2018, data BPS menunjukkan peningkatan impor Indonesia sebesar 141% (283.152 ton) namun dengan angka ekspor yang menurun 48% (98.450 ton). Angka ini menandakan ada 184.702 ton sampah yang masih ada di Indonesia, di luar beban pengelolaan sampah domestik kita di negara sendiri.
Transaksi ekspor dan impor di Indonesia memang beroperasi dari entitas industri ke industri (business-to-business), namun di lapangan ditemukan praktik dari beberapa perusahaan yang kembali menjual atau memberikan sampah dan reja plastik mereka kepada pelapak luar yang notabene di luar sistem industri mereka.
Pada United Nation Environmental Assembly ke 4 (UNEA 4) yang baru berlangsung pekan lalu, Amerika Serikat memimpin upaya menghalangi terwujudnya resolusi yang memandatkan pengurangan produksi dan konsumsi plastik dengan batas waktu yang jelas. Mereka menyatakan bahwa produksi plastik yang semakin tinggi bukanlah masalah, yang penting adalah memperbaiki pengelolaan sampah (waste management). “Hal ini menjadi sebuah ironi, mengingat Amerika sebetulnya secara akumulatif selama 1988-2016 merupakan negara kedua terbanyak yang mengekspor2 sampah dan reja plastik secara global,” ujar David Sutasurya dari YPBB.
————
Rekomendasi AZWI untuk Pemerintah Republik Indonesia:
Meninjau kembali kebijakan dan regulasi mengenai importasi sampah dan skrap, khususnya plastik dan kertas;Membatasi bahan tercampur/kontaminan pada sampah dan skrap plastik/kertas yang diimpor hingga kurang dari 0.5%;Mengembangkan sistem yang memampukan dan insentif untuk tingkatkan prosentase daurulang dari sampah di dalam negeri;Melarang penggunaan bahan-bahan B3 sebagai aditif plastik dan saat mendaurulang plastik;Mengevaluasi kembali perusahaan2 yang memiliki ijin impor plastik dan paper scrap apakah sesuai perijinan yang diberikan dan praktek mereka tidak mencemari lingkungan.
.