Semakin bertambahnya volume penggunaan plastik, maka semakin banyak pula sampah plastik yang dihasilkan. Sampah plastik telah menjadi permasalahan sejak mulai diproduksi besar-besaran pada tahun 1950.
Anggota Dewan Pengarah Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) Daru Setyorini mengungkapkan, sejak tahun 1950 sampai 2015 terdapat sebanyak 8300 juta metrik ton plastik diproduksi dalam skala besar. Ada sebanyak 59 persen atau sekitar 4900 juta metrik ton dari produksi plastik menjadi sampah, dan hanya 9,6 persen atau setara dengan 600 juta metrik ton plastik yang didaur ulang. Hal Ini membuktikan bahwa sebagian besar plastik yang diproduksi menjadi sampah di sekitar kita.
“Jika kita lihat, biji plastik daur ulang tidak kompetitif, harganya hampir dua kali lebih mahal dari bijih plastik baru, ini yang menyebabkan negara maju tidak mendaur ulang sampah mereka sendiri, karena biayanya sangat tinggi,” ujar Daru Setyorini dalam sesi pembuka Webinar ‘Urgensi Forum Global Mengatasi Polusi Sampah Plastik’, Selasa (15/12/2020).
Daru menjelaskan, hal inilah yang membuat sebagian besar negara maju mengekspor sampah plastik mereka ke negara lain, terutama negara berkembang seperti Indonesia atau negara asia tenggara lainnya.
Sementara itu, First Secretary Trade and Sustainable Development Negotiator Kementerian Luar Negeri (Kemlu RI) Mardhiah Ridha mengatakan, Indonesia menjadi negara paling tercemar nomor satu di Asia Tenggara dan nomor dua setelah China di mata dunia. Hal ini dibuktikan dengan rusaknya ekosistem sungai di Indonesia, diantaranya Sungai Brantas, Serayu, Bengawan Solo dan Citarum.
“Tentu ini menambah catatan penting bagi negara Indonesia dalam menangani sampah plastik. Karena Indonesia adalah negara maritim yang mayoritas masyarakat bergantung dengan hasil laut,” kata Mardhi.
Meski demikian, Mardhi menjelaskan saat ini sudah ada beberapa upaya yang telah dilakukan Indonesia untuk mengurangi sampah plastik khususnya dalam 40 tahun terakhir. Diantaranya ada dalam tiga mekanisme, yakni mekanisme bilateral, regional, dan internasional.
“Ada konvensi bansel, United Nations Environment Assembly (UNEA), Konvensi Stockholm, Rotterdam, Participatory country for MARPOL, Protocol on Liability and Compensation, Key player for EAS on Marine Plastic Debris, Rotterdam,” jelasnya.
“Gak cuma itu, ada juga Experts in UNEP Marine Litter, The International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL) Annex I, IV, and V, The ASEAN Framework of Action on Marine Debris, dan UNEP Marine Litter,” tambahnya.
Sementara itu, Kasubdit Barang dan Kemasan KLHK, Ujang Solihin Sidik memaparkan salah satu usaha dari pemerintah mengatasi sampah plastik sebagaimana mandat konvensi internasional tertera dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 Tentang Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut. Dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) tersebut, pemerintah menargetkan pengurangan sampah plastik laut hingga 70 persen pada tahun 2025.
Mengenai masalah impor sampah yang masih dilakukan Indonesia, hal tersebut berkaitan dengan kurangnya bahan baku. Pemerintah berkomitmen untuk memperketat proses masuknya sampah impor tersebut.
“Saat ini telah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pelaksanaan Impor Limbah Non B3 untuk bahan baku industri antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, dan Kapolri. Melalui SKB ini ditetapkan batas kontaminan sampah impor sebesar 2,5 persen,” terang Ujang Solihin.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL, Fajri Fadillah menjelaskan bahwa pengaturan tentang pengendalian sampah plastik sudah tertera dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Melalui Permen tersebut, produsen diwajibkan membatasi penjualan plastik dari produksi yang mereka hasilkan dan melakukan penarikan kembali untuk didaur ulang dan menjadi bahan baku kembali.
“Plastik menjadi sebuah masalah global bukan hanya setelah menjadi limbah, tetapi juga sejak plastik itu diproduksi melalui proses ekstraksi. Produsen secara perlahan harus melakukan pembatasan dan atau pengurangan peredaran plastik itu sendiri,” Jelas Fajri.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu berharap kepada aktor global terutama pemerintah dan kelompok swasta untuk membangun komitmen bersama secara serius dan ambisius atasi masalah sampah plastik seperti mandat konvensi internasional. Dari data yang dimiliki ICEL, usaha dan komitmen global terkini, termasuk komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi pencemaran plastik masih Business as Usual. Usaha dan komitmen BAU diperkirakan hanya akan mengurangi pencemaran plastik ke sumber air dan daratan sebanyak 6,6 persen hingga 7,7 persen pada 2040. Angka tersebut tentu sangat kecil jika dibandingkan dengan timbulan sampah yang terus naik setiap tahun.
“Kebijakan pengurangan plastik seperti seharusnya mendorong perubahan perilaku konsumen. Perbedaan jenis plastik yang berbahaya dan yang masih bisa didaur ulang perlu dikaji ulang,” pungkasnya. (Kia)