Jum’at, 11 Desember 2020– Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) menggelar webinar yang bertujuan mengedukasi dan mensosialisasikan permasalahan, dampak, dan solusi dari masalah sampah plastik. Webinar ini mengundang tiga narasumber dengan sub tema berbeda. Pertama, Muhammad Fadhil Ihsan Pratama (Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ciputra) mempresentasikan materi “Perangi Bahaya Plastik Sekali Pakai dalam Kesehatan”. Kedua, Aldi Nur Hartanto (Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ciputra) menyajikan materi “Mewaspadai Triclosan dalam Hand Sanitizer”. Ketiga, Tonis Afrianto, Koordinator Zero Waste Cities ECOTON memaparkan materi “Mengenal Zero Waste Cities”.
Menurut survei BEER (Better Reduce for Better Earth) ditemukan fakta kantong plastik, sedotan plastik, kemasan makanan dan minuman berbotol plastik adalah jenis plastik yang paling sering digunakan. Setiap orang rata-rata menggunakan 3 jenis plastik sekali pakai setiap hari. The Conversation menyebutkan akan ada lebih dari 2,2 miliar ton sampah plastik yang dibakar pada tahun 2040, lebih dari 850 juta ton dibuang ke darat dan 480 juta ton di sungai dan laut. United Nation Environment Programme pada laporan tahun 2018 menyebut sampah laut merugikan lebih dari 600 spesies laut. Temuan tersebut menunjukkan sampah plastik memberikan kerugian bagi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem.
Tonis Afrianto menyampaikan bahwa Indonesia sedang mengalami darurat sampah. Hal tersebut dilihat dari berbagai temuan masalah seperti 72 persen ikan di Sungai Brantas tercemar mikroplastik. Masuknya Indonesia kedalam negara penyumbang sampah terbesar di lautan urutan kedua berdasar riset World Bank. Hingga terakhir pernah terjadinya bencana longsor di TPA Leuwigajah pada tahun 2005 yang mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia. Tragedi longsor tersebut menjadi potret suram dari buruknya penanganan sampah di Indonesia.
Banyak orang tidak menyadari bahwa dari timbulan sampah terutama plastik menjadi masalah yang sulit ditangani. Salah satu masalahnya seperti sampah plastik yang dapat memproduksi partikel-partikel plastik kecil atau mikro plastik yang tidak terlihat namun membahayakan.
“Mikroplastik akan memasuki tubuh kita melewati minuman atau makanan yang kita konsumsi atau udara yang kita hirup. Semua plastik mengandung reaktif spesies oksigen, atau radikal bebas, yang merupakan molekul tidak stabil itu mengandung oksigen dan mudah bereaksi dengan molekul lain di dalam sel. Penumpukan radikal bebas dalam sel dapat menyebabkan kerusakan pada DNA, RNA, dan protein, dan dapat mengarah ke sel kematian” ungkap Fadhil Ihsan.
Menurut Fadhil, masalah lain dalam persoalan sampah adalah pembakaran sampah. Pembakaran sampah terutama plastik akan menghasilkan zat beracun, fly ash dan bottom ash di tumpukan yang terbakar. Zat beracun dioksin dapat menempuh jarak jauh dan mengendap di tanah dan air, akhirnya memasuki tubuh manusia setelah terakumulasi di jaringan tumbuhan dan hewan di rantai makanan yang dapat mengakibatkan kanker, kecacatan kelahiran, gangguan hati, paru-paru,dan memicu berbagai macam penyakit.
“Pada masa pandemi, seluruh masyarakat dunia mengalami kekhawatiran terinfeksi covid-19. Karena kekhawatiran tersebut, dilakukanlah protokol kesehatan seperti mencuci tangan dan menggunakan hand sanitizer secara rutin. Kebiasaan tersebut ternyata menimbulkan isu baru. Perlu kita ketahui, hand sanitizer dan sabun cuci tangan berpotensi mengandung senyawa kimia dan bahan yang tidak ramah lingkungan. Ada temuan beberapa produk sabun mengandung mikroplastik baik dari bulir yang terdapat didalam sabun itu sendiri atau wadahnya. Sementara sebagian hand sanitizer yang beredar sebetulnya tidak seutuhnya aman bagi kesehatan karena mengandung triclosan.
Aldi Nur Hartanto menyebutkan triclosan yang terkandung di sabun dan pasta gigi dapat memberi efek samping seperti kulit menjadi super sensitif dan kering, gangguan sistem endokrin tubuh, gangguan hormon, dan gangguan fungsi otot.
Triclosan ini tidak hanya membahayakan manusia tapi juga membahayakan lingkungan karena limbah triclosan yang terbawa oleh air akan bercampur dengan tanah dan lingkungan air alami. Limbah triclosan ini berbahaya karena tidak dapat terurai selama berbulan-bulan bahkan hingga tahunan. Bahan kimia dari senyawa ini terdiri dari struktur cincin benzena yang terklorinasi, sehingga membuatnya sangat sulit untuk dipecah atau terurai. Selain itu, kedua senyawa ini juga menolak air atau hidrofobik dan cenderung menempel pada partikel, sehingga mengakibatkan penurunan ketersediaan proses dan merusak fasilitas transportasi jangka panjang dalam air dan udara Bahkan sebuah studi menemukan bahwa akumulasi triclosan di air menyebabkan pencemaran di pantai yang akhirnya mengancam kehidupan lumba-lumba.
Solusi Mengatasi Sampah Plastik
Selain paparan dari Fadhil dan Aldi yang berfokus pada masalah sampah dan kesehatan serta potensi bahaya mikroplastik dan bahan kimia dalam sabun dan hand sanitizer. Webinar ini juga membahas upaya yang bisa dilakukan dalam mengatasi masalah dan dampak sampah plastik. Bagian ketiga dengan sub tema mengatasi timbulan plastik disampaikan oleh Tonis Afrianto.
Ada lima isu utama dalam pengelolaan sampah yang ada di Indonesia. Pertama, tingkat kapasitas pengelolaan sampah pemerintah daerah masih rendah. Indeks tingkat pelayanan nasional memang meningkat dari 63,70% pada 2015 menjadi 71,59% pada 2018, namun pengelolaan sampah yang baik dan benar hanya 32%, karena operasional TPA 55,56% masih merupakan pembuangan terbuka (open dumping). Cakupan pelayanan pengangkutan sebagian besar kab/kota dibawah 50%. Kedua, tingginya angka ketidakpedulian masyarakat terhadap sampah yang mencapai 72 % berdasarkan hasil survei BPS pada tahun 2018. Ketiga, peningkatan drastis komposisi sampah dari jenis plastik. Pada 1995, komposisi sampah plastik 9%, meningkat menjadi 11% di 2005, dan pada 2016 sebesar 16%. Keempat, peran dan tanggung jawab produsen (EPR) yang belum menjadi kewajiban. Kelima, penegakan hukum belum berjalan secara optimal.
Menurut Tonis, ada tiga hal yang bisa diterapkan dalam membantu mengatasi Indonesia darurat sampah yaitu penerapan Zero Waste Cities (tingkat daerah/kota), Zero Waste Lifestyle (diri sendiri), dan Zero Waste School/Office (lingkungan sekolah/kerja).Tonis menekankan ZWC sebagai upaya kolektif yang bisa dilakukan.
Zero Waste Cities merupakan jawaban atau solusi dari permasalahan pengolahan sampah yang ada di Indonesia, ZWC ini telah dilakukan di beberapa negara seperti India, Philippines, dan Shanghai-China. Berikut adalah alasan mengapa Zero Waste Cities menjadi solusi permasalahan sampah Plastik yang baik:
- Sistem pengolahan sampah yang baik dengan mempertimbangan aspek keamanan, kesehatan dan berkelanjutan.
- Zero Waste Cities mengutamakan sistem PEMILAHAN SAMPAH SEJAK DARI RUMAH/SEKOLAH/USER
- Melakukan Pemilahan sampah dapat meringankan beban petugas sampah, meningkatkan ekonomi, memaksimalkan pengolahan sampah.
- Zero Waste Cities menolak sistem pengolahan sampah dengan cara dibakar (tungku, insinerator).
Zero Waste Cities sudah diberlakukan di beberapa daerah di Indonesia seperti Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kota Denpasar, dan Kabupaten Gresik. Namun pemerintah baik pusat atau daerah perlu menjadikan ZWC sebagai peraturan dalam pengolahan sampah di seluruh penjuru Indonesia karena tidak cukup hanya di beberapa daerah saja.
“sampah tidak berakhir jika tidak diimbangi dengan pengurangan, dari pada kita menerima bahaya dari sampah lebih baik kita mengurangi. Zero Waste Cities adalah salah satu upaya pengurangan timbulan sampah yang patut diadaptasi di berbagai daerah” tutup Tonis. (Van)