Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sampah adalah ancaman bagi lingkungan hidup dan peradaban manusia. Selain mencemari lingkungan, sampah juga menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar yang berdampak pada terjadinya krisis iklim. Saat ini sampah telah menjadi permasalahan di berbagai tempat seperti pemukiman, perkantoran, pusat perbelanjaan, sungai, dan laut serta kawasan lembaga pendidikan seperti sekolah dan kampus.
Kampus adalah salah satu institusi penyumbang sampah plastik yang cukup besar. Hal tersebut karena kampus menjadi tempat bagi ratusan hingga ribuan civitas akademik melaksanakan kegiatan. Meski belum ditemukan data spesifik volume sampah, terutama sampah plastik dari kampus di Indonesia, namun diperkirakan angka timbulan sampah di kampus cukup besar.
Timbulan sampah plastik di kawasan perguruan tinggi mengundang keprihatinan mahasiswa dan civitas akademik dari berbagai kampus untuk memulai gerakan bebas plastik. Salah satu inisiator gerakan tersebut yaitu Thara Bening Sandrina. Thara merupakan Kapten dari River Warrior Indonesia yang berfokus pada kampanye melawan cemaran sampah di sungai.
“Sungai sudah sangat tercemar, dari data yang dikumpulkan Ecoton dalam river clean up 2019 di Surabaya, berdasar seluruh sampah yang dikumpulkan, sebanyak 47 persen sampah popok, 12 persen kemasan sachet, 11 persen styrofoam, dan 10 persen kresek. Inilah yang melatarbelakangi River Warrior Indonesia bergerak memerangi sampah plastik,” ujar Thara dalam Webinar ‘Perjalanan Kampus untuk merdeka dari Plastik Sekali Pakai’, Sabtu (19/12/2020).
Mahasiswi yang pernah menyurati Bupati Gresik untuk melaporkan timbulan sampah di sungai itu menuturkan, kesadaran masyarakat saat ini masih minim. Apalagi khususnya di Surabaya, masyarakat masih malas memilah sampah dan banyak yang percaya terhadap mitos. Mitos yang dimaksud adalah larangan membakar popok bayi karena takut bayi sakit.
“Makanya banyak yang membuang langsung ke sungai, karena mitosnya nanti bayi jadi adem. Ini masih menjadi polemik karena masih banyak yang melakukannya,” tuturnya.
Thara menjelaskan saat ini langkah yang telah ditempuh bersama teman-teman River Warrior Indonesia adalah dengan kampanye online seperti podcast, IG live, dan petisi. Sebelumnya mereka juga melaksanakan aksi terhadap produsen kemasan makanan dan minuman, susur sungai dan lain sebagainya.
Langkah lain yang akan dilakukan River Warrior Indonesia adalah mendirikan zero waste campus. Mereka akan mendorong pimpinan perguruan tinggi mengeluarkan kebijakan larangan plastik sekali pakai khususnya kresek, botol plastik, sedotan, styrofoam, dan mika.
“Kami juga ingin seminar, event dan rapat kampus itu bebas plastik, lalu penyediaan Refill Station, kantin bebas plastik dan pendidikan pengelolaan sampah,” jelasnya.
Sementara itu, hal serupa juga telah dilakukan oleh Universitas Wijaya Kusuma Surabaya lewat program Keluhuran Jiwa Berbenah Lingkungan (Keji Beling). Dengan program tersebut, para mahasiswa pada kegiatan OSPEK tidak boleh membawa plastik dan harus membawa tumbler. Mereka juga diberi tas dari kampus, tempat makan sendiri yang bisa meminimalkan penggunaan plastik.
Tak hanya itu, di tingkat fakultas juga tersedia tempat pilah sampah dan kepada para mahasiswa juga wajib berperilaku bersih dan sehat melalui ruang bebas rokok, senam rutin, dan kebersihan kampus. Pendampingan fasilitas inkubasi kegiatan mandiri ibu-ibu dengan produk ramah lingkungan, bebas limbah, dan minim plastik. Sampah organik diolah oleh fakultas pertanian menjadi pupuk cair.
“Lalu di fakultas kedokteran juga mengolah limbah minyak menjadi sabun, berbagai aktivitas di kampus menerapkan pengurangan plastik juga peserta diwajibkan membawa tumbler, panitia menyediakan gelas untuk minum, makanan yang tidak menggunakan plastik jadi siap untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai,” kata Wakil Rektor Bidang Kerjasama Universitas Wijaya Kusuma Endang Noerhartati.
Selain kampus Wijaya Kusuma Surabaya, Universitas Udayana Bali juga turut berpartisipasi dalam pengurangan dan penanganan sampah plastik. Hal ini dibuktikan dengan adanya program 3R (reduce, reuse, recycle) dan Bank Sampah Kamsud Asri.
“Banyak yang menganggap bahwa menjadi zero waste itu sulit. Tapi sebenarnya Kesulitan itu bukan karena tidak ada teknologi, tetapi karena tidak ada kemauan. Oleh karenanya kami (Kampus Udayana) berkomitmen untuk membantu pengelolaan lingkungan yang baik,” ungkap Yenni Ciawi selaku dosen kampus Udayana.
Untuk sistem daur ulang, Yeni menjelaskan bahwa Kampus Udayana menerapkan dua sistem daur ulang. Pertama, sampah organik diolah menjadi kompos, maggot, eco enzyme, bioenergi, atau makanan ternak. Kedua, sampah anorganik di setor ke bank sampah.
“Ada juga himbauan untuk memakai barang-barang ramah lingkungan serta kegiatan manajemen pengumpulan sampah di tiap-tiap fakultas,” jelasnya.
Sementara itu, Koordinator Kampus Bebas Plastik dari Break Free From Plastic (BFFP) Tiara Samson, mengapresiasi kinerja para civitas akademik kampus di Indonesia dalam pengurangan dan penanganan sampah plastik. Tiara menyebutkan bahwa plastik sekali pakai memang merupakan bahaya besar yang kita rasakan selama ini.
Lewat program kampus bebas plastik sekolah dan universitas diharapkan mampu menjadi agen perubahan dalam membantu mengembangkan pengetahuan pemuda untuk mengurangi sampah plastik. Sebab, sejatinya mahasiswa merupakan bagian dari solusi bukan problem.
“Lalu apa selanjutnya? yakni Individual action plan. Dimana kita melanjutkan beberapa program yang sudah ada seperti Algalita Youth Summit dan brand audit. Mahasiswa bersama-bersama bergerak untuk kurangi plastik,” papar Tiara.
Selain itu, Tiara juga menyebutkan ada Zero waste youth converge UFSC Sem Plastico, Florianópolis, Brazil, yakni mendorong semua orang untuk memulai kampus bebas plastik, dengan bekerjasama bersama 3200 sekolah sebagai bagian dari gerakan.
“Terakhir, plastic free manual, untuk pendidikan dan pembukaan kembali setelah COVID 19, kami berharap bisa bekerja sama dengan kampus-kampus di Indonesia untuk mewujudkan kampus bebas dari sampah plastik,” pungkasnya. (Kia)