Meningkatnya tingkat konsumsi manusia berdampak pada volume peningkatan sampah yang ada di lingkungan. Merujuk data Sustainable Waste Indonesia tahun 2017, Indonesia diperkirakan menghasilkan 64 juta ton sampah setiap tahunnya.
Dari angka tersebut, baru 7 persen yang didaur ulang, 69 persen menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA) dan 24 persen sisanya dibuang sembarangan dan mencemari lingkungan sehingga dikategorikan sebagai illegal dumping.
Penanganan terhadap sampah tampaknya belum maksimal. Sebab masih terjadi kesalahan konsep dalam cara penanganan sampah. Seperti misalnya pembakaran sampah di desa maupun kota yang seringkali ditemukan. Belum lagi tumpukan sampah yang dikirim ke TPA dalam kondisi dicampur, menambah rentetan panjang masalah sampah di Indonesia.
Menurut Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Catur Yudha Hariyani, permasalahan tersebut terjadi karena pengelolaan sampah yang tidak benar dalam pelaksanaannya. Sebab, hirarki pengelolaan sampah seharusnya seperti piramida terbalik, dimana pencegahan sampah adalah yang utama.
“Penanganan sampah yang tidak benar hanya memindahkan masalah. Karena dampak sampah yang tidak terkelola itu dapat menimbulkan bau tak sedap, menimbulkan berbagai penyakit seperti penyakit kulit, diare, bahkan sampai kanker,” ujar Catur dalam Webinar Waste Management yang diselenggarakan oleh AIESEC Surabaya dan Aliansi Zero Waste Indonesia, Minggu (17/1/2020).
Dari segi lingkungan, Catur menjelaskan bahwa sampah juga dapat mencemari tanah, air, dan udara. Hal ini terjadi karena pembuangan sampah secara sembarangan, menimbulkan banjir, menghilangkan mikroorganisme dalam tanah, menghasilkan emisi gas rumah kaca, mengganggu ekosistem, kehidupan sosial, dan perekonomian masyarakat.
“Piramida pengelolaan sampah perlu dibalik, sehingga pencegahan menjadi urutan pertama. Seperti apa yang kami lakukan di AZWI, kami memiliki program zero waste cities. Jadi kita tidak menyelesaikannya hanya di TPA, namun juga dimulai dari sumbernya,” jelasnya.
Catur menegaskan bahwa sistem pengelolaan End Of Pipe tak lagi dapat digunakan sebab kebutuhan lahan akan terus meningkat seiring dengan berlanjutnya sistem tersebut. Tentunya, ini juga akan berpengaruh pada kelangkaan lahan tempat pemrosesan akhir (TPA). Pada tahun 2021 ini, ada beberapa TPA yang terancam ditutup karena kapasitasnya terlampaui.
“Zero waste cities mengajarkan kita bagaimana mengolah sampah sedekat mungkin dengan sumber. Dengan konsep desentralisasi penanganan sampah terpilah, prioritas penyediaan sarana pengelolaan sampah ada di dalam rumah, kawasan dan juga ini harus bekerjasama dengan pihak ketiga yakni pemerintah setempat,” tuturnya.
“Kota-kota yang menuju Zero Waste akan memastikan bahwa semua sampah dikumpulkan, bahan organik dikomposkan, bahan-bahan daur ulang dipulihkan dan tidak dikirim ke TPA,” tambah Catur.
Lebih lanjut Catur mengungkapkan bahwa menerapkan pengelolaan sampah dari sumber bukan hal yang mudah. Sebab, tantangan yang dihadapi sangat bervariasi, mulai dari masyarakat yang minim kesadaran hingga kurangnya dukungan pemerintah setempat.
“Kebijakan pemerintah untuk pemilahan sampah dari rumah belum diwajibkan. belum lagi budaya belanja produk instan di masyarakat masih tinggi, dan gerakan 3R belum membudaya di kalangan anak muda dan masyarakat umum. Semoga kedepannya kita bisa berkomitmen untuk penanganan sampah yang lebih baik,” pungkasnya. (Kia)