Penulis: Muhammad Nadhif Kurnia
Hampir setiap tahun, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia mengalami peningkatan. Gas rumah kaca merupakan gas yang terperangkap di atmosfer bumi. Beberapa jenis gas yang termasuk dalam gas rumah kaca adalah karbondioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4), dan freon (SF6, HFC, dan PFC). Secara umum, gas rumah kaca merupakan gas yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia dan industri seperti produksi listrik (energi), pertambangan, pembukaan hutan, dan pengelolaan limbah atau sampah.
Emisi gas rumah kaca dari pengelolaan limbah
Pengelolaan sampah/limbah (waste management) merupakan salah satu kontributor terbesar GRK secara global. Berdasarkan laporan United Nations Environment Programme (UNEP) yang berjudul Waste and Climate Change, emisi metana dari landfill atau Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan salah satu penyebab utama terhadap dampak iklim di sektor sampah. Pada bagian lain laporan, mikroba yang menguraikan sampah organik, menghasilkan metana (kurang lebih 50%), CO2 (kurang lebih 50%), dan gas lainnya (<1%).
Berdasarkan laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) pada 2018, secara nasional, sektor yang tertinggi menghasilkan GRK adalah sektor kehutanan sebesar 44 persen, kemudian diikuti oleh sektor energi sebesar 36 persen, limbah sebesar 8 persen, pertanian sebesar 8 persen, dan IPPU atau Industri sebesar 4 persen. Kontribusi emisi dari pengelolaan limbah/sampah menempati urutan empat besar dengan total emisi sebesar 127 ribu Gg CO2e. Angka ini cukup tinggi dan akan semakin naik setiap tahunnya jika tidak ada upaya serius mengatasi peningkatan emisi dari sektor sampah/limbah.
Berdasarkan IPCC guideline 2006, sumber-sumber GRK dalam waste management dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yakni: (1) Pengelolaan limbah padat domestik di TPA/landfill, pengelolaan sampah secara biologis, open burning dan insinerasi; (2) Pengelolaan limbah cair domestik; (3) Pengelolaan limbah cair industri, dan (4) Pengelolaan sampah industri.
Pengelolaan sampah sejak mulai dari pasca konsumsi, pemilahan, pengumpulan, pengangkutan hingga pemrosesan akhir di TPA menghasilkan emisi gas rumah kaca.
Gambar 1. Emisi Gas Rumah Kaca dari proses pengelolaan sampah. Sumber : UNEP (2010)
Tiap tahun, GRK yang berasal dari landfill secara global terus mengalami peningkatan. Peningkatan ini didorong oleh tingkat produksi dan konsumsi negara di dunia yang terus mengalami perkembangan dalam rangka mencapai “standar kehidupan” yang lebih tinggi (UNEP, 2010). Berdasarkan perhitungan Monni et al (Monni, 2006 dalam UNEP, 2010) emisi dari landfill akan mencapai 2.900 MtCO2-e atau lebih dari 4 kali lipat dari total emisi di tahun 2010.
Sumber Data | 1990 | 1995 | 2000 | 2005 | 2010 | 2015 | 2020 | 2030 | 2050 |
US EPA (2006) | 760 | 770 | 730 | 750 | 760 | 790 | 820 | ||
Monni et al (2006) | 340 | 400 | 450 | 520 | 640 | 800 | 1000 | 1500 | 2900 |
Tabel Tabel 1. Emisi Gas Rumah Kaca dari landfill dihitung oleh US EPA (2006) dan Monni et al (2006) (dalam MtCO2-e). Sumber : UNEP (2010)
Selain landfill, pengelolaan sampah lain yang menghasilkan emisi adalah pengelolaan sampah berbasis termal. Pengelolaan sampah model meliputi pembakaran sampah secara terbuka, penggunaan incinerator, pirolisis, dan Refuse-Derived Fuel (RDF). Namun berdasarkan data UNEP, emisi global yang ditimbulkan dari pengelolaan sampah berbasis termal sebesar 40 MtCO2-e, jauh lebih kecil daripada emisi yang ditimbulkan dari landfill.
Sementara model pengelolaan sampah lain seperti mechanical biological treatment, composting and anaerobic digestion juga menimbulkan emisi. Akan tetapi jika dibandingkan dengan emisi dari landfill dan pengelolaan sampah berbasis termal, ketiga model pengelolaan sampah terakhir menghasilkan emisi yang sangat rendah dan memiliki keuntungan pada dampak lingkungan yang lebih besar (UNEP, 2010). Model pengelolaan sampah yang minim emisi adalah penggunaan kembali.
Menekan emisi sektor sampah dari industri hulu
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada 2020, sampah plastik di Indonesia merupakan salah satu kontributor timbulan sampah terbesar kedua di bawah sampah organik dengan persentase sebesar 17 persen dari seluruh sampah yang ada di Indonesia. Proporsi sampah plastik ini naik dari data sebelumnya yang berada pada kisaran dibawah 10 persen. Masalah utama sampah, terutama plastik yang menjadi kontributor utama emisi sektor sampah/limbah tidak hanya terjadi di hilir (pengelolaan sampah), namun terjadi juga di hulu (produksi plastik).
Apabila kita melihat ke hulu, bahan baku untuk membuat plastik adalah minyak bumi. Perusahaan-perusahaan minyak global seperti Chevron, Exxon, Shell, dll, merupakan perusahaan-perusahaan yang berperan dalam produksi plastik dari produk turunan kilang minyak mereka. Mirisnya, perusahaan-perusahaan raksasa minyak dan gas bumi produsen bahan baku ini adalah penghasil emisi terbesar di dunia. Pasca dari ekstraksi migas tersebut, bahan baku plastik seperti olefin diolah oleh industri petrokimia menjadi produk turunan lain seperti berbagai jenis plastik.
Seperti halnya perusahaan minyak melakukan metode fracking untuk menciptakan bahan bakar minyak, perusahaan minyak menggunakan metode yang sama untuk memproduksi plastik. Fracking merupakan aktivitas mengekstraksi minyak, gas bumi, atau panas bumi, di kilang-kilang minyak setelah pengeboran batuan dilakukan.
Menurut Brata, et. al (2008), jenis gas tertinggi yang dihasilkan pada saat pengolahan minyak bumi adalah emisi yang terdiri dari karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), Dinitro oksida (N2O), serta beberapa gas hidrokarbon. Pada 2016, total emisi yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak bumi di kilang minyak mencapai 1,9 Juta Ton CO2-eq.
Saat ini laporan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang seperti pemerintah maupun laporan lembaga internasional, hanya melihat emisi yang dihasilkan ketika plastik tersebut menjadi limbah atau sampah. Padahal, pada saat dilakukan produksi, plastik sudah menimbulkan masalah bagi lingkungan. Emisi dari sektor limbah atau sampah memang tidak sebesar dari sektor energi, kehutanan dan transportasi. Akan tetapi, kontribusi emisi dari sektor sampah atau limbah berperan penting mempercepat krisis iklim. Strategi penurunan emisi sektor sampah atau limbah hingga pengurangan sampah harus berani menyasar industri hulu seperti korporasi minyak dan gas bumi serta industri petrokimia. (ed-gfr)
Profil Penulis
Muhammad Nadhif Kurnia merupakan Menteri Sosial dan Lingkungan BEM FISIP Universitas Brawijaya Periode 2021. Ia pernah magang di WALHI Nasional dengan mengambil fokus kajian kebijakan pengelolaan sampah Nasional.
Referensi
Brata, Antarif Kusuma, et. al. 2018. Analisis Penilaian Daur Hidup Produksi Bensin dan Diesel pada Tahap Pengolahan di Kilang Minyak dengan Konfigurasi Hydroskimming. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Vol. 8. No. 3.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2012. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2019. Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, dan Verifikasi (MPV).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2020. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional.
United Nation Environment Programme (UNEP). 2010. Waste and Climate Change.