Permasalahan keamanan kemasan pangan selama ini belum diperhatikan dan masih jarang sekali diperbincangkan di publik. Nyatanya, banyak bahan kimia beracun yang juga digunakan dalam pembuatan kemasan makanan terutama kemasan plastik. Seperti zat tambahan yang digunakan dengan alasan fleksibilitas, pewarnaan, ketahanan terhadap panas atau sinar matahari. Hal ini bukan hanya berpengaruh pada pencemaran lingkungan namun juga berbahaya bagi kesehatan manusia.
Direktur Program Gita Pertiwi, Titik Eka Sasanti mengatakan dalam konteks mutu dan keamanan pangan, seharusnya kemasan makanan menjadi poin penting. Sebab, banyak istilah senyawa kimia berbahaya dalam kemasan pangan yang tidak dipublikasikan. Titik menilai produsen pangan hanya berlomba-lomba membuat kemasan pangan semenarik mungkin tanpa mengindahkan keamanan dari kemasan.
“Banyak istilah kimia yang ada dalam kemasan pangan tidak familiar untuk orang umum. Sehingga pasti tidak akan tahu, karena jarang terpublikasi khususnya kepada UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Oleh karenanya, ini perlu menjadi perhatian khusus bersama,” ujar Titik dalam Diskusi Santai memperingati Hari Keamanan Pangan Sedunia yang digelar Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) dengan tajuk ‘Bahan Kimia Beracun dalam Kemasan Makanan, Masalah Baru?’ Senin (7/6/2021).
Titik mengatakan ada dua regulasi terkait kemasan pangan. Pertama, UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 82 ayat (1) tertuang bahan kemasan pangan yang tidak membahayakan kesehatan manusia dan tidak melepaskan cemaran yang membahayakan kesehatan manusia. Kedua, peraturan BPOM No. 20/2019 tentang Kemasan Pangan. Pada peraturan tersebut zat kontak pangan dilarang digunakan sebagai kemasan pangan.
Ada lima kategori zat kontak pangan yang dilarang dalam Peraturan BPOM tersebut. Pertama, zat kontak kemasan plastik seperti pewarna, penstabil, pemlastik, pengisi, perekat, curing agent, antioksidan, pensanitasi. Kedua, tinta yang tercetak langsung pada kemasan seperti pewarna. penstabil, dan pelarut). Ketiga, zat kontak pada pangan logam. Keempat, kontak pangan dalam kemasan karet. Terakhir, zat kontak pada kemasan pangan gelas.
“Meskipun sudah ada regulasi, kami tetap menemukan fakta menarik di lapangan seperti koran jadi alas gorengan, kertas minyak jadi pembungkus makanan, ini menjadi idola di masyarakat karena bahan ini yang mudah diakses dan murah harganya. Padahal ini mengandung bahan kimia beracun yang berbahaya bagi masyarakat,” jelasnya.
Titik memaparkan kemasan makanan tersebut mengandung Pb (timbal) yang dapat menjadi pemicu gangguan saluran pernapasan, sistem pencernaan, sistem peredaran darah, ginjal, hati, otak, saraf, alat reproduksi, dan tulang. Tak hanya itu, tinta yang ada dalam koran juga menjadi pemicu kanker.
“Sebenarnya keamanan pangan itu tidak hanya soal pencemaran pangan fisik, kimia, biologi, tetapi di dalam kemasan sendiri banyak bahan berbahaya yang sangat mengancam keberlangsungan dan kesehatan manusia, seperti di dalam plastik yang mengandung logam beratnya, timbalnya cukup tinggi, itu menjadi salah satu pemicu timbulnya kanker, kemudian kerusakan otak, jaringan saraf dan juga saluran pencernaan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Bella Nathania yang juga menjadi pembicara dalam diskusi menyebutkan bahwa kemasan pangan terutama plastik sekali pakai juga menjadi pemicu pencemaran lingkungan terutama di lautan. Hal ini terbukti dari hasil riset Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang menyebutkan 59 persen sampah plastik yang mengalir ke Teluk Jakarta adalah styrofoam.
Tak hanya itu, Bella juga menjelaskan dari hasil Brand Audit pada tahun 2020, produk yang paling banyak ditemukan adalah kemasan makanan yakni sebesar 203,427 potongan. Dimana diantara tipe plastik yang banyak ditemukan adalah PET (Wadah minuman), PP (Wadah Makanan). Lalu pencemar terburuknya ada brand Danone, Wings Food, dan Mayora.
“Jadi ya sebenarnya pencemar terburuk adalah industri-industri yang bergerak pada bidang makanan dan minuman, inilah mengapa kemasan makanan itu penting untuk dibahas, tapi sering diabaikan,” jelasnya.
Bella menjelaskan bahwa terkait regulasi keamanan pangan, ada dua sektor yang mengatur yakni lingkungan hidup dan BPOM. Namun acap kali kedua peraturan dalam dua sektor tersebut tidak berjalan beriringan, seperti salah satunya terkait peraturan penggunaan styrofoam.
“Permen LHK (75/2019) sudah ketat tidak boleh menggunakan kemasan yang tidak bisa diurai di alam seperti styrofoam. Styrofoam itu berbahaya, menariknya di peraturan BPOM ini masih diijinkan,” lanjut Bella.
Bella juga menyoroti aturan daur ulang kemasan di Indonesia khususnya daur ulang kertas dan karton. Menurutnya masih belum ada kejelasan terkait daur ulang kedua bahan tersebut. Tak hanya itu, terkait aturan yang selama ini sudah dibuat, Bella juga menilai belum ada tindakan penegakan hukum, khususnya kepada produsen kemasan yang melanggar.
Seharusnya, kata Bella, dalam hal ini pemerintah bisa melakukan dorongan supaya produsen bisa ikut dengan aturan dengan memberikan insentif. Misalnya jika produsen tidak menggunakan styrofoam, maka produsen bisa mendapatkan insentif.
“Sejauh ini peraturan terkait pemberian insentif belum ada, hanya sanksi administrasi yang ditetapkan. Sama halnya dengan sanksi pidana, saya belum melihatnya. Apakah ada produsen dipidana karena kemasan makanan diproduksi tidak sesuai aturan?,” kata Bella.
Lebih lanjut Bella menyarankan agar pemerintah memberikan solusi jangka panjang. Seperti misalnya mekanisme insentif untuk mendorong inovasi. Hal ini juga diamini oleh Venture Builder ENVIU/Zero Waste Living Lab, Tauhid Pandji. Tauhid menilai, saat ini diperlukan inovasi ramah lingkungan untuk hidup yang berkelanjutan. Kelompok usaha bisa mengambil inisiatif untuk mencari solusi dari masalah seperti bahan kimia beracun dalam kemasan.
“Seperti yang dilakukan ENVIU/Zero Waste Living Lab yakni scaling impact, replicating, dan ideating. Tiga hal ini mencakup bagaimana bekerja sama dengan entrepreneur dan startup yang visinya menuju sosial ramah lingkungan, replikasi konsep ide dari luar, lalu menciptakan ide dari nol,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.
Sejauh ini ENVIU/Zero Waste Living Lab sudah membangun kerjasama ke beberapa pihak dan menciptakan 7 usaha guna ulang. Ketujuh usaha ini mengganti kemasan sachet, disposable cups, liquid containers, plastics bags, plastic bottle, dan food container.
“Kami juga mulai inovasi dalam order makanan online. Seperti menciptakan konsep borrow, use, return. Pelanggan bisa memesan dengan opsi kemasan alas yang circular, bisa dipakai ulang dan nanti bisa dikembalikan lagi,” tambahnya.
Tauhid berharap inovasi yang mereka ciptakan akan terus berkembang. Sehingga kedepannya akan berguna untuk masyarakat. Dia juga meminta agar solusi bisa didukung oleh berbagai pihak termasuk pemerintah dan para produsen kemasan.
“Mimpi kedepan, ini bukan lagi solusi alternatif, justru jadi hal yang mainstream, jadi ini lah kebiasaan yang seharusnya. Bisa bebas plastik dan juga mengurangi resiko terpapar bahan kimia berbahaya,” pungkasnya. (Kia)