Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun Fasilitas Pengelolaan Sampah Antara (FPSA) berskala mikro di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. FPSA di Tebet ini dikabarkan akan menggunakan teknologi insinerator dengan kapasitas pengolahan sampah mencapai 150 ton per hari.
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi menyebutkan adanya ide pembangunan proyek tersebut, jelas Pemprov DKI telah keluar dari tugas yang diamanatkan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah. Dia juga menjelaskan pengelolaan sampah dengan model pembakaran sampah ini tidak ada dalam Kebijakan dan Strategi Daerah Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jakstrada).
“Lalu kita cek dalam kegiatan strategis daerah baru, yang dianggap penting dalam Pemprov juga gak ada menggunakan teknologi ini, ini hanya alasan klise pemerintah,” ucap Bagus dalam siaran langsung instagram Aliansi Zero Waste Indonesia, Selasa (8/9/2021).
Bagus menegaskan, proyek FPSA Tebet merupakan rentetan panjang ketidakmampuan pemerintah dalam pengelolaan sampah baik di Jakarta maupun Nasional. Padahal, kata Bagus, Indonesia sudah punya produk kebijakan yang memadai tentang tata kelola sampah.
“Jika kita lihat dari karakteristik sampah, itu ada tanggung jawabnya, ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, PP Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga, dan Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen,” tegasnya.
Di sisi lain, Bagus juga menyoroti potensi kerugian finansial yang akan ditanggung dari proyek tersebut. Senada dengan Bagus, Climate and Clean Energy Campaigner GAIA Asia Pasific Yobel Novian mengungkapkan banyaknya biaya yang akan keluar di luar anggaran yang telah disepakati dalam perjanjian.
“Bukan triliunan rupiah lagi ya, itu yang triliunan hanya di atas kertas, sebenarnya banyak yang belum masuk dalam perhitungannya. Misalnya, biaya untuk decommissioning, itu kan harus ada yang ngurusin seperti ide pembongkaran aset fasilitas produksi, hingga clean up sesudah pakainya,” kata Yobel dalam acara yang sama.
Yobel juga menjelaskan, biaya membersihkan sisa-sisa abu pembakaran sampah inilah yang akan membuat anggaran insinerator menjadi mahal dan jarang dimasukkan dalam surat perjanjian pembangunan proyek.
Tak hanya mengkritik potensi kerugian anggaran pembangunan insinerator, Yobel juga menyinggung ketiadaan informasi yang cukup pada masyarakat tentang potensi dampak lingkungan dan kesehatan. Padahal, hal tersebut menjadi hal paling krusial untuk diketahui oleh masyarakat khususnya yang berada di sekitar wilayah pembangunan FPSA.
“Paling kerasa langsung di emisi yang dikeluarkan dari cerobong asap pembakaran insinerator, soalnya itu yang akan terpapar langsung ke masyarakat, lalu ada lagi yang tidak dikasih tau yakni abu sisa pembakaran. Abunya itu mau taruh di mana? kalau disimpan sementara berapa banyak? apa ada jaminan abu ini tidak bocor ke lingkungan?,” katanya.
“Padahal, abu sisa pembakaran insinerator telah disepakati dalam forum internasional sebagai sumber Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Bahkan WHO menyatakan insinerator adalah sumber polutan dioksin kedua terbesar di dunia. Dan dioksin ini nempelnya di abu (sisa pembakaran),” jelasnya.
Selanjutnya, Yobel berharap pemerintah bisa fokus berbenah. Sebab, sejatinya solusi yang aman dan terbaik sudah bertahun-tahun kita lakukan, seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai di berbagai daerah, memilah sampah dari rumah tangga hingga perluasan tanggung jawab pengurangan sampah oleh produsen
“Padahal solusinya udah ada di depan mata, masyarakat udah sorak sorai ‘ayo kita mengompos dari rumah’, sudah ada juga pembatasan plastik sekali pakai di berbagai daerah, lah ini kok masih berbelit dengan hal-hal birokratis dan menghabiskan anggaran, ayolah kita dorong terus penolakan terhadap insinerator dan dukung perubahan-perubahan positif yang berdampak baik kepada lingkungan,” pungkasnya. (Kia)