Belakangan ini, permasalahan sampah plastik mengalami eskalasi yang cukup signifikan. Manusia tidak hanya dihadapkan dengan persoalan penumpukan sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA), namun juga timbulan partikel-partikel plastik yang berukuran kecil (mikroplastik) yang mencemari lingkungan.
Pengujian mikroskopis terhadap galon sekali pakai kemasan plastik PET yang dilakukan oleh Laboratorium kimia anorganik Universitas Indonesia bersama Greenpeace memperlihatkan adanya kandungan mikroplastik dalam sampel. Pengujian ini dilakukan kepada sampel galon sekali pakai yang beredar di kawasan Jabodetabek, serta analisa terhadap sumber mata air.
“Galon sekali pakai dipilih sebagai objek penelitian, karena belum terdapat penelitian terdahulu yang spesifik merespons penggunaan galon sekali pakai,” ujar Pakar Polimer Universitas Indonesia, Agustino Zulys dalam Peluncuran Laporan Hasil Kerja Sama Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia – Greenpeace Indonesia ‘Ancaman Kontaminasi Mikroplastik dalam Galon Sekali Pakai’, Kamis (23/9/2021).
Agustino memaparkan sejumlah fakta mengejutkan dalam hasil penelitian galon sekali pakai ukuran 15 liter. Di dalamnya, terdapat sebanyak 85 juta partikel per liter atau setara dengan berat 0,2 mg/liter. Sementara kandungan mikroplastik dalam galon sekali pakai ukuran 6 liter sebanyak 95 juta partikel/liter atau setara dengan berat 5 mg/liter. Jenis mikroplastik yang ditemukan pun merupakan jenis plastik yang sama digunakan pada kemasan galon sekali pakai, yakni PET.
“Analisis karakterisasi terhadap mikroplastik yang terkandung dalam sampel menunjukkan bahwa mayoritas bentuk partikel mikroplastik adalah fragmen, dengan ukuran yang berkisar antara 2,44 hingga 63,65 μm,” paparnya.
Agustino melanjutkan, penelitian juga dilakukan terhadap dua merek air mineral yang berbeda, kemudian dibandingkan dengan air dari sumber mata air di Sentul dan Situ Gunung Sukabumi, Jawa Barat. Hasilnya, mikroplastik ditemukan di dua sampel air mineral dalam galon sekali pakai tersebut dengan ukuran berkisar antara 3,20 μm hingga 66,56 μm.
“Akan tetapi, kandungan mikroplastik dalam sumber mata air lebih sedikit dibandingkan dalam AMDK. Artinya, keberadaan mikroplastik dalam AMDK galon sekali pakai dapat berasal dari degradasi plastik kemasan itu sendiri,” lanjutnya.
Estimasi Paparan Harian Mikroplastik AMDK Galon Sekali Pakai
Meskipun temuan mikroplastik dalam sampel tidak melebihi batas aman yang ditetapkan WHO, Agustino menegaskan bahwa mikroplastik tetap akan beresiko tinggi terhadap kesehatan jika terdistribusi ke dalam tubuh manusia dalam jangka panjang. Sebab, data konsentrasi mikroplastik per liter AMDK dan data konsumsi masyarakat di wilayah Jabodetabek yang mengkonsumsi galon sekali pakai per hari menunjukkan, paparan harian mikroplastik dari sampel galon sekali pakai ukuran 6 liter yakni sebesar 9,450 mg/hari, sedangkan 15 liter sebesar 0,378 mg/hari.
Lebih lanjut Agustino merekomendasikan agar produsen galon sekali pakai bertanggung jawab memantau dampak penggunaan kemasan plastik terhadap kualitas air minum yang dipasarkan kepada masyarakat. Selain itu, Agustino juga meminta produsen galon sekali pakai menunjukkan komitmen serius terhadap regulasi pengurangan sampah plastik nasional.
“Pemerintah juga perlu bersikap tegas dalam menerapkan sanksi terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan perusahaan dalam pencapaian target pengurangan sampah plastik nasional,” ucapnya.
Senada dengan Agustino, Dokter spesialis saraf Universitas Indonesia, dr. Pukovisa Prawirohardjo juga mendukung pengurangan penggunaan plastik sekali pakai untuk keberlangsungan kehidupan manusia kedepannya. Sebab, mikroplastik tidak hanya terdapat di dalam air galon sekali pakai, namun juga dalam makanan serta minuman yang lainnya.
“Jika mikroplastik ini terakumulasi dari berbagai makanan dan minuman yang kita konsumsi, tentu dampaknya akan lebih besar,” ujar Pukovisa dalam kesempatan yang sama.
Ada kekhawatiran yang lebih besar khususnya pada mikroplastik berukuran lebih kecil, yakni nano plastik. Menurutnya, penetrasi nano plastik berpotensi lebih berbahaya sebab dapat menjangkau organ tubuh manusia lebih jauh.
“Nanoplastik ini ukurannya lebih kecil daripada mikroplastik. Ternyata penetrasinya lebih jauh ke dalam organ-organ tubuh manusia, dan lebih banyak tertimbun di dalam otak di beberapa percobaan, namun ini tetap membutuhkan penelitian lebih lanjut khususnya pada dampak yang akan ditimbulkan,” kata Pukovisa.
“Untuk itu, perlu adanya revisi kebijakan terkait batas aman dari mikroplastik ini bagi kesehatan manusia,” lanjutnya.
Sementara itu, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tubagus Haryo Karbyanto menyoroti terkait pentingnya temuan ini disampaikan kepada pembuat kebijakan terkait. Menurutnya, Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus memperketat batas aman dari kandungan mikroplastik dalam galon sekali pakai.
Sebab, bila mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, sekitar 31% masyarakat Indonesia menjadikan AMDK sebagai sumber konsumsi air minumnya, dan angka tersebut adalah yang tertinggi dibandingkan sumber air lainnya. Tingkat ketergantungan yang tinggi ini berpeluang menimbulkan dampak berbahaya bagi kesehatan seperti kerusakan jaringan dan risiko kanker, bila produsen AMDK tidak memperhatikan kemasan produknya.
“Konsumen harus mendapatkan kepastian bahwa produk yang dia konsumsi itu aman. Kita sebagai konsumen harus memiliki hak dasar untuk mengetahui produk yang digunakan,” katanya.
Atas semua permasalahan diatas, Peneliti Corporate Plastic Campaign Greenpeace Afifah Rahmi Andini menyarankan agar industri meninjau kembali produk-produk yang akan mereka produksi. Sebab plastik sekali pakai yang digunakan sebagai kemasan berpeluang mengancam kesehatan dan menambah beban lingkungan.
“Industri harus bertanggung jawab. Mulai dari timbulan emisi karbon, proses ekstraksi, transportasi bahan bakunya dan potensi lepasan bahan kimia dari kemasan plastik yang digunakan konsumen hingga kemudian dampak-dampak pencemaran lingkungan seperti makroplastik maupun mikroplastik,” jelasnya.
Tak hanya itu, Afifah juga menyinggung Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang mengatur pengurangan sampah oleh produsen dari 2020-2029. Peraturan ini mengatur tanggung jawab produsen atas produknya, mulai dari perencanaan pengurangan sampah, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan.
“Metode pengiriman alternatif harus menjadi pilihan utama bagi produsen, karena daya tampung Tempat Pemrosesan Akhir di banyak lokasi sudah melebihi ambang batas, serta masih sedikit produsen yang mempublikasikan Peta Jalan Pengurangan Sampah seperti yang telah diregulasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kita harus terus mendorong produsen untuk bertanggung jawab kepada produk yang mereka hasilkan ” pungkasnya.