Aeshnina Azzahra atau Nina adalah gadis cilik asal Gresik yang sangat aktif dalam gerakan lingkungan hidup. Umurnya baru 14 tahun, tetapi pidatonya dalam Plastic Health Summit 2021 di Amsterdam, Belanda, beberapa waktu lalu mencuri perhatian. Bagaimana tidak? Suaranya lantang dan tegas, meyakinkan setiap penonton bahwa negaranya saat ini tidak sedang baik-baik saja karena masalah sampah impor yang diselundupkan oleh negara-negara maju.
Dari data Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Indonesia setiap tahunnya mengimpor limbah kertas sebesar 3,5 juta ton untuk memenuhi pasokan limbah kertas secara teratur industri kertas dalam negeri. Hal ini dilakukan karena pasokan limbah kertas domestik tidak dapat memenuhi permintaan, sebab kurangnya sistem pengumpulan sampah dan tidak adanya kebijakan pemilahan sampah.
Dibalik limbah kertas yang diimpor tersebut, ternyata terdapat hingga 900.000 ton kontaminan kotor termasuk plastik yang tidak dapat didaur ulang. Lantas, kemanakah limbah-limbah ini dibuang?
Nina bercerita bahwa sebagian limbah tersebut dibuang dan dibakar di halaman depan rumah warga di Desa Bangun Jawa Timur Indonesia, sebuah desa yang jaraknya 20 menit dari rumahnya. Mirisnya, warga tidak mengetahui efek yang ditimbulkan dari membakar sampah-sampah tersebut. Alhasil, warga terus menerus melakukan pembakaran sampah sebagai rutinitas sehari-hari.
“Membakar sampah plastik melepaskan racun dioksin dan gas rumah kaca, tetapi orang-orang di sana tidak tahu efek berbahaya dari pembakaran plastik sehingga mereka terus membakarnya,” kata Nina.
Siswi SMPN 12 Gresik ini melanjutkan, rutinitas tersebut diperparah dengan adanya kebijakan Tiongkok yang menutup akses sampah impor ke negara mereka di tahun 2018. Kenaikan paper scrap (sampah impor) ke Indonesia mengalami kenaikan hampir sekitar 50 persen dari tahun sebelumnya.
“Sampah impor itu berasal dari Italia, Inggris, Jepang, Belanda, Amerika Serikat, Kanada, dan lebih banyak sampah dibuang dan dibakar di halaman depan rumah warga, lahan pertanian, pinggir jalan dan di sepanjang tepi sungai,” ungkapnya.
Tak hanya menyinggung soal sampah impor, Nina juga mengkritisi daur ulang plastik dari negara maju yang selama ini terus berjalan di tempat tinggalnya. Menurutnya, proses daur ulang plastik telah mencemari Sungai Brantas, yang mana sungai tersebut adalah sumber air minum utama untuk masyarakat Surabaya dan sekitarnya.
“Proses daur ulang plastik, dimulai dengan memotong sampah plastik menjadi potongan-potongan kecil plastik atau serpihan. Lalu akan dicuci dengan air sungai atau air tanah. Setelah proses tersebut, air limbah yang tidak diolah langsung dibuang ke sungai, dan melepaskan jutaan partikel mikroplastik,” paparnya.
Di sungai, kata Nina, mikroplastik akan menyerap racun dari limbah industri, deterjen, logam berat, dan pestisida. Hasil riset ECOTON menyebutkan 80 persen ikan di Sungai Brantas menelan mikroplastik di perutnya. Aditif plastik beracun dan polutan sungai yang menempel pada partikel mikroplastik akan terakumulasi dalam tubuh ikan.
Fakta bahaya daur ulang plastik yang dibeberkan oleh Nina juga bukan tanpa alasan. Sebab, jika manusia memakan ikan yang sudah terkontaminasi plastik, dalam jangka panjang bisa menimbulkan dampak kesehatan yang serius atau penyakit, seperti gangguan hormonal, kanker dan cacat lahir.
“Untuk mencegah dampak pencemaran yang lebih buruk di Desa Bangun dan Sungai Brantas, saya dan tim River Warrior berperahu ke sungai dan memantau limbah pabrik kertas dan pabrik daur ulang plastik di sepanjang sungai. Kami memantau kualitas air dan menemukan semua sampel air dan air limbah yang dikumpulkan dari sungai mengandung mikroplastik, yang mencemari sumber air minum untuk 6 juta orang di hilir pabrik,” jelas Nina.
Lebih lanjut, Nina menegaskan bahwa negara maju harus menghentikan ekspor sampah plastik ke negara berkembang. Sebab, negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk menangani masalah sampah tersebut. Sampah impor hanya akan menambah beban dan pencemaran di Indonesia.
Tak hanya itu, sampah impor juga dinilai telah merampas hak atas air bersih dan lingkungan yang sehat. Generasi sekarang, menurut Nina tidak boleh mencuri hak-hak dasar mereka dan membahayakan kehidupan generasi mendatang.
“Indonesia bukan situs pembuangan global, berhenti mengekspor sampah plastik ke Indonesia. Tolong bantu saya untuk mewujudkan impian saya, untuk hidup di lingkungan yang sehat aman dan bersih bebas dari polusi plastik,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Nina adalah putri ketiga pasangan aktivis lingkungan, Prigi Arisandi dan Daru Setyorini yang juga hadir sebagai pembicara dalam Plastic Health Summit 2021 di Belanda. Sejak kecil, dia sering diajak kedua orang tuanya melihat sungai, memasuki hutan, hingga ke pantai. Ketika berunjuk rasa pun, Nina ikut dalam gendongan orangtuanya.
Nina sejak kecil juga membiasakan diri tak gunakan plastik sekali pakai. Ke mana-mana, selalu membawa wadah makanan atau minuman dari rumah. Di sekolah, kalau air di botol habis, cukup mengisi di kantin.
Pada awal 2019, dia diajak ke sebuah desa di Mojokerto. Kebetulan, sungai di desa itu tercemar limbah kertas perusahaan. Sungai keruh dan berbau. Langit-langit desa kerap berwarna gelap karena asap dari perusahaan itu.
Setelah dari sana, dia ikut unjuk rasa ke Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Juli 2019. Saat itu, tengah ramai pemberitaan sampah plastik impor asal Amerika. Nina lalu menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menghentikan ekspor sampah plastik ke Indonesia dan mendaur ulang sampah mereka sendiri. Dua tahun berikutnya, tepatnya pada Maret 2021, Nina kembali menyurati Presiden AS Joe Bidden. Alhasil ekspor limbah kertas AS turun sekitar 50 persen, dari 900 ribu ton pada 2018 menjadi 400 ribu ton pada 2020.
Hobi menulis Nina tak hanya sampai disitu saja, dia kembali berkirim surat kepada negara-negara lain yang sampahnya masuk Indonesia, seperti Jerman, Kanada, dan Australia. Isinya kurang lebih sama, yakni meminta negara-negara itu tidak lagi mengirim (menyelundupkan) sampah plastik ke Indonesia.
Tak lama berselang, perjuangan Nina disambut baik oleh pihak Global. Nina mendapat kesempatan untuk hadir dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) di Glasgow, Inggris, November mendatang. COP26 merupakan forum tingkat tinggi tahunan negara-negara dunia untuk membicarakan perubahan iklim dan bagaimana menanggulanginya.
Sebelum ke forum COP26 di Inggris, Nina juga mendapat undangan ke Plastic Health Summit 2021 di Amsterdam, Belanda, dimana ia menjadi satu-satunya pembicara paling muda yang berkesempatan berpidato untuk menyuarakan keadilan lingkungan.
Berkirim surat kepada wakil negara-negara pengekspor sampah bukanlah satu-satunya yang dilakukan Nina. Di usia remaja ini, Nina banyak terlibat dalam berbagai kampanye baik dilakukan ECOTON maupun di sekolah.
Bersama rekan-rekan di sekolah, dia berhasil mendorong pihak sekolah membuat kebijakan larangan penggunaan plastik sekali pakai, di kantin maupun seluruh sekolah. Tak hanya itu, ia juga mendorong siswa dan civitas akademik dari seluruh Indonesia bersama-sama mengisi petisi untuk menolak plastik sekali pakai di lingkungan sekolah. (Kia)