Indonesia adalah negara kedua penyumbang dan penghasil sampah sisa makanan terbesar di dunia. Data Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) pada tahun 2018 menyebutkan sebanyak 49,86% dari total timbunan sampah di Indonesia adalah sampah sisa makanan.
Data hasil analisis kolaborasi pemerintah dengan Foreign Commonwealth Office Inggris selama 20 tahun terakhir juga menyebutkan limbah makanan yang terbuang atau food loss and waste di Indonesia mencapai 23 juta ton-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019. Angka ini setara 115 kg-184 kg sampah sisa makanan per kapita per tahun.
Ironisnya di saat begitu banyak makanan yang dibuang, masih banyak penduduk Indonesia yang kelaparan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan sebanyak 13,8 persen balita di Indonesia mengalami kurang gizi dan 3,9 persen lainnya menderita gizi buruk. Fakta lain menyebutkan 34,74 persen rumah tangga di Indonesia masih memanfaatkan bantuan beras miskin (Raskin) dari pemerintah.
Direktur program Gita Pertiwi Titik Eka Sasanti mengatakan dalam laporan berjudul “Fixing Food: Towards the More Sustainable Food System” yang dirilis The Economist pada 2011 disebutkan bahwa rata-rata orang Indonesia membuang sisa makanan sekitar 300 kilogram setiap tahunnya. Artinya, masing-masing individu bisa menghasilkan sampah sisa makanan sekitar 1 kilogram setiap harinya.
“Kami (Gita Pertiwi) sudah meneliti perihal ini di kota Solo tiga tahun berturut-turut, jadi perhari itu total sampah sisa makanan di tingkat keluarga di kota Solo itu sekitar 70 ton, ini semua tidak terlepas dari perilaku dan budaya kita,” ujar Titik dalam siaran langsung AZWI berjudul ‘Indonesia Darurat Sampah Makanan? Apa saja yang bisa dilakukan untuk mengelola sampah organik?’, Rabu (13/10/2021).
Titik menjelaskan, restoran juga menyumbang sampah sisa makanan sekitar 100 ton per hari di Kota Solo. Tentu ini bukan angka yang kecil, apalagi melihat Kota Solo hanya sebagian daerah yang tak lebih besar dari pusat ibukota Indonesia yakni DKI Jakarta.
Perilaku menyisakan makanan menjadi penyebab utama banyak sampah pangan yang terbuang ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) tanpa diolah terlebih dahulu. Titik menilai, kebiasaan ini bisa membawa dampak pencemaran lingkungan dan juga kesehatan.
“Banyak orang lapar mata, jadi pas lapar itu ya ngambilnya banyak, gak diperkirakan terlebih dahulu, akhirnya ya banyak makanan yang bersisa. Gak cuma itu, budaya menyisakan makanan juga kental di daerah Jawa, hal ini terjadi agar tidak dicap sebagai orang yang rakus,” jelasnya.
Sementara itu, lanjut Titik, saat ini belum ada aturan yang secara spesifik melarang masyarakat membuang makanan. Padahal menurutnya, di negara-negara maju sudah ada penerapan untuk menghabiskan makanan yang dibeli atau membawa pulang jika tidak habis.
Pentingnya pemilahan sampah sisa makanan
Titik menilai pemerintah harus serius menanggapi masalah sampah sisa makanan tersebut. Sebab, dampak yang ditimbulkan dari penumpukan sampah di TPA dapat mencemari lingkungan seperti timbulnya gas metana yang berakibat kepada efek rumah kaca. Tak hanya itu, pembuangan sampah organik yang tak terolah juga dapat menghambat proses air tanah dan tentu saja ini merupakan sebuah kabar buruk mengingat air tanah sangatlah penting bagi manusia.
“Polusi sampah sisa makanan yang termasuk dalam kategori organik ini dapat mengakibatkan peningkatan berbagai macam penyakit infeksi saluran pencernaan dan juga pernafasan, apalagi yang ditinggal di daerah pembuangan, bisa dibayangkan bau busuk yang menyengat dari sampah yang tidak diolah,” katanya.
Senada dengan Titik, Administrator Rumah Kompos Padangtegal Ubud Bali, Kadek Jois Yana juga menilai bahwa saat ini masih sedikit tempat pengolahan sampah seperti TPS 3R yang disediakan oleh desa. Padahal menurutnya, telah ada upaya dari masyarakat untuk memilah sampah dari rumah sehingga sampah yang dikumpulkan nantinya bisa bermanfaat kembali.
“Percuma juga kan sampah dari masyarakat sudah dipilah, tapi ujung-ujungnya petugas sampah yang angkut juga nyampurin sampahnya lagi, nyeseknya itu di sini,” ujar Jois yang juga hadir dalam diskusi yang sama.
Sebagai fasilitator pengelolaan sampah organik, Jois mengapresiasi masyarakat yang telah bekerjasama dengan Rumah Kompos Padangtegal untuk memilah sampah mereka sejak dari sumber. Menurutnya, saat ini solusi yang tepat memang ada pada perilaku masyarakat dan juga dukungan dari pemerintah setempat. Sehingga, nantinya tidak ada lagi sampah organik yang terbuang.
“Kami disini, mengolah sampah organik baik sisa makanan dan bahan baku masak dari masyarakat untuk dijadikan kompos. Kami kumpulkan setiap harinya itu ada dua truk. Dan itu bisa dipanen kalau sudah 2,5 hingga 3 bulan,” katanya.
Tips Mengompos dari Rumah
Meskipun demikian, Jois menjelaskan bahwa sejatinya pengolahan sampah yang paling bagus memang harus dari sumbernya. Mengkompos dari rumah bisa dilakukan secara mudah seperti dari lobang biopori atau bisa membeli komposter yang sudah banyak dijual di pasaran.
“Bisa dimulai dari pemilahan sampah, jadi dipilah sampah organik dan anorganiknya. yang anorganik bisa disetor ke bank sampah terdekat, yang organik bisa dibuat kompos, untuk membuat pupuk kompos, kita membutuhkan 4 jenis bahan, yaitu karbon (sampah coklat), nitrogen (sampah hijau), air, dan oksigen. Untuk proses pembuatan dan hasil komposter yang efektif, perbandingan penggunaan antara sampah coklat dengan sampah hijau yakni 3:1,” tambahnya.
Berikut beberapa langkah pengomposan yang baik menurut Jois:
Contoh sampah coklat:
- Daun atau rumput kering.
- Serbuk gergaji.
- Serutan kayu.
- Sekam padi.
- Limbah kertas.
- Kulit jagung.
- Jerami.
- Tangkai sayuran.
Contoh sampah hijau:
- Sayuran.
- Buah.
- Daun atau rumput segar.
- Teh atau kopi.
- Kulit telur.
- Pupuk kandang (kotoran ternak ayam, itik, kambing, atau sapi).
Langkah:
- Siapkan sampah organik yang sudah dipilah.
- Siapkan wadah berukuran besar untuk membuat pupuk. Jangan lupa bahwa wadah harus memiliki penutup agar pupuk yang kamu buat tidak terkontaminasi.
- Masukkan tanah secukupnya ke dalam wadah yang telah terisi sampah organik. Ketebalannya bisa kamu sesuaikan dengan wadah dan banyaknya sampah organik.
- Siram permukaan tanah tersebut menggunakan air secukupnya.
- Masukkan sampah organik yang sudah kamu siapkan ke dalam wadah.
- Pastikan sampah kamu simpan secara merata. Sebisa mungkin ketebalan sampah setara dengan ketebalan tanah.
- Masukkan lagi tanah ke dalam wadah. Kali ini tanah berperan sebagai penutup sampah.
- Tutup wadah dengan rapat dan biarkan sekitar tiga minggu.
- Saat membuat pupuk kompos di rumah, pastikan wadah pembuat pupuk tidak terkontaminasi oleh air hujan, hewan, dan terkena paparan sinar matahari.
Setelah beberapa minggu, kompos siap dipanen, dan bisa digunakan untuk kebutuhan bercocok tanam. (Kia)