Bukan hanya plastik, Indonesia juga menempati peringkat kedua sebagai negara penghasil food waste atau limbah makanan tertinggi di dunia. Berdasarkan penelitian yang diadakan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2017, rata-rata orang Indonesia membuang pangan sekitar 300 kilogram setiap tahunnya.
Hasil riset terbaru yang dikeluarkan Aliansi Zero Waste Indonesia bersama Yayasan Gita Pertiwi, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Komunitas Nol Sampah Surabaya berjudul “Riset Plastik Dalam Rantai Pangan” di tiga kota besar Indonesia: Surakarta, Surabaya dan Denpasar juga menunjukkan bahwa angka sampah sisa makanan lebih tinggi dibandingkan jenis sampah lainnya.
Ni Made Indra Wahyuni, periset dari PPLH Bali memaparkan temuannya dari penelitian dua bulan pada akhir 2021 lalu itu memperlihatkan timbulan material sisa makanan cukup tinggi di desa, pasar, supermarket, dan rumah makan. Meningkatnya tingkat sampah pangan di Indonesia ini disebabkan oleh pola konsumsi dan efek pandemi Covid-19.
Pandemi meningkatkan timbulan sampah pangan di Kota Surakarta dari 0,49 kg/KK/hari (2018) menjadi 0,73 kg/KK/hari karena penerapan protokol kesehatan, dan kebijakan pembatasan kegiatan di luar rumah. Sehingga potensi sampah pangan 95,33 ton/hari. Begitu pula dengan potensi sampah pangan dari rumah tangga di kota Denpasar yakni 0,34Kg/hari/KK atau 57,3 Ton/Hari dengan jumlah KK Denpasar 168.659 KK dan sampah sisa makanan di Kota Surabaya yakni sebesar 34,62%; 227,23 Kg/hari.
“Hal ini diperparah dengan model pengelolaan sampah kumpul angkut masih mendominasi di Indonesia. Seperti di Surakarta, metode kumpul angkut buang mendominasi sebesar 70,1%, dan pilah sampah hanya 21 %,” ujar Green City Program Officer Gita Pertiwi, Octoviani Ikasari, saat dihubungi AZWI beberapa waktu lalu.
Fani menilai pemerintah harus serius menangani masalah sampah sisa makanan tersebut. Sebab, dampak yang ditimbulkan dari penumpukan sampah di TPA dapat mencemari lingkungan seperti timbulnya gas metana yang berakibat kepada efek rumah kaca. Tak hanya itu, pembuangan sampah organik yang tak terolah juga dapat menghambat proses air tanah dan tentu saja ini merupakan sebuah kabar buruk mengingat air tanah sangatlah penting bagi manusia.
“Polusi sampah sisa makanan yang termasuk dalam kategori organik ini dapat mengakibatkan peningkatan berbagai macam penyakit infeksi saluran pencernaan dan juga pernafasan, apalagi yang ditinggal di daerah pembuangan, bisa dibayangkan bau busuk yang menyengat dari sampah yang tidak diolah,” katanya.
Berikut rekomendasi untuk mengatasi permasalahan limbah makanan di Indonesia:
- Mengurangi timbulan : pilah sampah, pengangkutan, pengelolaan dan pemanfaatan di pusat timbulan (kawasan masyarakat dan pusat bisnis) dengan budidaya maggot, untuk pakan ternak, pembuatan pupuk organik, eco enzym untuk mendukung produksi pangan perkotaan.
- Menambah sarana dan prasarana pilah sampah dan transportasinya.
- Peningkatan kapasitas masyarakat dan pebisnis tentang pilah, pengelolaan dan pemanfaatan sampah (organik, anorganik).
- Kampanye meningkatkan kesadaran pengelolaan dan pemanfaatan sampah, menjadi pupuk organik, budidaya maggot untuk pakan ikan atau unggas.
- Meningkatkan literasi kemasan pangan yang aman
- Peraturan atau kebijakan kota: sampah pangan dan PSP (kecuali Denpasar) sebagai komitmen Kota Cerdas Pangan (Pakta Milan & Glasgow Food & Climate).
(Kia)