Sampah elektronik adalah peralatan elektronik yang sudah tidak dapat digunakan, tidak terpakai atau tidak diminati lagi dan menjadi barang bekas dan perlu dibuang, dalam keadaan utuh ataupun tidak. Sampah elektronik ini dapat berupa baterai, kabel listrik, bola lampu pijar, telepon genggam, televisi, setrika, dan barang-barang elektronik lainnya yang kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan data The Global E-waste Monitor 2020, timbulan sampah elektronik selama tahun 2019 mencapai 53,6 juta ton. Dari 53,6 juta ton sampah elektronik yang dihasilkan oleh seluruh dunia, Asia (termasuk Indonesia) menyumbang sampah paling tinggi, yaitu sebesar 24,9 juta ton. Bahkan, Indonesia menjadi penyumbang sampah elektronik tertinggi di Asia Tenggara.
Dilansir dari Greenpeace, Indonesia menghasilkan 812 kiloton sampah elektronik pada tahun 2014. The Global E-waste Monitor 2020 (Forti et al., 2020), menyebutkan bahwa di tahun 2019 Indonesia menghasilkan 1618 kiloton sampah elektronik. Peningkatan timbulan sampah elektronik ini cukup signifikan, dimana hanya dalam kurun waktu 5 tahun sampah elektronik yang dihasilkan meningkat dua kali lipat.
Banyaknya timbunan sampah elektronik ini tidak lepas dari semakin banyaknya peralatan elektronik yang kita gunakan sehari-hari. Menurut European Union (EU), sampah elektronik dapat dikelompokkan ke dalam sekurangnya sepuluh kategori.
Pertama, perangkat besar rumah tangga. Ini meliputi antara lain lemari es, mesin cuci, pengering baju, mesin pencuci piring, kompor listrik, microwave, kipas angin listrik dan AC (air conditioner).
Kedua, perangkat kecil rumah tangga, seperti penghisap debu, pemanggang roti, mesin pembuat kopi, mesin potong rambut. Ketiga, perangkat teknologi komunikasi. Meliputi antara lain komputer meja, printer, telepon seluler, komputer jinjing.
Keempat, perangkat hiburan. Misalnya, televisi, kamera video, penguat audio, alat-alat musik. Kelima, perangkat penerangan, antara lain lampu pendar dan lampu debit intensitas tinggi.
Keenam, aneka perkakas elektronik, yaitu bor, gergaji, gerinda, alat patri, penyugu dan sebagainya. Ketujuh, alat-alat mainan dan rekreasi, seperti mobil-mobilan listrik, video gim, perangkat-perangkat olahraga yang mengandung elemen listrik.
Kedelapan, perangkat medis. Misalnya, peralatan radioterapi, ventilator, mesin pacu jantung, mesin pencuci darah serta peralatan kedokteran nuklir. Kesembilan, peralatan pemantau dan pengendali. Antara lain alat pendeteksi asap dan pengatur panas.
Kesepuluh, dispenser otomatis untuk minuman serta sejumlah peralatan yang secara otomatis mampu menyediakan/menghasilkan produk-produk tertentu.
Kesepuluh sampah elektronik tidak mungkin menghilang begitu saja dan akan sulit juga untuk didaur ulang. Tapi, memang sebenarnya apa sih bahaya sampah elektronik untuk lingkungan dan bagaimana sebaiknya kita menangani jenis sampah ini?
Sampah elektronik perlu diwaspadai karena mengandung 1000 material. Sebagian besar dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya, seperti logam berat (merkuri, timbal, kromium, kadmium, arsenik, perak, kobalt, palladium, tembaga dan lainnya).
Beberapa limbah B3 dengan paparan risikonya, antara lain;
1. PCBs: banyak digunakan pada bahan plastik, perekat, trafo, kapasitor, sistem hidrolis, ballast lampu, dan peralatan elektronik lainnya. Risiko: persisten di lingkungan, mudah terakumulasi dalam jaringan lemak manusia dan hewan. Mengganggu sistem pencernaan dan bersifat karsinogenik.
2. Arsenik: digunakan dalam industri elektronik, di antaranya pembuatan transistor, semikonduktor, gelas, tekstil, keramik, lem hingga bahan peledak. Risiko: menimbulkan gangguan metabolisme di dalam tubuh manusia dan hewan, mengakibatkan keracunan bahkan kematian.
3. Kadmium: digunakan untuk pelapisan logam, terutama baja, besi dan tembaga. Juga dalam pembuatan baterai dan plastik. Risiko: jika terisap bersifat iritatif. Dalam jangka waktu lama menimbulkan efek keracunan, gangguan pada sistem organ dalam tubuh manusia dan hewan.
Toxics Program Officer Nexus3 Foundation, Sonia Buftheim menjelaskan penanganan sampah elektronik harus dilakukan berbeda dengan sampah yang lainnya dan tidak boleh dicampur. Sebab resiko kebocoran dan ancaman ke lingkungannya sangat tinggi. Namun sayangnya, hingga saat ini belum banyak antisipasi ancaman banjir limbah elektronik tersebut.
United Nations University bahkan menggolongkan sistem pengelolaan limbah elektronik Indonesia dalam tingkat paling rendah, yakni Inisiatif Informal. Negara yang masuk dalam tipe ini disebut tak punya aturan hukum yang spesifik, fasilitas daur ulang resmi yang terbatas, dan pengelolaannya dikuasai sektor informal. Indonesia masuk dalam kelompok terendah ini bersama Thailand dan Kamboja. Sedangkan Malaysia, Filipina, dan Vietnam masuk kelompok tipe Transisi, yang setingkat lebih tinggi bersama dengan China.
“Sebenarnya Indonesia sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan ada beberapa drop box atau tempat penampungan khusus untuk sampah elektronik namun jumlahnya sangat terbatas dan hanya ada di kota-kota besar saja,” jelas Sonia dalam AZWI Talk #26 beberapa waktu lalu.
Sonia menegaskan, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan oleh pemerintah saat ini seperti mengatur sistem pengumpulan dan pengangkutan sampai pada proses akhir. Termasuk sistem insentif tukar tambah barang elektronik bekas. Selain itu, penanganan sampah melalui mekanisme perluasan tanggung jawab produsen atau EPR (extended producer responsibility) juga harus diterapkan.
Seperti pemerintah India menerapkan yang sejak 2016 sudah menerapkan EPR. Dalam jangka waktu tujuh tahun, perusahaan elektronik diwajibkan ikut mengumpulkan kembali sampah elektronik yang mereka hasilkan secara bertahap, mulai 10 persen hingga akhirnya 70 persen. Bahkan di Jepang dan Prancis, skema EPR ini tak cuma diterapkan pada produk elektronik, tapi juga produk-produk lain, misalnya otomotif, beberapa jenis produk kesehatan, dan furnitur.
“Ini seperti segitiga yang saling terhubung, selain pemerintah dan produsen, masyarakat juga harus ikut andil, punya kesadaran yang tinggi, dengan menangani sampah jenis B3 ini secara spesifik, tidak mencampurkannya dengan sampah yang lain,” tegas Sonia.
Terakhir, Sonia juga mengingatkan agar setiap masyarakat belajar menjadi konsumen dan pengguna perangkat elektronik yang bijak. Salah satu contohnya adalah menyeleksi antara kebutuhan dan keinginan, sehingga perangkat elektronik tersebut tidak digunakan sebagai gaya hidup saja. (Kia)