Praktis, murah dan tak menyita banyak tempat. Ketiga alasan tersebut menjadi alasan banyaknya masyarakat menggunakan produk dalam kemasan sachet. Bagi anak kos, menggunakan shampo dalam kemasan ekonomis akan menghemat biaya. Demikian pula dengan ibu rumah tangga yang menggunakan detergen yang dapat dibeli secara renceng di warung.
Rencengan kemasan aneka produk dari makanan instan sampai penyedap makanan, seolah menjadi wajah warung Indonesia. Penjual akan menyediakan gunting kecil atau cutter yang diikat dengan tali, untuk mempermudah mengambil produk. Pemandangan ini sudah dianggap lumrah sejak era tahun 1990-an. Masyarakat pun kini dibuat nyaman dengan pembelian berskala kecil ini.
Sayangnya di setiap acara pembersihan pantai sampah, kemasan kecil ini dapat dengan mudah ditemukan. Bahkan sampah kemasan dari 20 sampai 30 tahun yang lampau. Tingkat daur ulang sampah sachet di Indonesia hanya 10%, karena cenderung sulit dibersihkan. Ukurannya yang kecil juga cenderung lebih sulit dikumpulkan, apalagi pengepul biasanya mensyaratkan bobot minimal tertentu. Dapat disimpulkan bahwa sampah sachet tidak memiliki nilai di pasar daur ulang. Limbah yang tidak terdaur ulang tersebut akhirnya banyak mencemari perairan dan wilayah pesisir.
Solusi Minim Sampah Sachet dari Hulu
Beberapa solusi terkait kemasan plastik sekali pakai sudah mulai banyak bermunculan, seperti memfokuskan pengurangan sachet dari hulu. Mereduksi sampah sachet dari hulu adalah pembelian tanpa kemasan atau kerap disebut pembelian curah/bulk. Toko-toko curah modern sudah mulai banyak berdiri di wilayah perkotaan. Alternatif lain adalah pembelian secara curah di pasar tradisional. Pedagang di pasar pun kini sudah mulai mengapresiasi pembeli yang membawa kotak atau wadah sendiri.
Pembelian secara curah nyatanya masih memiliki celah dalam implementasinya. Masyarakat marginal berpenghasilan rendah biasanya membeli dalam kuantitas terbatas. Sachet tetap menjadi opsi utama karena faktor harga yang lebih ekonomis dan mudah ditemukan di warung terdekat.
Beberapa pelaku usaha melihat hal ini sebagai peluang, dengan mengembangkan lini bisnis isi ulang dalam kuantitas kecil. Produk Alner misalnya, sasaran utamanya jelas terpetakan yakni para pemburu renceng warung. Prinsip penjualanya adalah menjual produk sabun dan sampo dari perusahaan besar yang dikemas dalam botol-botol kecil yang dapat digunakan ulang. Pendekatan model usaha menggunakan kearifan lokal yakni komunitas ibu-ibu PKK, hingga bank sampah. Sebagai bagian dari marketing menggunakan model setoran dan hadiah sebagai sistemnya untuk menyasar ibu-ibu pelanggan warung.
Pelaku usaha lain pun tak mau kalah, Siklus Refill bahkan memanjakan pembeli dengan sistem pesan antar/delivery. Produk-produk yang ditawarkan pun beragam mulai dari konsumsi harian rumah tangga seperti sabun, sampo, deterjen, cairan pencuci piring, beras, hingga minyak goreng. Produknya bukan kaleng-kaleng, mayoritas adalah produk jenama dari perusahaan besar dalam kemasan yang bisa dikembalikan (returnable) dan digunakan ulang (reuse). Harga yang ditawarkan tentu saja lebih miring, karena pembeli hanya membeli produk bukan kemasan. Prinsip pembelian mirip seperti pembelian air galon kemasan, pembeli perlu menyediakan botol atau jerigen untuk mengisi ulang produk.
Beralih ke Produk Alami Tanpa Kemasan
Solusi lain adalah beralih pada produk-produk alami yang bebas kemasan. Kebiasaan zero waste memang lekat dengan hidup kembali ke alam dengan menghasilkan residu sampah minimal. Untuk meminimalkan sampah terutama pada produk rumah tangga, terdapat beragam cara alami yang bisa dibuat sendiri di rumah atau kerap disebut Do It Yourself/ DIY.
Salah satunya adalah beralih menggunakan eco-enzyme sebagai cairan pembersih multifungsi. Manfaatnya beragam antara lain untuk membersihkan seluruh rumah, bahkan bisa digunakan untuk mencuci buah dan sayur. Eco-enzyme dapat dibuat dari sisa kulit atau ampas buah dan sayuran yang kemudian difermentasi. Produk sanitasi seperti sabun mandi, pasta gigi dan sampo juga bisa dibuat sendiri dari bahan-bahan alam seperti minyak kelapa dan lerak.
Upaya mereduksi sampah sachet dari hulu hingga ke hilir ini tentunya perlu dukungan regulasi dan kebijakan dari Pemerintah. Tanggung jawab pengelolaan sampah memerlukan dukungan dari multi pihak. Produsen di sisi hulu harus mulai menerapkan ekonomi sirkuler dan harus mulai mencari alternatif lebih ramah lingkungan menggantikan kemasan sachet plastik. Sedangkan di sisi hilir, konsumen harus turut bertanggung jawab dari mulai pembelian barang dalam kemasan sachet hingga manajemen pengolahannya. (Eliza dalam Tell Your Story)