Dalam diskusi perumusan perjanjian internasional tentang plastik atau yang lebih dikenal dengan Global Plastic Treaty, telah dibahas berbagai upaya untuk mengatasi krisis plastik global yang semakin mendesak. Salah satu solusi yang diajukan untuk mengakhiri pencemaran plastik adalah membangun ekosistem guna ulang (reuse ecosystem). Demi terwujudnya ekosistem guna ulang di Indonesia, GIDKP sosialisasikan hasil studi ‘Making Reuse A Reality’ di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (03/08/2023).
Studi yang dilakukan oleh organisasi Break Free From Plastic dan University of Portsmouth, Inggris ini, bertujuan untuk menyediakan pemahaman yang lebih mendalam tentang potensi dan tantangan dalam mengimplementasikan sistem guna ulang plastik di berbagai sektor ekonomi. Hasilnya menyoroti pentingnya berkolaborasi dengan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk menciptakan kebijakan yang mendukung dan mendorong ekosistem guna ulang. Selain itu, dipaparkan juga empat tahapan penting yang diperlukan untuk mewujudkan sistem guna ulang (reuse). Berikut empat tahapannya:
- Menetapkan dasar sistem guna ulang: agar menjadi suatu nilai baru,dibutuhkan upaya dari pemerintah terkait sistem guna ulang, termasuk pembuatan kebijakan. Diperlukan aturan yang tegas untuk menekan daya tarik dan kemudahan kemasan sekali pakai. Selain itu, komitmen pemerintah dalam upaya penerapan sistem guna ulang dalam skala besar juga akan membuka peluang investasi sektor swasta. Oleh karena itu, pendekatan kolaboratif yang melibatkan pemerintah, investor, bisnis, organisasi masyarakat, dan konsumen dalam pengembangan sistem guna ulang menjadi sangat penting.
- Mengembangkan sistem guna ulang: dalam upaya pengembangan sistem guna ulang, diperlukannya standarisasi nasional untuk pengemasan, penandaan, perangkat lunak, dan pelabelan. Hal ini bertujuan untuk mencegah pengkotakan masing-masing sistem. Selain itu, sistem guna ulang juga membutuhkan kolaborasi ekstensif dan non-kompetitif guna memudahkan alur distribusi pengembalian.
- Mempercepat dan meningkatkan sistem guna ulang: dalam tahap percepatan dan peningkatan sistem guna, diperlukannya pengembangan infrastruktur hub/pusat guna ulang untuk penyortiran, pencucian, pengisian ulang, dan pengembalian ke produsen. Selain itu, dibutuhkan juga suatu skema pengembalian setoran agar terciptanya suatu berkelanjutan.
- Mewujudkan guna ulang sebagai norma baru: dalam tahapan ini, diperlukannya standarisasi dalam proses pengemasan produk untuk pengiriman B2B. Selain itu, perubahan bertahap juga harus dilakukan di sektor FMCGs. Serta penerapan sistem guna ulang tidak terbatas pada sektor FMCGs agar dapat diterima oleh konsumen secara menyeluruh.
Saat ini GIDKP tengah mendorong sistem guna ulang sebagai solusi polusi plastik di Indonesia. Dalam sistem ini, terdapat Reuse Infrastructure Grid yang menggambarkan ekosistem dari peran dan relasi pelaku inisiatif guna ulang dalam kerangka sirkularitas yang berkelanjutan. Model ini mencoba untuk menawarkan satu pandangan yang holistik akan jaringan ekosistem guna ulang yang diisi oleh berbagai subjek, seperti rumah tangga/konsumen, peran transportasi dan logistik, jasa pencucian, industri manufaktur, jasa pengelola wadah guna ulang, ritel, serta pemerintah atau institusi terkait.
“Reuse adalah sebuah sistem. Sistem yang mendorong banyak penggunaan kemasan secara berulang, dan ini adalah sistem yang sebenarnya tidak mengalihkan kepemilikan kemasan kepada konsumen. Konsumen hanya membutuhkan produk, sehingga hanya kepemilikan produk yang berpindah ke konsumen. Reuse operator lah yang berperan sebagai pemilik dari kemasan tersebut dan memiliki tanggung jawab untuk mengambil kembali kemasan itu untuk dicuci demi menjaga higienitas, mengisi kembali produk ke dalam kemasan dan mendistribusikannya,“ ujar Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, Tiza Mafira.
Dalam ranah kebijakan nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga telah memiliki Peraturan Menteri LHK No 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang juga mendorong adanya sistem guna ulang. Menurut pengakuan Direktur Pengurangan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, Vinda Damayanti Ansjar, praktik guna ulang sudah dilakukan sejak lama oleh produk lokal atau skala UMKM. Artinya masyarakat sebenarnya sudah bisa terima dan terbuka dengan inisiatif seperti ini.
“Idealnya, sistem guna ulang ini juga bisa diberlakukan untuk merek-merek yang sudah established. Pada dasarnya, aplikasi reuse di lapangan sangat memungkinkan. Bahkan reuse ini adalah bentuk tradisi yang kita miliki. Misalnya seperti mbok jamu keliling dan tukang minyak curah yang sejak dulu sudah kita gunakan. Untuk itu, kami juga mendorong para produsen untuk bersedia mengadopsi sistem guna ulang dalam bisnisnya,” jelas Vinda.
Praktik guna ulang juga sudah mulai digalakkan oleh industri penyedia produk rumah tangga di Indonesia, seperti Enviu yang berfokus pada solusi guna ulang lewat program bernama Zero Waste Living Lab. Program ini merupakan sebuah inisiatif yang mengajak konsumen untuk berpartisipasi aktif dalam mengurangi penggunaan kemasan plastik sekali pakai dengan membawa wadah mereka sendiri saat berbelanja di toko maupun restoran. Konsep ini memberdayakan konsumen untuk berperan sebagai agen perubahan dalam gerakan zero waste.
“Enviu hadir di Indonesia menjadi salah satu solusi untuk mengurangi timbulan plastik sekali pakai dari kemasan sekali pakai yang sering digunakan untuk produk-produk rumah tangga seperti sabun cuci piring, pembersih lantai, sabun pencuci baju dan lain sebagainya. Tak hanya itu, Enviu juga memiliki sistem peminjaman wadah makan yang disediakan untuk membungkus makanan yang dipesan secara online, dan tentu saja kami juga bekerjasama dengan para merchant yang ada di Jakarta,” kata Darina Maulana selaku Indonesia Program Lead Zero Waste Living Lab by Enviu.
Bukan hanya Enviu, hal serupa juga dilakukan The Body Shop. PR Manager The Body Shop Indonesia Gesit Pambudi mengaku sejak 2008, The Body Shop Internasional mulai menggencarkan pengembalian kemasan, dan saat ini sudah lebih dari 11 juta botol yang kembali. Program pengembalian kemasan The Body Shop, adalah bentuk tanggung jawab terhadap kemasan yang dihasilkan oleh perusahaan, sekaligus mendorong konsumen agar lebih bertanggung jawab terhadap sampah plastik.
“The Body Shop mencoba menjadi bagian dari sistem guna ulang dengan cara menyediakan kosmetik yang dapat diisi ulang di beberapa store yang kami miliki saat ini. Kami yakin dengan kontribusi sekecil apapun dari kami para produsen, dapat menghasilkan dampak yang cukup besar untuk menciptakan sistem guna ulang di Indonesia khususnya,” ungkapnya.
The Body Shop memperkenalkan berbagai insentif bagi konsumen yang mengembalikan kemasan kosmetik bekas, seperti diskon atau hadiah khusus. Hal ini bertujuan untuk memberikan apresiasi atas partisipasi konsumen dalam upaya bersama untuk mengurangi jejak plastik perusahaan dan mendukung gerakan zero waste.
Melalui program pengembalian kemasan ini, The Body Shop telah membuktikan bahwa praktik guna ulang bisa menjadi langkah efektif dalam mengatasi masalah plastik sekali pakai dan mendukung upaya menjaga lingkungan. Kesuksesan program ini juga membuktikan bahwa konsumen semakin menyadari pentingnya peran mereka dalam mengurangi dampak negatif plastik terhadap bumi.
“The Body Shop mencoba menjadi bagian dari sistem guna ulang dengan cara menyediakan kosmetik yang dapat diisi ulang di beberapa store yang kami miliki saat ini. Kami yakin dengan kontribusi sekecil apapun dari kami para produsen, dapat menghasilkan dampak yang cukup besar untuk menciptakan sistem guna ulang di Indonesia khususnya,” tambahnya.
Sistem guna ulang tentunya tidak terlepas dari pengawasan dari pihak-pihak yang berwenang untuk memastikan uji kelayakan dari produk guna ulang. Saat ini, Badan Pengawasan Obat dan Kosmetik (BPOM) sudah memiliki Peraturan No 12 Tahun 2023 Tentang Pengawasan Pembuatan dan Peredaran Kosmetik yang dapat diedarkan dengan sistem isi ulang.
“Setiap produk yang dipasarkan harus baik dari sisi keamanan dan kualitasnya. BPOM telah mengeluarkan Peraturan No 12 tahun 2023 tentang Pengawasan Pembuatan dan Peredaran Kosmetik yg membahas kosmetik isi ulang. Saat ini BPOM sedang mengedukasi para pelaku usaha dengan memberikan penjelasan terkait implementasi. Peraturan ini mengatur secara keseluruhan mulai dari proses produksi hingga proses penyimpanan sampai ke distribusinya,” pungkas Direktur Pengawasan Kosmetik BPOM, Irwan.
Dengan adanya peraturan ini, diharapkan penggunaan sistem isi ulang pada produk kosmetik dapat dijalankan dengan lebih teratur dan terstruktur, sehingga dapat mengurangi pembuatan kemasan sekali pakai yang menyebabkan peningkatan limbah plastik. Lebih dari itu, pengawasan yang ketat dari BPOM juga memastikan bahwa konsumen tidak hanya mendapatkan produk berkualitas, tetapi juga dapat mengurangi dampak negatif plastik terhadap lingkungan.
Adanya kerjasama antara pihak-pihak berwenang, industri, dan konsumen, penggunaan sistem guna ulang pada produk kosmetik dapat menjadi bagian dari solusi untuk mengatasi krisis plastik dan menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Inisiatif BPOM dalam menerbitkan peraturan ini menunjukkan komitmen untuk mendukung praktik berkelanjutan dan mengawal keselamatan konsumen dalam menggunakan produk kosmetik yang ramah lingkungan. (Iqbal)