Anggota Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) yakni Nexus3 Foundation, dan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mengadakan diskusi publik bertajuk “Efektivitas dan Dampak Pembangunan TPST di Bali” guna mencapai solusi terbaik dari masalah yang ditimbulkan akibat pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Taman Baca Kesiman, Denpasar, Jumat (12/1/2024). Acara ini juga mempertemukan para warga terdampak untuk berdiskusi langsung bersama Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, PT Bali Citra Mutiara Plasma Power (CMPP).
Sebelumnya, beberapa warga terdampak di sekitar TPST Samtaku, Jimbaran, mengaku bahwa pembangunan TPST dibangun atas tanah pribadi penduduk, dan tidak untuk dilewati truk. Akibatnya, bau busuk dan asap yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah tersebut membuat beberapa warga sekitar berniat untuk pindah dan menjual tanah atau propertinya meski tidak berhasil.
Ketidaktransparanan dalam memberikan informasi kepada warga selama proses pembangunan menjadi penyebab utama kekecewaan. Warga merasa tidak hanya kurang diinformasikan, tetapi juga merasa dibohongi, khususnya dalam konteks sosialisasi awal terkait pembangunan pengelolaan sampah plastik yang sebenarnya adalah TPST yang memproses bahan refuse derived fuel (RDF).
“Mereka bilang kalau akan buat pabrik plastik, bukan pabrik sampah,” ujar Ni Made Puri, salah satu warga terdampak dari TPST Samtaku, Jimbaran
Hal sama juga terjadi di TPST Kesiman Kertalangu. Warga mengeluhkan bau busuk dari pengolahan di fasilitas yang baru diresmikan awal tahun 2023. Sehingga menimbulkan gangguan kesehatan bagi warga sekitar. Menurut warga Biaung, pihak TPST dianggap sudah melanggar kesepakatan awal bahwa kegiatan di TPST tidak akan menimbulkan bau. Sehingga warga meminta agar TPST dapat relokasi.
“Saya sudah bosan dengan menyalahkan siapapun, solusi juga mentok dimana? Ditutup nggak bisa, dijalankan juga nggak bisa, dan malah menghasilkan bau merugikan masyarakat. Kita itu hidup bukan hanya uang, tapi lingkungan juga harus kita jaga,” tegas warga Biaung, Oka Widiantara.
“Kami disuruh untuk melakukan pemilahan, ketika sudah memilah, tapi pengangkutannya masih tercampur. Masyarakat lagi yang disalahin. Pemerintahnya saja tidak mencontohkan yang baik, bagaimana masyarakat juga akan ikut?,” tambahnya.
Pembangunan TPST Kertalangu menciptakan keprihatinan serius di kalangan warga terutama akan dampak lingkungan yang mungkin terjadi. Sebab, lokasi TPST berada di dekat pemukiman warga, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan hingga panti jompo. Laporan dari warga juga mengungkapkan terdapat dua anak-anak yang terserang penyakit pernafasan hingga dirawat di rumah sakit setempat sejak TPST beroperasi.
Dalam mengatasi bau, pihak pengelola yakni PT Bali CMPP sempat memberhentikan fasilitas TPST untuk sementara waktu. Saat ini kapasitas TPST Kesiman Kertalangu hanya mampu mengolah 290 ton dari 450 ton yang direncanakan. Menurutnya, hal ini karena RDF yang dihasilkan harus menyesuaikan dengan spesifikasi yang diminta oleh pembeli (offtaker).
“Kita menampung keluh kesah masyarakat, makanya ada Monitoring dan Evaluasi (Monev) yang indikatornya adalah masyarakat. Jadi ada hubungan harmonisasi dengan pihak masyarakat. Kami sudah membuat sebuah teknologi, tapi untuk memfiltrasi semua sampah yang masuk juga bukan hal yang mudah,” ujar General Manager PT Bali CMPP, R. Agung Priyanto saat hadir dalam diskusi.
Menanggapi keluhan warga, DKLH Provinsi Bali menjelaskan bahwa kondisi yang terjadi saat ini diakibatkan karena TPA Suwung yang sudah melebihi kapasitas dan sudah tidak dapat menampung sampah lagi.
“Tolong masyarakat pilah sampah mandiri dari rumah, jangan sampai terfermentasi lalu tercampur baru diangkut hingga TPST. Jika sampah fresh dan bersih, ketika diolah di TPST maka tidak akan bau,” jelas Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan DKLH Provinsi Bali, I Made Dwi Arbani.
Di sisi lain, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Rezky Pratiwi menyayangkan sikap Pemerintah yang tidak menyasar pada perubahan sistem. Menurutnya, pembangunan fasilitas TPST tidak ada edukasi kepada masyarakat terlebih dahulu. Sehingga, timbunan sampah tercampur di TPST menyebabkan bau busuk di sekitarnya. Selain itu, LBH juga menilai itikad baik yang disampaikan oleh pihak pengelola maupun pemerintah tidak sesuai sejak awal sebab ketidakikutsertaan masyarakat dalam pembangunan. Tidak adil jika masyarakat disalahkan dan disuruh mencari solusinya, sedangkan dalam tahap perencanaan pembangunannya saja, tidak diikutsertakan.
“Apakah ini bagian dari perencanaan? Arah kebijakannya mana? Komponen dan programnya itu apa? Semestinya itu ada, mulai dari pengurangan dan penanganan. Terakhir ada target. Ketika dalam proses ini ada pelanggaran, masyarakat bisa saja menggunakan hak-haknya sebagai warga, untuk melakukan upaya-upaya hukum, seperti melayangkan gugatan, ini wajar dilakukan,” tegas Rezky.
Dalam proses diskusi tersebut, Senior Advisor, Yuyun Ismawati juga menyoroti tidak adanya ijin AMDAL/UKL–UPL yang dikeluarkan, terlebih melihat kondisi TPST Samtaku yang berada di tengah-tengah pemukiman warga. Menurutnya, niat untuk menyelesaikan masalah ini, malah menimbulkan masalah baru. Yuyun mengungkapkan pendirian TPST tidak ada izin lingkungan.
“Niatnya menyelesaikan masalah tapi kenyataannya malah bikin masalah baru dan jadi lebih toksik. Bikin pabrik racun tanpa izin lingkungan, pakai uang negara dan pembayar pajak. Pada akhirnya, masyarakat yang menjadi korban dan BPJS dijebol. Masalah kesehatan bermunculan karena lingkungan tercemar dan kehilangan potensi ekonomi,” kata Yuyun.
“Kementerian dan Lembaga negara yang bertanggung jawab atas pengelolaan sampah yang berkelanjutan perlu memperbaiki komitmen dan keseriusan mereka dalam membina pemerintah daerah dan merealisasikan strategi nasional,” tambahnya.
Mengamini hal yang sama, Direktur PPLH Bali Catur Yudha juga menyebutkan bahwa pembangunan TPST tidak memperhatikan persiapan dan edukasi di masyarakat sebelumnya. Sebaliknya, pemerintah malah membangun fasilitas tanpa memberikan pendidikan tentang cara memilah sampah sejak awal.
“Sebelum membangun persiapan penting adalah konsultasi dan edukasi kepada masyarakat secara mendalam dan jujur. Proses ini tidak bisa dibalik, membangun TPST dulu kemudian baru berkonsultasi dan edukasi. Alhasil sampah yang masuk TPST tercampur, menimbulkan bau dan sangat merugikan semua pihak terutama warga,” jelasnya.
Tak hanya itu, Catur juga menambahkan kunci menyelesaikan masalah sampah yakni ada pada tauladan pemimpin, kemudian pendampingan warga yang terus menerus dilakukan, agar mampu memilah dan mengurangi sampah dari sumber.
“TPST Samtaku dan TPST Kesiman Kertalangu merupakan dua dari beberapa TPST yang dibangun di Bali. Meskipun telah dibangun, operasional kedua TPTS tersebut ternyata belum berjalan optimal. Mari kaji ulang agar semua dapat pembelajaran untuk perbaikan,” tutupnya.
Sebagai informasi, sejak pemberitaan TPA Suwung sudah mencapai batas kapasitasnya dan akan segera ditutup, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembangunan TPST di berbagai wilayah sebagai antisipasi penutupan TPA. TPST menjadi alternatif pengolahan sampah di Bali yang direncanakan dapat mengolah sampah organik dan anorganik menjadi kompos, bahan daur ulang dan bahan refuse derived fuel (RDF) sebagai upaya mendukung Pemerintah mengurangi pencemaran sampah plastik. Namun di beberapa wilayah, operasional TPST masih menjadi pro dan kontra bagi warga sekitar. TPST Samtaku dan TPST Kesiman Kertalangu merupakan dua dari beberapa TPST yang direncanakan untuk dibangun di Provinsi Bali. Meskipun telah dibangun, operasional kedua TPST tersebut belum berjalan optimal.
Kontak media:
Ola, Staf Komunikasi Nexus3 Foundation, ola@nexus3foundation.org, +62877700776609
Kia, Staf Komunikasi Aliansi Zero Waste Indonesia, kia@aliansizerowaste.id, +6285215809537
Tentang Nexus3 Foundation
Yayasan Nexus3 (sebelumnya dikenal sebagai Yayasan BaliFokus) bekerja untuk melindungi masyarakat, terutama kelompok rentan, dari dampak pembangunan terhadap kesehatan dan lingkungan, demi terciptanya masa depan yang adil, bebas racun dan berkelanjutan.
Tentang PPLH Bali
PPLH Bali adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat. PPLH Bali merupakan pengembangan dari PPLH Seloliman yang berdiri sejak tahun 1990. Memiliki misi dalam meningkatkan kapasitas masyarakat dalam kesadartahuan akan pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan teknologi dan data base dalam pengelolaan lingkungan, melakukan praktek nyata pendidikan lingkungan hidup dan pendampingan masyarakat dalam mencegah dan pelestarian lingkungan sesuai dengan kearifan budaya lokal, meningkatkan usaha ekonomi pengelolaan lingkungan berbasis sosial dan ramah lingkungan, serta menjalin kerjasama dengan berbagai lapisan masyarakat, sekolah, akademisi, NGO lokal dan internasional, swasta dan pemerintah.
Tentang Lembaga Bantuan Hukum (Bali)
YLBHI – LBH Bali adalah lembaga yang bergerak dalam mendorong akses keadilan, pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia melalui penyediaan bantuan hukum. YLBHI – LBH Bali menyediakan bantuan hukum untuk rakyat miskin, buta hukum, dan korban pelanggaran HAM. Ruang lingkup kerja bantuan hukum YLBHI – LBH Bali meliputi pendampingan dan konsultasi hukum, pemberdayaan hukum dan pengorganisasi masyarakat, riset dan kampanye hingga advokasi kebijakan.
Tentang Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI)
Organisasi non pemerintah yang terdiri dari YPBB, GIDKP, Nexus3 Foundation, PPLH Bali, ECOTON, ICEL, Nol Sampah Surabaya, Greenpeace Indonesia, Gita Pertiwi dan WALHI. AZWI mengkampanyekan implementasi konsep Zero Waste yang benar dalam rangka pengarusutamaan melalui berbagai kegiatan, program, dan inisiatif Zero Waste yang sudah ada untuk diterapkan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia dengan mempertimbangkan hirarki pengelolaan sampah, dan siklus hidup material.