Siaran Pers
Untuk dirilis segera
Jakarta, 27 Februari 2024 – Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bersama Lentera Anak dan Nexus3 Foundation mengadakan webinar bertajuk “Dampak Filter Plastik Puntung Rokok Terhadap Kesehatan dan Lingkungan” guna membahas kedaruratan dari sampah puntung rokok yang selama ini yang selama ini kurang jadi perhatian di ranah publik, sebagai bentuk memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2024. Webinar ini diisi oleh para pakar lingkungan, diantaranya yakni Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati, Jalal dari Komite Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundara. Webinar ini juga dihadiri Ujang Solihin selaku Kepala Sub Direktorat Tata Laksana Produsen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai penanggap, dan didampingi Soraya Haque sebagai moderator.
Puntung rokok adalah barang yang paling banyak dibuang sembarangan secara global. Sekitar 4,5 triliun filter rokok dibuang ke lingkungan setiap tahunnya. Sampah ini dengan mudah dibawa melalui aliran air hujan melalui sistem drainase dan akhirnya sampai ke sungai, sungai lokal, dan jalur air lainnya. Survei Kualitas Lingkungan Lokal di Inggris pada tahun 2017 menunjukkan bahwa 52% perokok yang merokok setiap hari menganggap membuang rokok di saluran air adalah hal yang lumrah.
“Puntung rokok adalah benda paling banyak berserakan di bumi. Selain itu terdapat berbagai macam zat berbahaya beracun yang terkandung di dalamnya, sehingga jika terbuang ke dalam air maka akan dapat mencemari biota-biota, dan jika dalam jumlah dan volume tertentu dapat membunuh 50% populasi yang ada,” kata Senior Advisor Nexus3 Foundation sekaligus Dewan Pengarah AZWI, Yuyun Ismawati.
Berdasarkan laporan WHO, bahan kimia berbahaya yang terlarut dari filter yang dibuang (termasuk nikotin, arsenik, dan logam berat) dapat bersifat toksik bagi lingkungan. Dari setiap rokok mengandung lebih dari 7.000 bahan kimia dan penelitian menunjukkan bahwa satu filter dapat mencemari hingga 40 liter air. Terlebih dari itu, filter pada puntung rokok membutuhkan waktu sedikitnya 15 tahun untuk terurai. Selama proses ini, ribuan serat mikroplastik terbentuk. Hal ini karena puntung filter yang terdapat di ujung rokok terbuat dari asetat selulosa yang dapat terdegradasi oleh cahaya.
“Selama 40 tahun produsen rokok telah membohongi publik. Filter rokok yang mengandung cellulose acetate yang memang diproduksi (man-made). Dalam kondisi normal produk yang terdapat kandungan tersebut termasuk produk cacat. Dalam campuran filter itu juga bermacam-macam ditambahkan supaya tidak terbakar dan tidak basah. Racunnya sangat banyak,” jelas Yuyun.
Sementara itu, sampah filter rokok yang tersebar seharusnya menjadi tanggung jawab dari produsen tembakau. Perwakilan Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Jalal menyebutkan saat ini Industri rokok merupakan contoh dari Corporate Social Irresponsibility. Artinya industri tidak bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan karena masih menggunakan zat karsinogenik, yang bertentangan dengan standar ISO 26000 untuk tanggung jawab sosial perusahaan.
“Seharusnya, tanggung jawab ini melihat dari dampak yang ditimbulkan dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan. Prinsipnya perlu mengacu pada ISO 2010 pada dokumen “Guidance on Social Responsibility” yang meliputi akuntabilitas, transparansi, perilaku etis, penghormatan kepada kepentingan stakeholder, kepatuhan kepada hukum, penghormatan, kepada norma perilaku internasional, penegakan HAM,” tegasnya.
Melihat besarnya dampak kesehatan dan lingkungan yang disebabkan filter puntung rokok, para pakar sepakat perlu ada keseriusan dari pihak pemerintah untuk mengklasifikasikan sampah tersebut dalam kategori B3 dan meninjau kembali peraturan terkait cukai rokok. Sebab, menurut Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari, diperlukan sistematika perhitungan khusus atas dampak yang ditimbulkan, seperti menimbang faktor dari ekonomi kesehatan.
“Betul memang Indonesia negara dengan penerimaan dari cukai rokok yang tinggi hingga 126 Triliun, tapi cukai bukanlah pendapatan namun pajak dosa yang harus dibayarkan karena membahayakan kesehatan dan lingkungan. Biaya cukai yang 126 Triliun itu jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk penyakit yang disebabkan karena rokok itu mencapai 3x lipatnya,” paparnya.
“Berdasarkan best practices dari WHO cukai rokok itu seharusnya 80%, sedangkan aturan dalam UU di Indonesia hanya 57%. Prakteknya pun masih jauh dari itu,” tambah Lisda.
Tak hanya Lisda, Jalal juga mengamini hal yang sama. Menurutnya, jika cukai rokok juga memperhitungkan dampak yang ditimbulkannya terhadap kesehatan dan lingkungan, maka nilainya akan lebih dari jumlah ekonominya. Hal ini lah yang menjadikan harga rokok di negara tetangga lebih mahal dari Indonesia. Oleh karena itu, kerjasama antar organisasi kesehatan dan lingkungan, kampanye publik dan advokasi kebijakan, penguatan aturan terkait pertanian tembakau, mendorong peningkatan cukai rokok, dan menuntut secara hukum industri rokok yang tidak bertanggung jawab sangat krusial untuk dijalankan.
Mengakhiri webinar ini, Kepala Sub Direktorat Tata Laksana Produsen KLHK, Ujang Solihin mengatakan sepakat atas rekomendasi yang telah disampaikan para pakar. Meski demikian, edukasi tetap perlu terus dilakukan untuk memberikan wawasan kepada masyarakat terhadap dampak dari sampah puntung rokok itu sendiri.
“PR terbesar kami dari pemerintah, khususnya KLHK, ada dua. Pertama, untuk menyatakan apakah sampah ini bisa dikategorikan sebagai sampah B3. Kedua, terkait penelitian dan pengembangan, penting bagi Indonesia untuk mengkaji dampak ini terhadap lingkungan dan ekosistem. Terhadap kesehatan juga, bukan dari sisi tembakaunya saja, tapi juga sampahnya. Kami juga sepakat terkait EPR, bahwa pemerintah perlu menyusun peta jalan pengurangan sampah dari puntung rokok,” tutupnya.
Rekomendasi para pakar:
- EPR harus diterapkan sehingga puntung rokok bisa diambil dan dibawa ke tempat pemrosesan sampah dengan biaya produsen itu sendiri, tidak dibebankan ke pemerintah kota maupun nasional
- Mengembangkan roadmap penanganan puntung rokok, karena ini merupakan salah satu dari Top 10 sampah yang selalu akan ada di Indonesia
- Mendukung penelitian yang lebih masif tentang bahaya puntung rokok dan proses daur ulang yang aman
- Sebagai salah satu produsen dan eksportir dari fiber cellulose acetate ini, kita perlu dorong produsen untuk mencari pengganti bahan filter dari puntung rokok sebagai pihak yang punya sumber daya. Ada material atau bahan lainnya yang bisa dipakai sebagai pengganti
- Meninjau lagi kebijakan tax holiday di Indonesia untuk industri pencemar, seperti tax
- Mendukung negosiasi perjanjian plastik dalam Global Plastic Treaty.
***
Kontak media:
Kia, Staf Komunikasi Aliansi Zero Waste Indonesia, kia@aliansizerowaste.id, +6285215809537
Tentang Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI)
Organisasi non pemerintah yang terdiri dari YPBB, Dietplastik Indonesia Nexus3 Foundation, PPLH Bali, ECOTON, ICEL, Nol Sampah Surabaya, Greenpeace Indonesia, Gita Pertiwi dan WALHI. AZWI mengkampanyekan implementasi konsep Zero Waste yang benar dalam rangka pengarusutamaan melalui berbagai kegiatan, program, dan inisiatif Zero Waste yang sudah ada untuk diterapkan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia dengan mempertimbangkan hirarki pengelolaan sampah, dan siklus hidup material.
Tentang Lentera Anak
Lentera Anak adalah lembaga independen dalam perlindungan dan pemenuhan hak anak dan juga merupakan anggota Stop Tobacco Pollution Alliance (STPA) yang bertujuan mempromosikan keselarasan antara WHO FCTC and Plastics Treaty. Cita-cita Lentera Anak adalah mendukung terwujudnya Indonesia sebagai Negara Demokratis yang Ramah Anak. Untuk mencapai cita- cita tersebut, Lentera Anak mengambil upaya intervensi lebih dini yaitu preventif dan promotif dengan melibatkan komunitas, keluarga bahkan anak itu sendiri juga stakeholder lainnya termasuk pengambil kebijakan melalui edukasi, pemberdayaan, kampanye, studi dan kajian serta advokasi kebijakan yang ramah anak. lenteraanak.org / lenteraanak.or.id
***