Kenyamanan dan kepraktisan yang ditawarkan oleh popok sekali pakai atau diaper bagi ibu-ibu dalam mengasuh buah hatinya ternyata meningkatkan volume pemakaiannya serta menyisakan permasalahan lingkungan yang tidak hanya mencemari lingkungan, namun juga kesehatan manusia.
Di Indonesia sendiri, Departemen Kesehatan (Depkes) di tahun 2016 mencatat angka usia batita (bayi dibawah umur tiga tahun) sebesar 14.333.515 jiwa. Bila seorang bayi menggunakan setidaknya 6 popok dalam sehari berarti estimasi ada 86 juta popok sekali pakai bekas yang dibuang tiap harinya.
Tak heran, menurut riset World Bank pada tahun 2017, sampah popok sekali pakai menjadi sampah kedua terbesar yang berada di lautan, bahkan mengalahkan kresek atau plastik sekali pakai. Berdasarkan riset tersebut, komposisi sampah di laut didominasi sampah organik (44%), popok atau diapers (21%), tas kresek atau plastik (16%), sampah lain (9%), pembungkus plastik (5%), beling kaca, metal (4%), botol plastik (1%).
Kajian Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) juga menunjukkan, setidaknya ada tiga juta popok bekas pakai bayi yang tinggal di sekitar aliran Sungai Brantas setiap hari. Popok dengan feses yang mengandung bakteri E-coli mengendap di sungai yang digunakan minimal 6 juta warga sebagai sumber air untuk kehidupan sehari-hari.
ECOTON membentuk Brigade Evakuasi Popok (BEP) untuk mengidentifikasi persebaran polusi sampah popok di Kali Brantas. Evakuasi BEP pada 16 kota dan kabupaten yang dilewati aliran Sungai Brantas, mulai Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang, Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Kota Blitar. Kabupaten Blitar, Kabupaten Tulungagung. Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Nganjuk, Kota Batu, Kabupaten Malang dan Kota Malang. Hasilnya, menegaskan Sungai Brantas sebagai tempat pembuangan sampah popok dengan komposisi popok bayi (98%) juga popok dewasa (1,9%), sisanya pembalut perempuan.
Di Kali Surabaya (anak kali Brantas) BEP juga menemukan kondom dalam aliran sungai. Dari pengangkatan sampah di bantaran sungai dan yang tersangkut di kaki jembatan, dari 1×1 meter ditemukan 60% popok, 30% plastik kresek, sisanya sampah organik, karet, dan kayu. Kesimpulan lain BEP, tak ada standar operasi atau prosedur penanggulangan sampah popok.
“Sampah popok yang berhasil dievakuasi BEP masih banyak tertempel feses. Seharusnya sebelum dibuang, kotoran bayi ini dibuang dalam septic tank,” kata Direktur ECOTON, Prigi Arisanadi seperti dikutip dari Mongabay.co.id.
Dampak Pencemaran Popok ke Sungai
Senada dengan Prigi, Koordinator Zero Waste (ECOTON), Tonis Afrianto mengatakan hal ini tentunya menjadi masalah yang besar, terutama jika sampah popok sekali pakai tersebut tidak memiliki penanganan khusus dalam pengelolaannya. Alhasil, sampah popok bisa berada dimana saja, termasuk di sungai, laut dan akhirnya mencemari sumber penghidupan manusia.
“ECOTON mendapati problem kultural di masyarakat dimana sebagian masyarakat masih percaya dengan adanya mitos bahwa popok bayi tidak boleh dibakar karena bisa membuat kulit bayi iritasi atau si bayi bisa sakit. Ini yang mengakibatkan pencemaran mikroplastik di sungai tinggi, salah satunya disebabkan oleh popok,” kata Tonis saat dihubungi AZWI beberapa waktu lalu.
Di Indonesia bahan baku popok 55 persen adalah bahan sintetik buatan yang termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti plastik, juga absorben, gel, pelembut, phtalat, pewangi dan pemutih dikategorikan senyawa pengganggu hormon. Material tersebut tidak gampang terurai dengan sendirinya. Popok sekali pakai ini memerlukan waktu 500 tahun untuk dapat terurai dengan tanah.
Menurutnya Tonis, popok di Indonesia sudah ketinggalan zaman karena menggunakan teknologi tidak ramah lingkungan sehingga sampahnya sulit untuk didaur ulang. Dampaknya, terjadi penyimpangan ekosistem perairan berupa dominasi ikan betina (80%). Penelitian Universitas Brawijaya tahun 2013 menunjukkan, 25% ikan bader di Kali Mas Surabaya di hilir Brantas mengalami intersex.
Tonis juga menyebutkan ancaman lain di Kali Brantas yakni pencemaran bahan baku PDAM Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan tumpuan irigasi pertanian yang mendukung 20% stok pangan nasional.
“ECOTON mendorong penyelesaian problem popok dari hulu masalah yaitu melibatkan produsen dalam penanganan sampah popok dan desain produk. Kami juga mendorong Pemerintah agar segera menerapkan prinsip EPR (extended producer responsibility) yaitu mengintegrasikan biaya penanganan sampah popok kedalam biaya produksi,” jelasnya.
Pentingnya Keberadaan Droppo
Selain itu, solusi yang juga ditawarkan oleh ECOTON saat ini adalah DROPPO atau Dropping Point Popok/tempat penampungan popok sementara. Menurut Tonis, dengan menempatkan droppo di pemukiman padat, tepi sungai, sarana perahu penyeberangan dan jembatan penyebrangan dapat mengatasi penanganan lebih lanjut pada jenis sampah tersebut.
Saat ini, Droppo hanya ada di Desa Wringinanom, Kab. Gresik. Ketika sampah popok sekali pakai yang ada di Droppo penuh, petugas DLH akan mengambil kemudian diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) selama satu kali dalam seminggu.
“Program ini sudah berlangsung cukup lama, kurang lebih sudah 4 tahun.Tetap konsisten berjalan sampai sekarang. Dulunya tersebar di berbagai tempat, tetapi sekarang dijadikan satu tempat untuk memudahkan pengangkutan,” papar Tonis.
Terakhir, Tonis berharap droppo dapat diduplikasi di berbagai tempat di Indonesia, khususnya sepanjang aliran sungai-sungai, dimana sumber bahan baku utama kehidupan manusia berada. Tak hanya itu, ia berpesan agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan kementerian lain termasuk Kementerian Perindustrian, BPOM dan Kementerian Kesehatan mulai mewajibkan produsen mencantumkan larangan membuang popok ke sungai. Juga mencantumkan standar penanganan popok bekas.
“Kategori limbah B3 memang harus diperlakukan berbeda, sedangkan di Indonesia masih belum banyak fasilitas pengolah limbah B3. Untuk itu, kami akan terus mendorong penggunaan popok kain kepada masyarakat Indonesia dan khususnya pemerintah, ayo segera pertegas regulasi soal tanggung jawab produsen terhadap sampah mereka dan buat standar khusus untuk penanganan popok bekas,” pungkasnya. (Kia)