Kemasan suatu produk hampir selalu berakhir menjadi sampah dan turut memperparah permasalahan sampah plastik yang tengah dunia hadapi. Meski demikian, yang pertama kali disalahkan biasanya soal minimnya kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam pengelolaan sampah. Padahal, peran produsen terhadap pencemaran plastik jauh lebih besar.
Beberapa program dan aturan telah dibuat pemerintah agar produsen bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari produk yang dihasilkannya. Salah satunya yakni Extended Producers Responsibility (EPR).
Asal mula EPR
Extended Producers Responsibility (EPR) menurut OECD (Organisation Economic Co-operation and Development) adalah program yang bertujuan untuk membuat produsen bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari produk mereka di seluruh rantai produk, dari mulai desain sampai dengan fase pasca-konsumen. Diharapkan bahwa ini akan meringankan beban pemerintah dalam mengelola end-of produk, mengurangi jumlah limbah yang dibuang ke pembuangan akhir, dan meningkatkan tingkat daur ulang.
Program ini dimulai pada tahun 1980-an pada beberapa negara sebagai kebijakan lingkungan. Konsep ini pada negara eropa sangat efektif untuk mengurangi jumlah timbulan di landfill serta mengurangi biaya pemerintah untuk mengolah sampah akhir.
Awalnya, prinsip-prinsip EPR diperkenalkan pada pertemuan World Summit Sustainable Development pada 2002 di Johannesburg. Walaupun tidak menyebut istilah EPR, pertemuan tersebut merekomendasikan upaya sustainable production and consumption (produksi dan konsumsi yang berkelanjutan).
Selanjutnya barulah berdasarkan kesepakatan pada pertemuan Negara G-8 tahun 2003 hingga 2005, EPR yang termasuk dalam komponen 3R (reduce, reuse, recycle) dirumuskan. Pertemuan 3R selanjutnya yang dilaksanakan di Tokyo pada 2005 dan 2006 membahas lebih spesifik tentang EPR. Begitu juga konferensi 3R se Asia Timur dan ASEAN di Manila pada Februari 2006.
Konsep EPR
Dalam prakteknya konsep EPR dapat diterapkan dengan mengajak pelaku industri untuk ikut bertanggung jawab terhadap produk yang mereka keluarkan, terutama produk kemasan yang kemudian akan menjadi end product. Dikutip dari beberapa penelitian, beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam EPR ini adalah dengan melibatkan industri menerapkan green product terhadap kemasan yang digunakan, serta penarikan kembali kemasan yang sudah menjadi end product.
Pada akhirnya semua stakeholder yang mempunyai potensi menghasilkan sampah ikut serta berperan dalam mereduksi sampah yang dihasilkan, sehingga diharapkan sampah yang pada akhirnya masuk ke dalam landfill dapat berkurang.
Ada 4 kategori kebijakan yang dikembangkan dalam penerapan konsep EPR menurut OECD, yaitu :
- Produsen melakukan take back kemasan yang menjadi sampah dari produknya dengan mendirikan pusat daur ulang dengan melibatkan konsumen dalam pengumpulan sisa produk mereka. Pendekatan yang dilakukan dengan memberikan insentif kepada konsumen yang melakukan pengumpulan terhadap kemasan produk mereka.
- Pendekatan ekonomis:
- Deposit Refund yaitu dengan memberikan harga awal yang tinggi, tetapi akan akan pengurangan harga untuk produk tersebut jika konsumen mengembalikan kemasan akhir produk tersebut.
- Advanced Disposal Fee (ADF) yaitu biaya yang ditambahkan pada produk tertentu berdasarkan estimasi biaya pengumpulan dan pengolahan.
- Material Taxes yaitu pengenaan pajak tambahan yang diberikan kepada industri yang menggunakan material yang susah untuk di daur ulang pada produk yang dihasilkan. Nantinya pajak ini dialokasikan sebagai biaya pengolahan sampah daur ulang.
- Upstream combination tax/subsidy (UCTS) yaitu memberikan subsidi pajak untuk produsen yang dapat menarik kembali sampah yang dihasilkan dari produksi mereka.
3. Membuat peraturan mengenai standar minimal bahan yang dapat didaur ulang dan dikombinasikan dengan insentif pajak yang diterapkan, sehingga semua industri dapat menerapkan pada produk mereka masing masing.
4. Menerapkan instrumen berbasis informasi yang mendukung program EPR seperti menerapkan pelaporan program EPR, informasi pada pelabelan bahan produk dan komponen yang dapat didaur ulang, dan informasi kepada konsumen tentang pemisahan sampah.
Penerapan EPR di Indonesia
EPR di Indonesia telah diabadikan dalam Undang-Undang Pengelolaan Sampah 2008. Pasal 15 undang-undang tersebut menyatakan bahwa produsen bertanggung jawab atas pembuangan kemasan dan produk yang tidak dapat dikomposkan atau sulit untuk dijadikan kompos.
Masalahnya adalah bahwa tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang apa artinya ini bagi perusahaan dan bagaimana mereka harus mematuhi peraturan ini. Dalam peraturan tersebut tidak disebutkan apa-apa mengenai persyaratan pelaporan atau hukuman. Hasilnya: Peraturan tersebut tidak berdampak.
Dengan Perpres 81/2012, produsen diwajibkan menggunakan bahan daur ulang dan mengurus daur ulang kemasan. Peraturan 97/2017 (juga dikenal sebagai Jakstranas) dibangun di atas peraturan dari 2012 dan merumuskan target konkret untuk pengurangan limbah dan menetapkan berbagai langkah yang mungkin tentang bagaimana mencapai pengurangan ini. Dengan demikian, hingga 2025 sampah rumah tangga akan berkurang sebesar 30 persen dan 70 persen dari jumlah yang tersisa harus melalui proses perawatan.
Pemerintah kota diminta untuk mengembangkan pengurangan limbah beton dan rencana pengolahan untuk berkontribusi pada target keseluruhan. Target kota harus dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam perpres 97/2017 ini rencana pengelolaan sampah kota disebut sebagai Jakstrada.
Untuk memperkuat upaya industri, ditentukan, antara lain, bahwa target penghematan konkret harus ditetapkan dan bahwa rencana tabungan khusus perusahaan harus dikembangkan. Yang terakhir harus menguraikan bagaimana dan selama periode waktu apa masing-masing perusahaan yang bersangkutan berniat untuk mencapai target penghematan yang diuraikan.
Peta Jalan Pengurangan Sampah
Sejauh ini, puncak dalam hal pengembangan kerangka hukum EPR Indonesia adalah berlakunya Peraturan Menteri 75/2019. Ini juga disebut “Peta Jalan Pengurangan Sampah” yang menentukan implementasi target Jakstranas untuk industri barang konsumsi, sektor ritel, dan industri hotel dan restoran. Table 1 akan menunjukkan sektor dan sub-sektor yang disebutkan dalam peraturan di atas.
Table 1: Data Komposisi Sampah 2021
Sektor | Sub-Sektor |
Manufaktur | Industri makanan dan minuman;Industri barang konsumsi; dan Kosmetik dan industri perawatan pribadi. |
Layanan makanan dan minuman | Diners;Kafe;Restoran;Layanan katering; danHotel. |
Retail | Pusat perbelanjaan;Toko modern; danPasar tradisional. |
Produsen makanan, kosmetik dan barang-barang konsumen lainnya harus mengurangi limbah yang dihasilkan oleh produk mereka sendiri sebesar 30 persen pada tahun 2029, khususnya melalui daur ulang dan penggunaan kembali sumber daya. Untuk sektor ritel, pihaknya menetapkan larangan kantong plastik sekali pakai. Untuk hotel dan restoran, target penghematan dan daur ulang telah ditetapkan yang sebanding dengan industri.
Aktivitas | Detail |
Pembatasan pembuatan sampah | Melalui penggunaan produk, kemasan produk dan/atau wadah yang mudah didaur ulang dan yang menghasilkan limbah sesedikit mungkin; dan/atauDengan tidak menggunakan produk yang tidak dapat terdegradasi, kemasan produk dan /atau wadah. |
Pengolahan sampah | Melalui penggunaan bahan baku daur ulang dan/atau bahan baku daur ulang untuk produksi. |
Penggunaan kembali sampah | Melalui penggunaan bahan baku yang dapat digunakan kembali untuk produksi. |
Dengan “peta jalan pengurangan sampah” ini, pengembangan sistem EPR diharapkan dapat memperoleh momentum. Peraturan tersebut secara khusus membahas kemasan yang terbuat dari plastik, aluminium (kaleng), kaca dan kertas. Menurut peraturan tersebut, mulai 2030 dan seterusnya, akan ada larangan total pada sedotan plastik, kantong plastik dan kemasan polystyrene sekali pakai.
Sehubungan dengan penyimpanan limbah peraturan menyatakan bahwa fasilitas penyimpanan harus melindungi sumber daya yang dikumpulkan dari panas dan hujan, sumber daya harus disimpan dalam wadah tertutup dan harus diklasifikasikan berdasarkan bahan dan bentuk. Juga dinyatakan bahwa produsen dapat menciptakan kerja sama dengan bank sampah yang terdaftar di pemerintah, tempat pembuangan sampah yang menerapkan prinsip 3R dan pusat daur ulang.
Gambar 1: peta jalan pengurangan sampah
Peta jalan seperti yang ditampilkan pada gambar 1, dibagi menjadi tahap perencanaan, implementasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Tahap perencanaan telah ditetapkan untuk jangka waktu 2020-2022. Pada tahap ini perusahaan di sektor-sektor tersebut perlu menyerahkan strategi mereka kepada otoritas pemerintah. Untuk memudahkan proses, mengirimkan dokumen yang dibuat oleh instansi pemerintah.
Setelah tahap perencanaan, lembaga pemerintah dan produsen akan melakukan kontak secara dua tahunan, karena produsen perlu memantau kegiatan mereka dan pemerintah sedang meninjau proses dan mendukung produsen untuk mencapai target mereka.
Pada tahun 2021 produsen diharapkan untuk mengembangkan konsep take-back kemasan dan untuk memperkuat serta membangun kerja sama dengan bank sampah dan titik pengumpulan lainnya. Untuk tahun 2022 implementasi proyek percontohan dan studi dasar telah diramalkan.
Mulai 2023 dan seterusnya, implementasi konsep yang dikembangkan akan dimulai untuk mencapai target minimum pemerintah paling lambat pada tahun 2029. Sepanjang jangka waktu ini produsen perlu melaporkan prestasi mereka kementerian.
Lebih lanjut, peraturan tersebut menyebutkan insentif dan disinsentif. Berdasarkan kinerja dan tingkat kepatuhan oleh perusahaan regulasi dapat menerima pujian publik atau mengalami penjarahan publik. Insentif keuangan langsung atau disinsentif belum dipertimbangkan untuk produsen. Sebaliknya, pemerintah kota dapat menerima dukungan keuangan tambahan dari pemerintah pusat untuk kegiatan terkait pengelolaan sampah jika mereka berkinerja baik. Produsen harus membiayai kegiatan mereka sendiri.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bersama anggota terus mendorong implementasi konsep EPR di Indonesia. Sebab menurut Greenpeace Indonesia, upaya masyarakat sebagai konsumen untuk mengurangi sampah plastik dengan memilah sampah, beralih ke kemasan isi ulang atau guna ulang hingga kegiatan bersih pantai belum akan menyelesaikan masalah sampah plastik itu sendiri ketika pihak produsen selaku pemilik kemasan tidak bertanggung jawab atas kemasannya.
“Oleh karena itu pentingnya mendorong EPR ini diterapkan agar produsen bertanggung jawab bukan hanya sebatas pada kemasan pasca konsumsi tapi terhadap seluruh siklus dari produk yang mereka hasilkan,” jelas Ibar Akbar, Corporate Plastic Campaign Project Lead Greenpeace Indonesia saat dihubungi AZWI baru-baru ini. (Kia)