Selain pencemaran plastik di lautan dan darat, terdapat masalah yang lebih besar namun tak terlihat selama ini, dan turut andil dalam mempercepat krisis iklim. Sebuah penelitian baru berhasil menghitung bahwa dalam seluruh siklus gas rumah kaca (GRK) secara global. Itu hampir dua kali lipat dari emisi sektor penerbangan. Jika plastik adalah sebuah negara, maka ia akan menjadi penghasil emisi tertinggi kelima di dunia.
Sektor industri menjadi salah satu sektor penyumbang terbesar emisi karbon, termasuk industri pengolahan plastik. Normalnya, gas-gas karbon ini diperlukan untuk menjaga suhu bumi agar tetap hangat. Karena sifat gas rumah kaca mengikat panas matahari, akumulasi gas karbon di atmosfer yang terlalu tinggi akan meningkatkan suhu permukaan bumi hingga berujung pada pemanasan global. Ketidakseimbangan gas karbon yang terakumulasi inilah yang menyebabkan mengapa krisis iklim terjadi.
Dilansir dari The Conversation, saat ini permintaan plastik terus meningkat. Selama empat dekade terakhir, produksi plastik global meningkat empat kali lipat. Dengan 380 juta ton per tahun, kita memproduksi plastik 190 kali lebih banyak daripada yang kita lakukan pada 1950. Jika permintaan plastik terus tumbuh secara konsisten sebesar 4% per tahun, emisi dari produksi plastik akan mencapai 15% dari emisi global pada 2050 mendatang.
Dalam sebuah laporan, “Plastic & Climate: The Hidden Costs of a Plastic Planet,” yang dirilis oleh The Center International Environmental Law. Sebuah organisasi nirlaba menyebutkan bahwa jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari siklus produksi hingga pembuangan plastik terus meningkat. Hingga mencapai 2.8 Juta Metric Ton CO2. Itu setara dengan emisi karbon yang dihasilkan oleh 500 buah Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara, di tahun 2050.
Perjalanan Panjang Proses Produksi Plastik
Plastik memiliki siklus hidup yang panjang. Resin plastik berasal dari minyak bumi yang melalui proses ekstraksi dan penyulingan. Sehingga mendapatkan berbagai macam turunan minyak dan gas bumi. Termasuk salah satunya adalah Nafta yang merupakan bahan baku pembuatan plastik.
Nafta kemudian diolah lebih lanjut untuk menghasilkan pelet atau resin plastik. Proses ekstraksi, pemurnian hingga produksi pelet plastik ini membutuhkan energi yang besar. Sehingga menghasilkan emisi karbon yang juga besar.
Setelah menjadi pelet plastik, proses selanjutnya adalah mengirimkan pelet-pelet plastik ini ke tempat pengolahan dan pencetakan. Disini, pelet plastik akan diolah dan dicetak sesuai dengan bentuk yang diinginkan.
Proses pencetakan plastik ini membutuhkan suhu tinggi yang didapatkan dari pembakaran batu bara. Setidaknya menghasilkan emisi karbon sebesar 535 Juta Metric Ton CO2.
Dalam skala dunia, penelitian menunjukkan bahwa plastik menghasilkan jejak karbon sebesar 1.781 Million Metric Ton CO2. Sedangkan 60% dari emisi ini dihasilkan saat proses produksi dan transportasi minyak bumi hingga menjadi pelet-pelet plastik. Namun, strategi untuk mitigasi emisi GRK daur hidup plastik belum dievaluasi dalam skala global.
Urgensi mengurangi jejak karbon dari produksi dan konsumsi plastik
Beberapa upaya yang dilakukan untuk menangani permasalahan sampah plastik saat ini hanya fokus pada penanganan di hilir saja. Beberapa di antaranya pun masih berkutat pada solusi-solusi semu yakni teknologi termal dan daur ulang plastik yang tidak aman.
Industri pengolahan plastik menjadi hulu prioritas untuk mengendalikan jejak emisi karbon yang dilepas dari produksi pengolahan plastik. Industri harus sudah mulai memikirkan bagaimana melakukan efisiensi konsumsi energi dalam setiap tahap pengolahan produk seperti transisi ke sistem zero-carbon. Perlunya mengintegrasikan strategi energi, material, daur ulang, dan manajemen permintaan untuk mengekang peningkatan emisi GRK siklus hidup dari plastik.
“Jika produsen manufaktur terus memproduksi produknya dalam kemasan plastik sekali pakai maka akan semakin mengancam iklim global karena hampir setiap tahap siklus hidup plastik melepaskan gas rumah kaca, sehingga perlunya tanggung jawab dan transparansi dari produsen manufaktur untuk mengurangi produksi kemasan plastik sekali pakai,” ujar Corporate Plastic Campaign Project Lead, Ibar Akbar saat dihubungi Aliansi Zero Waste Indonesia, Jumat (17/03).
Konsumsi plastik
Baru-baru ini, laporan yang dirilis oleh Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) menjelaskan bahwa sistem ‘Zero Waste’ adalah cara tercepat dan paling terjangkau untuk mengupayakan agar pemanasan global tidak melebihi 1.5°C. Potensi pengurangan emisi karbon dari pengelolaan sampah secara global telah dikaji dengan mengambil studi kasus dari 8 kota di dunia termasuk di Bandung, di mana menunjukkan bahwa rata-rata kota-kota ini bisa mengurangi emisi GRK sebesar 84% pada tahun 2030, bila strategi zero waste diterapkan secara penuh.
Sektor pengelolaan sampah menyumbang sekitar 3.3% emisi gas rumah kaca (GRK) global, dan menjadi penyumbang emisi gas metana terbesar kelima. Perbaikan sistem pengelolaan seperti pengurangan pemakaian plastik, pemisahan sampah sejak dari sumber, daur ulang dan pengomposan dapat memotong emisi dari sektor persampahan lebih dari 1.4 juta ton, setara dengan emisi dari 300 juta mobil per tahun – atau setara dengan berhentinya semua kendaraan bermotor di Amerika Serikat selama 1 tahun.
Namun, angka tersebut tidak menghitung dampak potensial dari sistem pengelolaan sampah saat ini. Setidaknya 70% dari emisi global berasal dari alur ekonomi material pada keseluruhan proses industri manufaktur, transportasi, produksi dan penanganan sampah produk dan kemasan.
Studi kasus Kota Bandung menunjukkan bahwa bila Kota Bandung menerapkan teknologi termal berbasis sampah tercampur sebagai kebijakan utama, maka emisi karbon yang dihasilkan 4 kali lebih besar dibandingkan dengan pendekatan zero waste.
“Walaupun penggunaan teknologi termal membuat emisi karbon di TPA hampir tidak terjadi lagi, namun sumber emisi karbon berpindah ke insinerator itu sendiri, di mana pada tahun 2030 skenario berbasis teknologi thermal menghasilkan emisi GRK sebesar 312 ribu ton, walaupun pengurangan emisi karbon dari produksi energi telah diperhitungkan,” tegas Climate and Clean Energy Campaigner dari GAIA Asia Pasifik, Yobel Novian Putra.
”Sumber terbesar emisi karbon dari insinerator adalah pembakaran plastik. Hal ini karena plastik dibuat dari minyak bumi dan proses pembuatannya juga menghasilkan banyak emisi karbon. Menganggap sampah sebagai sumber energi terbarukan adalah sebuah kesalahan. Untuk setiap ton plastik yang dibakar, misalnya, akan melepaskan sekitar 3 ton CO2,” pungkasnya. (Kia)