Dalam pengelolaan sampah perkotaan, penggunaan insinerator sering kali menjadi topik perdebatan yang kontroversial. Meskipun beberapa pihak berpendapat bahwa insinerator merupakan solusi yang efektif dalam mengatasi permasalahan sampah, namun saat ini salah satu jenis teknologi termal ini bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan sampah.
Indonesia sendiri sudah memiliki 12 kota yang diamanatkan untuk membangun proyek insinerator untuk memusnahkan sampah. Ini biasa dikenal dengan Pembangit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Pembangunan PLTSa muncul akibat pandangan bahwa timbunan sampah merupakan bagian dari permasalahan keindahan kota. Diantara 12 kota tersebut, yakni DKI Jakarta, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang dan Kota Manado.
Pandangan ini tercantum dalam konsideran Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Banyaknya timbunan sampah mengakibatkan suasana kota tidak enak dipandang. Dengan pandangan seperti ini, tidak heran jalan keluar yang diambil adalah membakar sampah hingga hangus. Padahal, jelas-jelas hal ini keliru, sebab Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah memandang permasalahan sampah sebagai permasalahan lingkungan hidup dan kesehatan, bukan permasalahan keindahan kota.
Dampak Lingkungan dan Kesehatan
Dampak lingkungan dari adanya proses pembakaran sampah di insinerator acapkali dikesampingkan. Padahal, proses ini menghasilkan emisi gas berbahaya, termasuk gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan oksida nitrogen. Meskipun insinerator modern dilengkapi dengan sistem pemurnian gas buang, tetap ada risiko terjadinya polusi udara dan pencemaran lingkungan.
Menurut Peneliti Hukum pada Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah, insinerator membuang emisi berupa dioksin, senyawa yang dikenal paling beracun. Pencemaran dioksin dapat menimbulkan penyakit kanker, permasalahan reproduksi dan perkembangan, kerusakan pada sistem imun dan mengganggu hormon.
Merkuri dan partikel halus adalah senyawa lainnya yang dibuang oleh insinerator ke udara. Paparan merkuri dapat berdampak buruk pada sistem saraf dan perkembangan otak anak. Partikel halus dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi paru, kanker, serangan jantung, dan kematian dini.
Selain emisi beracun, insinerator juga menghasilkan abu yang masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3). Penanganan abu ini menjadi lebih mahal karena sifatnya yang berbahaya. Pengalaman di Amerika Serikat dan Norwegia menunjukkan adanya ancaman pencemaran udara dan air akibat kebocoran abu tersebut. Fakta ini sekaligus juga menunjukkan bahwa insinerator sebenarnya tidak memusnahkan seluruh sampah. Cukup jelas bahwa lingkungan dan kesehatan terancam oleh operasi insinerator.
Penggunaan Sumber Daya yang Tidak Efisien
Selain karena ancaman kesehatan dan lingkungan, insinerator juga membutuhkan sumber daya yang besar, termasuk bahan bakar seperti gas alam atau minyak. Proses pembakaran sampah menghasilkan energi dalam bentuk panas atau listrik, namun sering kali efisiensi energinya rendah. Sumber daya yang digunakan untuk mengoperasikan insinerator mungkin lebih baik digunakan untuk pengembangan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Ketergantungan terhadap Sampah
Penggunaan insinerator juga sejatinya dapat menghambat perubahan perilaku di masyarakat. Insinerator dapat menciptakan ketergantungan terhadap sampah sebagai sumber energi. Hal ini dapat mengurangi insentif untuk mengurangi dan mendaur ulang sampah. Fokus yang terlalu besar pada pembakaran sampah melalui insinerator dapat menghalangi pengembangan solusi pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan, seperti pengurangan, pemilahan, serta pengelolaan sampah sedekat mungkin dari sumbernya.
Alternatif yang Lebih Baik
Sebagai alternatif, pendekatan yang lebih baik dalam pengelolaan sampah adalah dengan memprioritaskan hirarki pengelolaan limbah. Hal ini meliputi langkah-langkah seperti pengurangan sampah di sumbernya, daur ulang, kompos, dan pengolahan sampah organik. Dengan mengadopsi pendekatan ini, kita dapat mengurangi volume sampah yang dihasilkan dan mengurangi dampak lingkungan secara keseluruhan.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bersama anggotanya tengah mengembangkan konsep zero waste dalam skala kawasan di berbagai daerah seperti Jawa Timur, Jawa Barat dan Bali. Meski masih dalam kawasan kecil, hal ini terbukti bisa mengurangi jumlah sampah yang masuk ke TPA hingga 40%. Tentunya, langkah ini perlu untuk diduplikasi di berbagai daerah lainnya demi bumi yang berkelanjutan. (Kia)