Yayasan Gita Pertiwi menyoroti menjamurnya gerai es teh jumbo di berbagai daerah, khususnya Kota Solo. Hal itu menyusul adanya potensi penambahan timbunan sampah plastik dari usaha tersebut. Konsumen dan produsen didorong memiliki kesadaran lingkungan untuk menekan sampah plastik.
Di Kota Solo, lapak es teh jumbo tersebar mulai dari jalan-jalan protokol hingga gang-gang kampung. Di sejumlah jalan yang ramai, jarak antar lapak bahkan hanya puluhan meter. Selain harganya yang terjangkau, sekitar Rp3.000 per gelas, cuaca panas belakangan ini membuat es teh jumbo kian diburu.
Di satu sisi, usaha tersebut mampu menggeliatkan ekonomi masyarakat. Namun di sisi lain, masifnya gerai es teh jumbo dianggap memperparah problem sampah plastik. Rata-rata penjual es teh jumbo di kawasan Laweyan yang ditemui koresponden Gita Pertiwi mengaku dapat menjual hingga 100 gelas es setiap hari.
Direktur Program Gita Pertiwi Titik Eka Sasanti mengatakan menjamurnya es teh jumbo berpotensi menambah sampah plastik. Hal ini karena usaha tersebut memakai gelas plastik sekali pakai dalam bertransaksi.
“Bisa dibilang setiap 50 meter sekarang ada es teh jumbo. Ini perlu menjadi pemikiran karena kontribusi sampah plastiknya,” ujar Titik dalam dialog RRI Surakarta belum lama ini. Menurut Titik, produsen atau penjual perlu mulai diedukasi agar menggunakan wadah yang ramah lingkungan.
Pihaknya tak menampik hal ini menjadi tantangan tersendiri karena berefek langsung pada harga produk yang dijual. “Pusat-pusat ekonomi harus terus diedukasi.” Selain itu, edukasi juga dapat menyasar konsumen. Pembeli dapat didorong membawa wadah/botol sendiri saat membeli es teh. “Gaya hidup minim sampah perlu kesadaran dari semua pihak,” ujar Titik.
Semakin Jadi Momok
Sebagai informasi, penggunaan plastik di Indonesia cenderung meningkat setiap tahun. Data terbaru menunjukkan konsumsi plastik per kapita di Indonesia meningkat dari 19,8 kg per orang per tahun pada tahun 2017 menjadi 22,5 kg per orang per tahun pada tahun 2022.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut dari 19.218.650,50 ton timbulan sampah di Indonesia tahun lalu, sebanyak 13,1% di antaranya adalah sampah plastik. Persentase tersebut menjadi yang tertinggi setelah sampah makanan (40,8%).
Di Kota Solo, jumlah sampah plastik bahkan mendominasi komposisi sampah tahun 2022. Merujuk data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, porsi sampah plastik di Kota Bengawan mencapai 43,18% dari total timbulan sampah sebesar 137.345,45 ton pada 2022.
Guru Besar Tetap dalam bidang Teknologi Polimer Universitas Indonesia (UI) Mochamad Chalid mengatakan gunungan sampah plastik bisa menjadi masalah besar. Hal ini lantaran Indonesia belum sepenuhnya mampu mengolah sampah plastik menjadi barang yang bernilai jual.
“Tantangan kita saat ini adalah mengubah cara pandang atau paradigma konsumen dan semua pihak terkait bahwa ketika kita beralih ke kemasan plastik, artinya sampah plastik harus diguna-ulang dan atau didaur-ulang,” ujarnya. (Gita Pertiwi)