Diskusi dengan anak muda yang bertemakan pengelolaan sampah di Solo bermuara pada kesepakatan bahwa pemilahan dan pengelolaan dari sumber menjadi solusi efektif untuk menyelesaikan masalah sampah. Disisi lain Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang di gembor-gemborkan menjadi solusi permasalahan sampah melalui proses pembakarannya hanya menjadi solusi semu yang menimbulkan dampak selanjutnya.
Diskusi ini diikuti oleh anak muda berjumlah 10 orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Anak muda tersebut mewakili dari Prodi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UNS, Prodi Agroteknologi Universitas Sebelas Maret (UNS), Bank Sampah UNS, dan Pusdi Perlindungan dan Pemberdayaan Petani LPPM UNS. Diskusi dilakukan secara interaktif pada tanggal Jumat, 28 Juni 2024 lalu.
Penduduk di kawasan perkotaan saat ini semakin bertambah dari tahun- ke tahunnya, karena menjadi destinasi masyarakat meniti karir dan Pendidikan. Badan Pusat Statistik Indonesia memperkirakan bahwa lebih dari setengah penduduk di Indonesia akan tinggal di perkotaan dan bank dunia memperkirakan sekitar 200 juta penduduk di Indonesia akan tinggal di perkotaan atau 66% dari total penduduk. Sedangkan secara global pada 2050 70% akan tinggal di perkotaan bahwa artinya pertumbuhan penduduk kota akan selalu mengalami peningkatan.
Hal tersebut memiliki dampak yang serius terhadap permasalahan sampah terutama di wilayah perkotaan yang memiliki penduduk banyak. Sampah yang dihasilkan dari setiap aktivitas penduduk akan bertambah seiring bertambahnya penduduk. Kasusnya pada wilayah Surakarta dimana menurut Badan Pusat Statistik Kota Surakarta bonus demografi mengalami kenaikan laju jumlah penduduk di tahun 2023 sekitar 0,02%. Sedangkan menurut SIPSN jumlah kenaikan timbunan sampah tahun 2023 mencapai 14% dari tahun sebelumnya.
Artinya kenaikan penduduk sangat berpengaruh terhadap timbunan sampah di kawasan perkotaan. Kota Surakarta sendiri sampah pada bulan 2023 mencapai lebih dari 150 ribu ton dan dengan produksi sampah harian 400 ton.
Berbagai hal dilakukan oleh pemerintah Kota Surakarta untuk mengatasi tumpukan sampah di TPA salah satunya dengan teknologi PLTSA. Teknologi ini di klaim dapat menurunkan volume sampah TPA bahkan dapat menampung sampah di wilayah sekitar Surakarta. Pemerintah juga memberikan klaim bahwa teknologi gasifikasi yang digunakan merupakan teknologi ramah lingkungan.
Nyatanya operasional PLTSa mengalami berbagai dampak yang mengganggu lingkungan masyarakat sekitar. Melihat fakta tersebut Gita Pertiwi melakukan langkah untuk mendiskusikan hal tersebut dengan anak muda sebagai generasi penerus negeri ini. Diskusi ini bertujuan untuk meningkatkan berfikir kritis kepada anak muda terhadap pengelolaan sampah di Kota Surakarta. Anak muda yang akan mewarisi kondisi ini harus dilibatkan dalam berbagai strategi pengelolaan lingkungan kedepan.
Dalam diskusi ini anak muda dari berbagai latar belakang dilibatkan dengan jumlah 10 orang yang berasal dari Prodi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UNS, Prodi Agroteknologi UNS, Bank Sampah UNS, dan Pusdi Perlindungan dan Pemberdayaan Petani LPPM UNS.
Kegiatan dimulai dengan pengenalan jenis-jenis pengelolaan sampah. Itsna sebagai fasilitator dari Gita Pertiwi menjelaskan bahwa pengelolaan sampah terdapat 8 jenis diantaranya composting, ecobrik, up cycling, down cycling, RDF, recycling, insenerator dan residu.
Forum anak muda sepakat untuk mencapai itu dalam diskusi ini menggagas bahwa pemilahan dari hulu memiliki peranan penting dalam menunjang optimalnya pengelolaan sampah tersebut.
“Sampah sebelumnya harus dipilah terlebih dahulu sebelum dilakukan pengelolaan, dari masyarakat diberikan penguatan dan peningkatan kesadaran untuk memilah sampah,” ujar Dhea peserta diskusi dari Prodi Penyuluhan dan Pertanian UNS.
Diskusi interaktif dilakukan setelahnya untuk mengetahui penerapan yang paling efektif di Kota Surakarta. Peserta sepakat bahwa recycling menjadi pengolahan yang efektif untuk sampah anorganik, sedangkan sampah organik efektif apabila dilakukan dengan composting. Pengelolaan tersebut dinilai lebih ramah lingkungan dari pada melakukan pembakaran dengan insenerator.
“PLTSa dapat menjadi solusi tapi dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat sekitar dalam arti baunya, pencemarannya, dan sebagainya,” ujar Natan salah satu peserta diskusi dari Pusdi Perlindungan dan Pemberdayaan Petani LPPM UNS.
Nanda sebagai salah satu peserta diskusi juga sepakat bahwa PLTSa hanya solusi semu yang sementara saja dan tidak dapat menjadi solusi paten untuk mengelola sampah di Surakarta secara berlanjutan karena sisa pembakaran sendiri akan menghasilkan polutan. Pemerintah harus mengambil ketegasan dalam pengelolaan sampah di Kota Surakarta. Tidak hanya kepada masyarakat untuk memilah tetapi kesadaran petugas pengambil sampah juga perlu untuk diberikan sosialisasi agar membedakan tempat pengumpulan sampah anorganik dan organik.
“Solusi mengenai pengelolaan sampah di Solo dapat dilakukan dari hal terkecil dulu seperti lingkup rumah tangga dan dibutuhkan juga sosialisasi kepada pekerja yang membuang sampah agar dibedakan antar sampah organik dan anorganik,” tambah Rifat peserta diskusi dari Bank Sampah UNS.
Diskusi ditutup oleh Gaby perwakilan anak muda dari Program Studi Agroteknologi yang berharap bahwa banyak anak muda yang peduli untuk menyelesaikan masalah sampah dimulai dari rumah masing-masing. (Gita Pertiwi)