Minggu (10/05/2020)- Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengadakan diskusi webinar mengangkat tema “Sampah Plastik di Sungai, Laut dan Pulau Kecil Kita” melalui Kanal Zoom. Diskusi ini diselenggarakan untuk merespon masalah pencemaran sampah plastik di perairan Indonesia. Hadir sebagai narasumber Muharram Atha Rasyadi (Greenpeace Indonesia), Sumardi Ariansyah (EcoNusa), dan Hermawan Some (Nol Sampah Surabaya).
Kondisi pencemaran sampah di laut
Pemaparan diskusi diawali dengan menyampaikan kondisi sampah plastik yang ada di Indonesia oleh setiap narasumber. Data menunjukkan kondisi timbulan sampah di Indonesia saat ini sebanyak 184.000 ton per hari, yang berasal dari 48% rumah tangga dan 24% pasar tradisional. Sementara 60% adalah sampah organik layak kompos, 14% sampah plastik, 9% kertas. Di Indonesia setiap tahun terdapat kenaikan jumlah sampah sebesar 5-10%.
“Sampah plastik yang mengalir di Sungai Mangrove Wonorejo Rungkut terlilit dan tersangkut sehingga menutup akar napas pada mangrove tersebut dan membunuh mangrove yang ada. Terhambatnya pertumbuhan mangrove akan berdampak pada habitat yang ada di Hutan Mangrove Wonorejo, seperti burung migran, monyet ekor panjang dan kucing hutan” ucap Hermawan Some.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab sampah yang tidak terkelola dengan baik sehingga berakhir di lingkungan antara lain karena belum ada pemilahan yang baik dan sistem pengangkutan yang tidak memadai. Seperti yang terjadi di bantaran sungai Ciliwung yang dijadikan tempat pembuangan sampah. Data menunjukkan sampah yang terdapat di sungai Ciliwung sekitar 7000 ton per hari tetapi hanya 75% diangkut sedangkan 25% sisanya terbawa oleh aliran sungai ke laut.
“Sampah plastik yang ada di laut banyak membunuh habitat yang ada, seperti ditemukannya paus mati di Wakatobi dan penyu mati di Pulau Progo dengan sampah plastik terurai dari perutnya. Habitat didalam laut sangat memungkinkan melihat sampah plastik sebagai makanan mereka”, ujar Muharram Atha Rasyadi.
Kebijakan Pemerintah Mengatasi Sampah di PerairanPemerintah menetapkan lima strategi penanganan sampah laut yang akan diterapkan dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Tahun 2018-2025. Adanya strategi tersebut merupakan respon baik yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi masalah sampah di perairan Indonesia. “Dari kelima strategi tersebut ada beberapa hal dapat diperhatikan oleh pemerintah. Seperti pada strategi kedua, 28% Sampah di laut berasal dari darat melalui sungai diakibatkan oleh pengelolaan sampah yang minim dan tidak merata. Fokus pada Industri hulu dan mendukung inovasi, insentif, dan pedoman sehingga industri di hulu semakin terdorong dalam melakukan pembaharuan dalam produksinya. Sedangkan untuk di hilir diharapkan adanya inovasi yang diberikan oleh pemerintah, seperti bagaimana sampah menjadi hasil yang bernilai”, kata Sumardi Ariansyah.
Terkait aktivitas transportasi kapal laut telah ditetapkan di Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 29 tahun 2014 pasal 29. Seperti tempat pembuangan sampah, buku catatan sampah, poster pembuangan sampah, dan pola penanganan sampah yang disahkan oleh pejabat berwenang. Namun di wisata bahari masih terlihat minim dalam pengelolaan sampah.
“Banyak tempat pembuangan sampah yang berakhir pada pembakaran atau dibiarkan begitu saja. Selain itu, aktivitas dari kelautan dan perikanan memungkinkan menjadi penyumbang sampah. Contohnya seperti nelayan yang sudah tidak memakai jaringnya lalu dibuang begitu saja, yang akhirnya dapat mengancam habitat satwa laut. Disini pemerintah harus menjadikan sektor bahari dan aktivitas kelautan dan perikanan sebagai konsen khusus”, tambah Sumardi Ariansyah.
Pencemaran Sampah, Tanggung Jawab Siapa?Tanggung jawab pengelolaan sampah tidak hanya dapat dibebankan kepada masyarakat dan pemerintah. Apabila fokus penanganan hanya di hilir sedangkan di hulu produksi plastik masih berjalan atau bahkan meningkat, permasalahan sampah akan semakin memburuk dan sulit ditangani. Pengurangan produksi plastik yang ada di hulu menjadi krusial untuk menekan pencemaran sampah plastik.
Memaksimalkan daur ulang pun sebagai solusi tidak cukup karena data riset Sustainable Waste Indonesia (SWI) menyatakan bahwa 24% sampah di Indonesia tidak dikelola, hanya sekitar 7% bisa didaur ulang dan 69% berakhir di TPA.
“Pada dasarnya daur ulang tidak akan pernah cukup, karena peningkatan kapasitas daur ulang jika tidak dibarengi dengan adanya pengurangan produksi plastik sekali pakai tidak akan bisa menjawab permasalahan plastik”, ujar Muharram Atha Rasyadi.
Gerakan Kolektif Mengatasi Sampah PerairanBerbagai usaha mengatasi permasalahan sampah telah dilakukan oleh berbagai pihak. Dalam diskusi ini, gerakan kolektif dinilai lebih memberikan dampak yang lebih luas. “Nol Sampah Surabaya berkolaborasi dengan nelayan, petani, komunitas, perusahaan, dan anak- anak sekolah untuk terjun langsung dalam gerakan yang kami sebut ‘mulung sampah’ dan ‘penanaman mangrove’. Tidak hanya mengambil sampah tetapi mereka diajak untuk memilah, setelah terkumpul sampah-sampah tersebut dibawa ke posko. Kegiatan lainnya adalah diet tas kresek atau disebut dengan “rampok tas kresek”. Orang-orang yang membawa tas kresek kami tukar dengan tas kain, dalam kegiatan ini kami jadikan juga sebagai proses kampanye mengenai isu sampah plastik” ujar Hermawan Some.
“Greenpeace Indonesia bersama gerakan #breakfreefromplastic mengadakan kegiatan clean up dengan identifikasi jenis-jenis dan merek apa saja yang mendominasi sampah plastik (brand audit). Tujuannya adalah untuk memberikan narasi kepada publik, dan pihak yang diharuskan untuk bertanggung jawab. Dari brand audit ditemukan bungkus makanan ringan yang kadaluarsa pada tahun 1999, dapat disimpulkan bahwa sampah tersebut sudah sekitar 20 tahun dan kondisi masih sangat baik, hal tersebut menjadi gambaran bahwa masalah tidak selesai ketika kita membuang sampah dengan benar,” ujar Muharram Atha Rasyadi.
Diskusi kemudian ditutup oleh seluruh panelis untuk mengajak seluruh masyarakat lebih bijak dengan penggunaan plastik sekali pakai yang dimulai dari hal-hal sederhana, seperti diet kantong plastik, dan pengurangan konsumsi produk berkemasan sekali pakai. (Ukuy)