Cuaca yang tidak menentu kerap kali membuat kita merasa kebingungan. Kamu mungkin pernah merasakan cuaca yang panas sekali pada siang hari, kemudian tiba-tiba hujan deras yang tak henti. Ada juga kemarau panjang pada saat musim penghujan yang beberapa kali terjadi akhir-akhir ini. Beberapa peristiwa tersebut merupakan salah satu contoh dampak dari terjadinya perubahan iklim.
Mendengar frasa ‘perubahan iklim’ tentu sudah tak asing lagi saat ini. Hal ini terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer bumi. Karena itu pula, hal ini menjadi penyebab adanya efek gas rumah kaca. Efek gas rumah kaca ini berupa kerusakan ekosistem laut, masalah kebutuhan pangan, timbulnya cuaca ekstrim, bencana alam, dan lain-lain.
Penggunaan plastik yang masif merupakan salah satu hal yang problematik sebab plastik menjadi salah satu pemicu terjadinya krisis iklim. Di Indonesia sendiri, setidaknya sekitar 9.52 juta ton sampah plastik dihasilkan pada tahun 2019. Tak ayal, plastik menjadi salah satu penyumbang terbanyak untuk sampah di Indonesia.
Bagaimana Plastik Mempengaruhi Iklim?
Perubahan iklim dan polusi plastik saling berhubungan karena sejak proses produksi hingga tahap pembuangan dan pengelolaan, sampah plastik mengemisikan banyak gas rumah kaca ke atmosfer. Berikut siklus hidup plastik yang mempengaruhi krisis iklim:
1. Produksi Plastik
99 persen plastik yang diproduksi saat ini berasal dari bahan bakar fosil sehingga menghasilkan emisi yang sangat besar. Plastik terbuat dari minyak bumi dengan proses mengubah komponen minyak bumi menjadi molekul kecil yang disebut monomer. Kegiatan memproduksi plastik membutuhkan sekitar 12 juta barel bahan baku minyak. Untuk mengubah minyak bumi menjadi monomer digunakan cara pembakaran. Dari metode inilah banyak gas rumah kaca ke atmosfer.
Produksi plastik menyumbang 6% dari konsumsi minyak global dan dapat mencapai 20% pada tahun 2050. Plastik berbasis fosil yang diproduksi pada tahun 2015 mengeluarkan 1,8 gigaton setara CO2 selama siklus hidupnya.
Di bawah lintasan saat ini, emisi CO2 terkait plastik dapat meningkat menjadi 6,5 gigaton pada tahun 2050, yang akan mempercepat perubahan iklim dan dapat menggunakan 10-13% dari sisa anggaran karbon SR15 sebesar 570 gigaton untuk membatasi pemanasan hingga 66% peluang tetap di bawah 1,5 °C.
2. Pemakaian Plastik Hingga menjadi Sampah
Gas rumah kaca seperti metana, etilen, etana dan propilena dilepaskan selama degradasi beberapa polimer plastik umum sepanjang masa pakainya. Polietilen, polimer plastik yang paling banyak diproduksi, melepaskan tingkat metana dan etilena tertinggi.
Lalu bagaimana polusi plastik pasca pemakaiannya?
Kebanyakan plastik yang sudah tidak dipakai lagi, bercampur dengan sampah lain dan kadang terbuang begitu saja hingga ke sungai dan laut. Sebagiannya lagi didaur ulang atau masuk ke TPA dibakar di dalam insinerator
Saat ini, tidak semua plastik dapat di daur ulang, terlebih plastik dengan kualitas yang rendah. Daur ulang plastik juga memerlukan energi yang besar, sehingga menghasilkan emisi karbon yang cukup tinggi.
Sementara itu, sampah plastik sekali pakai yang menumpuk di TPA, biasanya dikelola dengan cara dibakar, sebab sulitnya plastik terurai secara alami dan dibutuhkan waktu ratusan tahun. Padahal pengelolaan plastik dengan cara dibakar menambah emisi gas rumah kaca di atmosfer bumi.
Pembakaran plastik menghasilkan 2.7 ton CO2e untuk setiap ton plastik yang dibakar, bahkan ketika energi yang dipulihkan dalam insinerator limbah diperhitungkan, pembakaran satu ton plastik tetap menghasilkan sebanyak 1.43 ton CO2e.
Di Eropa, tanpa adanya intervensi, insinerasi plastik akan menghasilkan tambahan CO2 pada tahun 2050 sebanyak 90 megaton, yang artinya sama dengan jumlah emisi 99 miliar pon pembakaran batu bara.
Berdasarkan pandangan industri, jumlah emisi per tahun dari pembakaran kemasan plastik akan mencapai 309 megaton CO2e pada tahun 2050, dimana setara dengan jumlah emisi per tahun dari hampir 78 pembangkit listrik tenaga batu bara.
Penguncian karbon merupakan ancaman lain bagi masyarakat yang menampung limbah insinerator. Semuanya secara terus menerus akan melepaskan karbon yang terkandung dalam plastik dan menghambat target pengurangan serta daur ulang.
Terakhir, jika sampah plastik tidak didaur ulang atau dibakar dengan insinerator, plastik biasanya berujung terbuang di lingkungan dan menjadi serpihan kecil plastik yang biasa disebut mikroplastik. Ukurannya tak lebih dari 5 milimeter dan kerap kali ditemukan di daerah perairan, seperti sungai dan laut.
Berdasarkan jurnal yang diterbitkan Nature.com, pada 5 April 2022 lalu, sejumlah ilmuwan yang membuat tinjauan polusi plastik di Arktik mengungkapkan peningkatan jumlah partikel plastik yang dilepaskan di sungai maupun lautan, dapat mempengaruhi ketersediaan nutrisi dan kekeruhan di habitat komunitas cyanobacteria dan fitoplankton. Penurunan populasi cyanobacteria dan fitoplankton dapat mengurangi penyerapan karbon dari atmosfer dan, dengan demikian, memicu perubahan iklim. (kia)